Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Sedekah Amara
By Canva

Sedekah Amara

#day05

“Lim, kamu turunin semua belanjaan, taruh di ruang tengah. Awas jangan ada yang tertinggal.” Amara, istri pertama Danu Wicaksono, sedang memberi perintah sopirnya.

Dengan badan membungkuk, Salim mengiakan dan mulai membuka bagasi mobil mewah milik nyonya besar itu. Beberapa paper bag dia turunkan satu per satu. Dari pintu samping tampak Ayum berlari kecil menyongsong dirinya.

“Ayum bantu bawa, ya, Kang.” Gadis desa yang baru sebulan bekerja di rumah gedongan ini, mulai mengambil kantung-kantung kertas yang jumlahnya tak terhitung itu dan berjalan mengikuti Salim.

“Eh, Yum. Nggak ada lagi yang ketinggalan, ‘kan? Kalau ada habis kita.”

“Sepertinya sudah semua, Kang. Atau kita periksa sekali lagi?” tawar Ayum.

“Nggak perlu. Aku yakin sudah semua.”

Keduanya kemudian meniti anak tangga menuju teras sebelum masuk ke rumah. Tiba-tiba mereka berhenti, lalu mencari asal suara di dekat pintu gerbang pagar. Tampak seorang anak kecil memegangi kisi-kisi pagar yang membingkai wajahnya yang tirus.

“Salim, Ayum! Ngapain bengong? Cepat bawa masuk, Naomy sudah nggak sabar mau coba baju lebarannya. Cepetan!”

Keduanya menggesa langkah masuk ke ruang utama rumah terbesar di kota ini. Sementara Amara mengamati pagar masuk kediamannya.

“Anak itu mau apa lagi, sih? Waktu buka kan masih lama.”

“Bi Tun!” teriak Amara dari teras.

Wanita separuh baya ini menghadap Amara dengan napas tersengal. Sepertinya dia berlari dari dapur. “Ada apa, Nyonyah?”

“Itu anak si Lastri ngapain datang terus? Kasih makanan sisa semalam biar cepat pergi.”

Tubuh renta Atun membungkuk dan kembali ke dalam untuk menyiapkan makanan. Jangan ditanya makanan sisa di rumah ini. Sangat banyak. Barangkali ini rejeki Salma. Sejak Danu memberinya uang dan makanan untuk buka puasa, Salma makin sering datang.

Atun memang masih cekatan mengurus masalah dapur. Keluarga ini memang beruntung mempekerjakan wanita tangguh–juga loyal–itu. Usai makanan terbungkus, bergegas dia menuju pagar yang jaraknya hampir 25 meter.

Sampai di gerbang, Atun melihat mobil tuannya memasuki halaman yang luasnya hampir sama dengan lapangan bola. Tuan Danu turun dari mobil dan menyapa Salma.

“Sudah lama nunggu, Salma?” tanya Danu lembut.

“Belum, Om.”

“Bi Atun, lain kali jangan biarkan Salma nunggu. Kasihan dia kan puasa juga.”

“Ya, Tuan. Maaf.”

“Om, terima kasih makanannya. Salma pamit, ya.”

Setelah mengucap salam, gadis berkerudung cokelat itu pun pergi. Di tangannya ada dua kantung plastic berisi makanan untuk berbuka puasa lengkap dengan takjil.

Danu mengamati gadis cilik itu meninggalkan rumahnya. Matanya terus mengikuti Salma hingga punggungnya menghilang di belokan jalan.

***

“Mah, jadi belanja tadi?” tanya Danu sehabis buka puasa.

“Jadi, Pah. Cuma ada baju yang gak pas sama Naomy. Kekecilan.” Amara bercerita tentang kekesalannya. Naomy, putrinya menolak beberapa baju pilihan mamanya. Sambil menyantap salad buah, Amara terus bercerita persiapan baju lebaran keluarganya.

“Beli mukena juga, ‘kan?”

Amara terperanjat. “Aduh, lupa, Pah. Besok deh belanja lagi.”

“Naomy sebaya Salma kan, Mah? Baju Naomy untuk Salma saja. Tambahkan mukena. Papa lihat mukenanya sudah lusuh.”

Amara terdiam. Sebenarnya wanita itu hendak membantah perintah suaminya. Namun, dia khawatir hanya akan berujung debat dan pertengkaran seperti seminggu lalu.

