Retno Widyaningtyas

Ibu biasa yang menginginkan kedua anaknya menjadi sosok yang luar biasa. Lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1981. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jilbab Pertama

Jilbab Pertama

Selesai sudah kerja lemburku hari ini. Malam sudah sangat larut, aku bergegas pulang, kulajukan motorku dengan kecepatan tinggi supaya segera sampai rumah. Rasa takut berkecamuk, bukan takut pada makhluk tak kasat mata, tapi aku lebih takut pada orang-orang yang berniat jahat, karena sedang marak pembegalan di kotaku. Tiba-tiba dari arah depan aku melihat sorot lampu yang sangat terang, sinarnya sangat menyilaukan mata. Aku seperti melayang, setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.

Aku linglung, sekitarku tak ada siapapun, tak ada suara, sepi…hanya aku dan warna putih di sekelilingku. Aku tak menemukan jalan untuk keluar, aku menjerit, menangis ketakutan. Sosok berjubah putih menghampiriku, wajahnya tak tampak, hanya cahaya putih berkilauan. Aku semakin takut, sekujur tubuhku merinding. Sosok itu menenangkan aku, dia tidak banyak berkata, satu pesan yang sangat aku tangkap yaitu menutup aurat, kemudian sosok itu menyuruhku pulang. Dalam sekedip mata sosok itu hilang.

Aku membuka mata, samar kulihat langit-langit sebuah ruangan, kemudian aku mendengar suara orang berteriak memanggil dokter. Pandanganku semakin jelas, kulihat sekitarku, sebuah ruangan yang cukup luas berwarna dominan putih. Di badanku terpasang berbagai peralatan medis, kepalaku terasa berat, aku bingung apa yang terjadi. Ibu dan ayahku mendekatiku, diikuti seorang lelaki mengenakan jas putih, dia seorang dokter.

“Ada apa ini? dimana aku?”, tanyaku dengan suara lemah.

“Tenang Sinta, kamu sedang sakit dan dokter akan memeriksamu”, kata ibu.

“Apa yang terjadi padaku bu?”, tanyaku kebingungan.

“Mbak tenang dulu ya, saya periksa”, kata dokter.

Aku terdiam, dokter memeriksa kondisiku, kemudian memberi penjelasan pada orang tuaku. Tak lama kemudian dokter meninggalkan kami. Orang tuaku menceritakan apa yang kualami. Ternyata sudah dua minggu aku koma, kepalaku mengalami cidera cukup parah. Tak ada yang tahu apa yang terjadi padaku hingga aku koma, aku pun tak ingat apa-apa, terakhir kuingat hanya sorot lampu yang sangat menyilaukan.

Aku minta bantuan ibu untuk sedikit menegakkan tubuhku. Baru aku sadari, aku tak merasakan bagian bawah tubuhku, aku panik. Kubuka selimut, kedua kakiku masih utuh, tapi kenapa tak bisa bergerak?

“Bu, kakiku kenapa bu? Kenapa tidak bisa digerakkan? Aku lumpuh ya bu”, tanyaku panik.

“Sinta, kamu jangan berpikir macam-macam dulu ya, kamu butuh istirahat, kakimu tidak apa-apa, mungkin hanya butuh penyesuaian karena kau baru sadar dari koma”, kata ibu menenangkan aku.

Aku menangis, ibu memelukku dan membelai rambutku.

Semakin hari kondisi kesehatanku semakin membaik, tapi memang aku lumpuh, kedua kakiku tak bisa bergerak dan aku hanya bergantung pada kursi roda. Meskipun berat, tapi aku berusaha untuk bersikap tenang, menerima kenyataan demi kedua orang tuaku. Aku tahu mereka menyimpan kesedihan, tapi berusaha tegar di hadapanku. Akupun harus berusaha tegar di hadapan mereka.

Setelah seminggu pemulihan, aku diijinkan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengingat kejadian yang mengakibatkan kondisiku jadi seperti saat ini. Aku tak bisa mengingat apapun, kepalaku pusing bila dipaksa mengingat. Dua puluh menit kemudian kami tiba di rumah. ternyata sudah banyak teman dan saudara yang menyambut kedatanganku. Beberapa dari mereka menangis melihat kondisiku, aku meminta ibu untuk membawaku ke kamar, aku belum siap berhadapan dengan orang lain.

