Retno Widyaningtyas

Ibu biasa yang menginginkan kedua anaknya menjadi sosok yang luar biasa. Lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1981. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ada Apa Dengan Aisha?

Ada Apa Dengan Aisha?

       Waktu cepat berlalu, tak terasa Aisha mulai masuk SD. Di sinilah masalah besar dimulai. Aisha mengalami bullying di sekolah. Kejadian itu menimbulkan trauma luar biasa bagi Aisha. Anak itu memutuskan untuk tidak sekolah, Aisha benci sekolah. Hatiku hancur melihat putri kecilku yang baru kelas satu SD mengurung diri di rumah, sementara anak-anak seusianya bersekolah dengan cerianya.

        Aisha beberapa kali tantrum meluapkan emosi yang tak terbendung. Tubuhnya kaku dengan tenaga yang sangat kuat tak selayaknya anak umur tujuh tahun. Suatu ketika Aisha berlari ke dapur hendak mengambil pisau untuk menyakiti diri. Aisha juga selalu berusaha kabur melarikan diri dari rumah. Kondisi Aisha yang mengkhawatirkan membuat aku sering tidak masuk kerja, aku fokus mengawasi Aisha untuk menghindarkannya dari hal-hal yang mengancam keselamatannya.

Aku dan mas Yudha berusaha membujuk Aisha untuk kembali sekolah. Dengan bantuan guru kelas, akhirnya Aisha mau mengikuti ujian akhir semester sebagai syarat kenaikan kelas. Ujian dilaksanakan di ruangan tersendiri. Guru kelas mendampingi Aisha mengerjakan soal, aku menunggu di ruang tunggu.

        Enam hari aku menemani Aisha di sekolah. Pesan whatsapp dari atasan dan beberapa rekan kerja menanyakan kabarku, mereka berempati atas masalah yang aku hadapi, teriring doa untukku dan keluarga kecilku. Aku dikelilingi orang-orang baik yang memotivasi dan menguatkan aku. Bagiku mereka adalah malaikat-malaikat tak bersayap. Tak sedikit pula orang yang berpikir negatif tentang aku, melabeli aku dengan kata-kata negatif,  seperti label bahwa aku pegawai yang tidak bertanggungjawab, tukang mangkir, mementingkan diri sendiri, dan label-label lain yang menyakitkan. 

         Aku menyadari apa yang aku lakukan tidak benar, aku meninggalkan tugasku untuk keperluan pribadi, tapi aku pun tak bisa menolak takdirku, aku pun tak ingin menjalani kehidupan dengan masalah yang pelik ini. Andai bisa memilih, aku akan memilih untuk memiliki kehidupan yang tentram dan damai tanpa masalah. Bukankah pagi mengalami pergantian menjadi malam, manusia mengalami hidup dan mati, bencana alam terjadi di muka bumi tanpa kita tahu kapan datangnya, semua atas kehendakNya. Adakah manusia yang bisa merubah takdir Tuhan? 

         Alhamdulillah Aisha berhasil melewati ujian akhir semester dan naik ke kelas dua. Untuk menghilangkan trauma Aisha, kami putuskan untuk kembali ke Jogja. Aku mengundurkan diri dari pekerjaanku, resign untuk kedua  kalinya. Aku memilih untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya demi memenuhi hak anakku untuk mendapatkan pengasuhan penuh dari ibunya. 

          Kami pun mencari sekolah baru untuk Aisha, sekolah yang bisa membuat Aisha nyaman dan kembali percaya diri. Kami memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan, supaya ketika Aisha tantrum orang tuaku tidak menyaksikan langsung, kejadian itu bisa membuat orang tuaku cemas bahkan trauma.

 “Tok…tok…tok”, suara ketukan di jendela kamar membangunkanku. Aku segera membangunkan mas Yudha. Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari, mas Yudha melongok keluar jendela, tapi tidak melihat apapun di balik jendela, pun pada ketukan yang kedua tidak tampak siapapun di balik jendela.

“Mas, coba dipastikan lagi siapa yang ada di luar!”, pintaku. 

Mas Yudha kembali melongok untuk yang ketiga kalinya, tapi tetap saja tak melihat siapapun di luar. 

“Jangan-jangan bukan manusia mas, jangan-jangan makhluk halus yang sering diceritakan warga”, kataku dengan nada ketakutan. 

  “Jangan berpikir macam-macam, bisa jadi itu kucing atau binatang lainnya”, mas Yudha mencoba menenangkan aku yang tampak ketakutan.  Akupun mendekap suamiku dengan erat.