“Kenapa sih peduli sama Salma? Apa karena Salma anak Lastri?”

Waktu itu, Amara diselimuti rasa cemburu berlebihan pada perempuan kurang beruntung bernama Lastri. Padahal, Lastri dan Danu hanyalah anak pembantu dan anak majikan. Kasta mereka berbeda.  Sejak kecil mereka juga hanya bersahabat, tidak lebih.

Sekalipun Amara sudah menjadi Nyonya Danu, rasa cemburu itu masih mudah tersulut. Terutama saat Danu memperlakukan Salma seperti anak sendiri. Berulang kali Danu memberi penjelasan, tetapi Amara tetap pada pendiriannya.

“Coba lihat sekeliling kamu, banyak orang tidak semujur kamu secara materi. Mereka kekurangan. Lihat kamu, sering buang makanan, padahal tetangga sedang menahan lapar. Mereka puasa bukan Ramadan saja. Hampir setiap hari mereka memilih puasa karena nggak punya uang untuk makan.” Danu menghela napas dan mengembuskan perlahan. “Kamu masih tidak ingin berbagi?”

Amara terdiam. Wanita itu mendengkus kasar.

“Kalau kamu nggak mau bersedekah, nggak papa. Biar aku saja. Pahala yang berlipat itu buatku.”

***

“Bi Atun, udah jam lima kok Salma belum kelihatan di pagar. Atau jangan-jangan kelamaan nunggu dia pulang?”

Sore itu Amara terlihat gelisah. Tidak seperti biasanya, ucapan ketusnya berubah jadi kalimat kerisauan. Dia mondar-mandir di dekat jendela besar yang menghadap pintu gerbang rumahnya.

“Coba tanya Didin. Salma udah datang belum.”

Bi Atun menekan nomor telepon pos jaga di depan. Sepertinya benar, Salma tidak datang mengambil makanan yang sudah disiapkan.

Amara terdiam beberapa saat. Pikirannya sedang menimbang banyak hal. Salah satunya mengantar makanan ini, mumpung suaminya belum sampai rumah.

“Bi! Bibi tahu rumah Lastri, ‘kan?”

Bi Atun mengangguk dengan ragu. Sepertinya dia dilanda kebingungan. Tiba-tiba Nyonya rumahnya berniat mengantar sendiri makanan ini. Tanpa menunggu lagi, asisten rumah tangga senior itu segera mengekor Amara keluar rumah.

Mereka berdua berbincang tentang perempuan teman masa kecil Danu. Lastri hanya tinggal berdua dengan Salma. Suami dan ibunya sudah meninggal. Keduanya sakit dan meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan. Ibu Lastri meninggal menyusul Wandi yang meninggal seminggu sebelumnya. Sejak itu, Lastri juga mulai sakit-sakitan.  

Sampai di mulut gang sempit sebelum masuk rumah Lastri, ada bendera kertas warna kuning berkibar tertiup angin. Amara dan Bi Atun saling pandang. Sebelum masuk ke gang, Amara melihat mobil Danu terparkir tak jauh dari gang.

Amara berusaha menepis praduganya. Langkahnya dipercepat. Ternyata benar, Danu sedang memeluk Salma yang menangis di samping jasad Lastri.(*)

Airmolek, 29 April 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bun cerpennya

30 Apr
Balas

Terima kasih

01 May

Salma jadi yatim piatu. Kasihan ya. Alur ceritanya sangat memukau, saya hanyut ...

30 Apr
Balas

Hiks, biar dibawa pak Danu

01 May

Keren cerpennya..

30 Apr
Balas

Terima kasih

01 May

Terima kasih

01 May

Mantab Ceritanya Bun. Salam sukses selalu

30 Apr
Balas

Terima kasih

01 May

Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Semoga Salma sabar dn ikhlas. Cerita yang bagus bunda. Sukses selalu

30 Apr
Balas

Terima kasih sudah mampir

30 Apr

Kasihan Salma jd yatim piatu

30 Apr
Balas

Hiks, biar dibawa pak Danu

01 May

Yang pro mah bedaa. Mantulll. Ditunggu cerpen berikutnya.

01 May
Balas

Aiihh, Terima kasih sudah mampir bu

02 May



search

New Post