Aku mengurung diri di kamar. Kursi roda kuarahkan ke depan cermin, aku melihat diriku yang lain di dalam cermin, diriku yang tak berdaya, hanya bergantung pada kursi roda. Mana diriku yang dulu? Diriku yang ceria, mandiri, diriku yang lincah menari di atas panggung. Lihat aku yang sekarang, seorang gadis cacat yang merepotkan orang-orang di sekitarku, aku kehilangan duniaku, dunia panggung dengan penonton yang selalu mengagumi tarianku. Aku yang rapuh tak berdaya. Air mataku bercucuran, aku berontak, tidak terima apa yang kualami, kulempar semua benda yang ada di hadapanku.

Tiba-tiba aku teringat pertemuan dengan seseorang berjubah putih. Sangat jelas dalam ingatanku. Aku berpikir keras tentang kejadian itu, apakah hanya mimpi atau benar-benar kualami? Sukmaku melayang dan bertemu sosok berjubah putih. Sosok itu berpesan padaku untuk menutup aurat, kemudian dia menyuruhku kembali pada kehidupanku, memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki hidupku, di saat itulah aku tersadar dari koma, terbangun dari tidur panjangku di rumah sakit. Aku bisa sedikit lebih tenang, ada sepercik rasa syukur menyejukkan hatiku. Andaikan aku tak diijinkan kembali pada kehidupanku, hidupku berakhir saat itu juga, dengan membawa dosa-dosa yang belum sempat aku perbaiki.

Malam semakin larut, aku belum juga bisa memejamkan mata. Aku mengirimkan pesan pada sahabatku Aisha, teman lamaku yang tinggal di Yogyakarta. Kami bertemu ketika mengikuti kegiatan safari remaja, saat itu aku masih SMA, mewakili Bandung untuk mengikuti safari remaja yang diikuti remaja-remaja perwakilan seluruh propinsi di Indonesia. Kurang lebih empat tahun setelah terpisah, kami bertemu kembali melalui media sosial dan berteman hingga saat ini. Kutulis semua yang aku alami, termasuk pengalaman spiritual bertemu seseorang berjubah putih.

Jam weker berbunyi dengan nyaring memekakkan telinga, aku terbangun seketika. Jam menunjukkan pukul 04.30 pagi. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu, dinginnya air pagi itu terasa sangat menyejukkan, aku kembali menemukan semangat hidup yang sempat meredup. Dua rakaat kujalani dengan sangat nikmat, Ya Allah sepertinya sudah lama aku tidak merasakan nikmatnya sholat, yang ada hanya terburu-buru untuk segera melakukan kegiatan lain. Pagi itu aku ingin berlama-lama bercengkrama dengan Tuhanku, aku yakin Tuhanpun sangat senang berdialog dengan hambaNya. Kemana saja aku selama ini? Waktuku terasa terbuang percuma, tergesa-gesa dan selalu dalam keadaan tergesa-gesa, mengejar materi, mengejar image baik dari orang lain.

Aku rasakan Tuhan menyayangi aku, air mataku kembali meleleh. Dalam doa aku berkata :

“Tuhan, Maha Baiknya Engkau masih memberiku kesempatan, sedangkan aku telah jauh melangkah meninggalkanmu. Aku yang dengan sombongnya melenggang di bumimu, tanpa peduli aturanmu sedangkan aku tahu”, kucurahkan segala isi hatiku padaNya.

Air mataku tak terbendung, aku menangis, kurendahkan diriku di hadapanNya. Aku bersujud membisikkan pengakuan dosaku, terbayang segala dosa yang telah aku perbuat, betapa rendahnya aku di hadapanMu ya Tuhanku. Tubuhku bergoncang, air mataku membasahi sajadah.

Hari berganti hari, aku mulai bisa menerima kenyataan, aku mulai terbiasa dengan kondisi fisikku. Meskipun aku kehilangan banyak hal karena keterbatasan fisikku, tapi aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup.

“Pakeeet…pakeeet” terdengar suara seseorang di pintu depan. Aku melongok keluar, tampak seorang kurir jasa ekspedisi menyampaikan paket.

“Benar ini rumah pak Purnomo?”, tanya kurir

“Benar pak, paket untuk siapa pak?”, tanyaku.

“Paket untuk mbak Jasinta”, jawab kurir.

“Oh ya, itu saya pak”, jawabku.

“Silahkan tanda tangan disini ya mbak!”, pinta kurir sambil menyodorkan bukti tanda terima.

“Terimakasih pak”, kataku.