Ketukan tengah malam itu masih terdengar. Rasa penasaran berkecamuk dalam pikiran mas Yudha, dilihatnya kembali jendela kamar, alangkah terkejutnya mas Yudha ketika melihat putri sulungnya berada di balik jendela. Mas Yudha dan aku bergegas keluar rumah, kami terkejut bukan main,  putri kecil kami menangis di halaman rumah yang gelap gulita. Aku segera memeluk tubuh mungil itu, dan membawanya masuk ke rumah. Tubuh kecil itu dingin, menandakan anak ini sudah cukup lama berada di luar rumah. Aku memeluk erat tubuh Aisha yang menangis dan berontak ingin melepaskan diri dari pelukan hangat sang bunda.

  “Aku tidak mau disini, aku mau pergi !”, teriak Aisha. 

“Anak pintar, anak baik, Aisha sayang, hari sudah malam, Aisha bobok lagi ditemani bunda ya”, kataku dengan penuh kelembutan. 

Aku berusaha tegar meskipun berbagai perasaan berkecamuk. Kupeluk Aisha dengan penuh kasih. Air mataku tak sanggup dibendung, kusembunyikan wajahku supaya Aisha tidak melihat bundanya menangis. Mas Yudha membelai rambut Aisha, mencoba menenangkan putri kesayangannya.

Adzan subuh berkumandang, Aisha sedikit lebih tenang. Aisha kembali ke kamarnya, setelah sholat subuh berjamaah. Aku menemani Aisha di kamar hingga putri kecilku memejamkan mata. Kubelai rambut Aisha, kupandangi wajah mungil yang tak berdosa. Air mataku kembali meleleh. Aku merasa gagal menjadi ibu yang baik, merasa tidak berhasil mendidik anak, dan berbagai perasaan bersalah berkecamuk dalam hati. 

“Aisha Azalia Mahya, dengarkan nak, ini bunda sayang, bunda minta maaf apabila sikap dan perkataan bunda menorehkan luka di hati Aisha. Bunda sayang Aisha, bunda cinta Aisha”, bisikku di telinga Aisha yang tertidur lelap.

Pagi itu Aisha tidak pergi ke sekolah, Kejadian dini hari tadi membuatku trauma, sehingga tidak berani memaksa Aisha. 

“Oke hari ini Aisha tidak ke sekolah, tapi janji besok harus pergi ke sekolah ya nak!”, pintaku dengan tegas pada Aisha, disambut anggukan Aisha, seraya berkata, 

“Bunda, Aisha ingin sendiri di kamar, bunda jangan disini ya!”, pinta Aisha. 

Aku diminta untuk meninggalkan Aisha sendiri di kamar. Aku memandang lekat mata Aisha, tersirat bahwa anak itu tidak ingin diganggu.  Dengan berat hati aku meninggalkan putri kecilku sendiri di kamar. Terdengar suara pintu terkunci.  Anak berusia 8 tahun itu mengurung diri di kamar dengan pintu terkunci dan jendela yang tertutup rapat. 

Aku dengan gelisah menunggu Aisha keluar dari kamar, sesekali aku menengok jendela kamar Aisha, memastikan Aisha masih di dalam kamar. Terlihat jendela masih tertutup rapat. Beberapa kali Aisha berusaha kabur dari rumah melalui jendela kamar, membawa tas berisi pakaian. Entah apa yang ada dalam pikiran anak itu hingga selalu berusaha kabur dari rumah. Hal itu membuatku tak sanggup meninggalkan Aisha di rumah tanpa pengawasan. 

Hari-hari berlalu terasa berat bagiku. Seperti biasa, setiap pagi aku membangunkan Aisha dengan lembut dan memberikan cerita-certia motivasi untuknya. Masa-masa sulit untuk meyakinkan Aisha bahwa sekolah itu menyenangkan ternyata belum bisa kami lalui, meskipun Aisha sudah dipindahkan ke sekolah baru. 

Aku berusaha menciptakan suasana yang menenangkan bagi Aisha, kemudian memintanya untuk pergi ke sekolah. Ada kalanya usaha yang kulakukan berhasil membawa Aisha ke sekolah, tapi lebih sering gagal, namun aku tidak putus asa, bayangan akan masa depan yang suram apabila putriku sampai putus sekolah di jenjang Sekolah Dasar menjadikan cambuk bagiku untuk tegar dan pantang menyerah. 

 

 

Yogyakarta, 24 Januari 2022

Day 21

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post