Retno Widyaningtyas

Ibu biasa yang menginginkan kedua anaknya menjadi sosok yang luar biasa. Lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1981. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

MenemuiMu di Sepertiga Malam

Mas Yudha menghentikan mobil di ujung gang rumah orang tuaku, aku turun dari mobil dan berjalan menjauh, tak tentu arah tujuan, dengan pikiran carut marut dan perasaan yang kalut. Sementara Mas Yudha hanya diam melihat istrinya berjalan menjauh, dan justru bergegas melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal.

Aku berjalan tak tentu arah dengan menggendong si bungsu Aero yang belum paham apa yang terjadi pagi itu. Dadaku terasa sesak dan air mata bercucuran, dengan langkah gontai sambil sesekali memeluk erat dan mencium si kecil dengan perasaan bersalah.

Seperti biasa aku dan mas Yudha terlibat dalam pertengkaran. Seperti ada bom waktu dalam rumah tangga kami yang sewaktu-waktu meledak. Pagi itu dalam perjalanan pulang dari mengantar Aisha sekolah, mas Yudha berkata keras padaku. Aku tak henti-hentinya menangis dan menyalahkan keadaan. Kami berdua sama-sama kalut karena masalah yang kami hadapi, hingga benturan sedikit saja bisa memicu pertengkaran hebat.

Handphone berdering berulang kali, tampak di layar muncul foto ibu, aku sengaja tidak mengangkat telepon. Pastilah ibu menanyakan keberadaanku karena memang pagi itu aku mengatakan pada ibu bahwa kami dalam perjalanan ke rumah ibu, tapi hingga satu jam belum juga tiba di rumah ibu.

Hujan semakin deras, aku memutuskan untuk berteduh di sebuah warung soto. Aku duduk di bangku-bangku yang sudah tertata rapi. Tidak ingin ibu menunggu kabar, aku mengirim pesan pada ibu, “Assalamu’alaikum ibu, maaf pagi ini kami tidak jadi ke rumah ibu, kalau mas mas Yudha menanyakan keberadaanku sampaikan saja bahwa aku sedang ingin sendiri”. Seketika itu ibu menelpon, memohon padaku untuk pulang ke rumah ibu, mengingat Aero yang masih bayi, belum tahu apa-apa, tidak seharusnya mendapatkan pengalaman hidup yang bisa membuat trauma.

Air mataku bercucuran, tatapan mata tanpa dosa dari sepasang mata bening Aero membuat tangisku semakin menjadi. Tangan kecil Aero menyentuh air mata ibunya, Aero menatap ibunya seakan mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Dari kecil Aero terbiasa melihat kekacauan dalam keluarganya, melihat kakaknya yang tantrum tak terkendali, melihat orang tuanya bertengkar. Sungguh rumah tangga yang jauh dari kata damai. Aku memeluk erat Aero, terasa nyaman dan seperti mendapat kekuatan dan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Lelaki kecil itu selalu bisa menentramkan dan menguatkan ibunya.

“Aero maafkan bunda ya nak”, bisikku pada Aero.

Pemilik warung membawakan secangkir teh panas untukku, sambil tersenyum ibu itu berkata padaku

“Diminum tehnya ya mbak, selagi masih panas”, kata pemilik warung.

Aku mengangguk lemah dan mengucapkan terimakasih dengan suara lirih. Secangkir teh panas bisa sedikit melegakan beban di hati. Pikiranku sudah lebih tenang, aku berpamitan pada pemilik warung.

Ku jemput Aisha di sekolah, kemudian kami pulang ke rumah kontrakan. Alhamdulillah hari itu emosi Aisha terkendali, kami menjalani hari dengan normal. Aisha terlihat ceria bermain dengan Aero. Sudah lama aku tak melihat Aisha seperti itu. Malam hari Aisha mengerjakan tugas sekolah, dan aku menidurkan Aero. Malam semakin larut, anak-anak sudah tidur, sedangkan ayah mereka belum pulang entah berada dimana, karena sejak kejadian tadi pagi handphone mas Yudha tidak bisa dihubungi.

Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Aku memandangi wajah Aero yang tertidur lelap, kubelai rambut Aero. Aku berbisik lirih pada anak bungsuku,

“Aero, anak soleh, anak hebat. Terimakasih sudah menjadi anak yang tidak rewel, menjadi penyemangat bunda. Maafkan bunda ya nak. Bunda sayang Aero, sayaaang banget”, bisikku.

Tak terasa air mataku meleleh, kucium kening Aero. Lelaki kecil itu memeluk aku seolah mendengar apa yang dikatakan ibunya. Air mataku semakin deras mengalir, kupeluk erat-erat tubuh kecil itu. Aero tertidur lelap dalam pelukanku.

Aku belum bisa memejamkan mata, terlintas kejadian hari itu, kepalaku sedikit pening. Aku bangkit dari tempat tidur, kutinggalkan Aero yang tertidur lelap. Lampu dapur kunyalakan, secangkir white coffee sedikit mengurangi beban di kepalaku. Tak juga terdengar suara mobil masuk halaman rumah, pesan melalui whatsapp yang kukirim untuk suamiku masih saja centang satu.

Aku merasa sangat rapuh. Bagaimana jika aku tak mengawasinya setiap saat? terbayang olehku anak sekecil Aisha kabur dari rumah, bagaimana dia bertahan hidup di jalanan? Tidak menutup kemungkinan bertemu orang yang berniat jahat dan membawanya semakin jauh dariku, dan aku kehilangan putri kecilku. Bagaimana jika saat itu aku tak ada bersamanya? Saat dia berlari mengambil pisau untuk melukai diri sendiri, bahkan terlintas dalam pikirannya untuk bunuh diri. Anak sekecil itu berpikir untuk bunuh diri, apa sebenarnya yang terjadi padamu nak?

Pikiranku semakin kacau, dihantui perasaan takut kehilangan buah hati. Aku mengambil air wudhu, menemuiNya dalam sujudku, kemudian menumpahkan segala yang memenuhi hati dan pikiran, air mata mengalir deras, dada terasa sesak. Aku merasa belum bisa menerima apa yang aku alami saat ini. Kenapa Tuhan? Kenapa begitu banyak masalah menimpaku?

Yogyakarta, 26 Januari 2022

Day 22

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

tetap sabar dan ikhlas semoga Allah selalu melindungi orang salalu mengingatNya... salam literasi

26 Jan
Balas

Aamiin..Aamiin. Terimakasih pak, salam literasi

26 Jan
Balas



search

New Post