Kurir paket meninggalkan rumahku, aku amati paket yang baru saja aku terima. Ternyata dari Aisha. Tak sabar segera kubuka paket kiriman Aisha, ternyata isinya sebuah buku berjudul “Perempuan dan Fitnah Dunia”, buku itu karangan Aisha. Luar biasa temanku satu ini, sudah puluhan judul buku dia hasilkan. Tampak sebuah bungkusan lain di dalam kardus paket, segera aku buka, ternyata sebuah jilbab berwarna soft pink. Aisha selalu mendorong aku untuk menutup aurat, terlebih ketika aku menceritakan pengalaman spiritual, ditegur seseorang yang tidak aku kenal. Dari Aisha juga aku lebih memahami apa itu Islam.

Aku segera menghubungi Aisha. Terdengar nada sambung tapi tak kunjung diterima. Beberapa kali aku coba menghubungi kembali tapi tidak diterima juga. Ya, aku maklum, Aisha memang orang yang sangat sibuk, dengan padatnya jadwal menjadi pembicara dalam seminar, motivator, dan seabrek kegiatan berbobot lainnya. Akhirnya aku kirim pesan pendek pada Aisha.

“Assalamu’alaikum Aisha, terimakasih ya kiriman jilbab dan bukunya, keren banget kamu Sha, aku senang sekali bisa mendapat buku dari seorang penulis buku ternama. Jilbabnya cantik banget, aku suka Sha. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal bagimu. Doakan aku supaya istiqomah berhijrah.”.

Kubaca lembar demi lembar buku dari Aisha. Tiap lembarnya seperti mengandung candu, membuat penasaran untuk terus membaca lembar berikutnya. Buku yang sangat inspiratif, kata-katanya berbobot, menegaskan bahwa sang penulis merupakan seorang yang berwawasan luas dan smart. Setiap kalimat di dalamnya seolah sedang menegurku, aku seperti berhadapan dengan seorang motivator yang menuntun hidupku. Buku ini benar-benar pas banget buat aku, peristiwa-peristiwa yang tertulis mengajarkanku tentang makna hidup dan bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.

Lembar terakhir selesai kubaca, terdapat lembar putih yang berisi tulisan tangan, itu tulisan tangan Aisha, menuliskan pesan untukku.

“Alhamdulillah kau telah selesai membaca buku ini, semoga mengukuhkan niatmu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tetap istiqomah, kulangitkan doa untukmu sahabat”

Big hug,

Aisha

MayaAllah Aisha, seorang penulis buku terkenal yang tetap rendah hati. Kamu masih mengingatku saja, aku sudah sangat senang Sha, apalagi kau mau menjadi sahabatku yang selalu support aku. Buku ini memotivasi aku untuk menjadi perempuan yang berharga, dimulai dari diriku sendiri, aku harus lebih menghargai diriku sendiri.

Kuambil jilbab pemberian Aisha, meskipun tidak berhijab tapi aku tau cara memakai jilbab. Kupakai jilbab pertamaku, aku duduk di depan cermin, kupandangi diriku yang berhijab, ada getaran halus dalam hatiku, kulihat orang yang berbeda di dalam cermin.

“Kau terlihat lebih anggun dengan jilbab itu”, kataku pada bayanganku di cermin.

Aku merasakan kenyamanan, merasa terlindungi. Tak terasa air mataku menetes. Selama ini aku fasik, aku tahu aturan Tuhan, tapi aku melanggarnya. Aku berpakaian tapi telanjang, memakai pakaian yang mempertontonkan aurat wanita yang seharusnya tidak diumbar, rambutku tergerai dengan bebasnya tanpa penutup, sedangkan aku tau bahwa seluruh bagian tubuh perempuan adalah aurat

Luar biasa sebuah nasehat sederhana mampu merubah hidup seseorang. Aku bersyukur diingatkan untuk memperbaiki diri di saat usiaku masih muda. Terimakasih engkau yang telah membangunkanku dari tidur panjangku, mengembalikan aku pada fitrahku, menyadarkanku bahwa perempuan itu berharga, bukan untuk dinikmati keindahannya oleh sembarang lelaki, tapi perempuan hanya boleh dipersembahkan pada seorang lelaki yang telah menghalalkannya.

Bismillah, kumantapkan langkahku untuk memperbaiki diri, istilah populernya “hijrah”, semoga aku bisa istiqomah, karena berhijrah itu tidak mudah, semakin berusaha menjadi lebih baik, semakin berat ujian yang dihadapi.

Hikmah yang luar biasa dari musibah yang aku alami. Semoga hijrahku bisa menghapus dosa-dosaku di masa lalu. Kuserahkan hidup dan matiku pada Sang Maha Kuasa atas diriku. KepadaNya manusia akan kembali, dunia hanya persinggahan sementara, akheratlah tempat keabadian.

Yogyakarta, 31 Januari 2022

Day 26

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post