Nol Kilometer Jogja
Aku berjalan menyusuri Malioboro, ritual yang selalu aku lakukan setiap kali aku merasa penat, jenuh dengan rutinitas sehari-hari sebagai presenter di salah satu stasiun televisi swasta di kota gudeg ini. Entah ada mantra apa hingga jantung kota Jogja ini selalu bisa menentramkan hati dan pikiranku. Sore yang syahdu, aroma hujan tertinggal di jalanan Malioboro, setelah dari pagi hujan mengguyur kota Jogja. Kutatap langit, kuhirup udara dalam-dalam, kubentangkan kedua tanganku, sesekali aku berputar-putar. Gayaku seperti artis-artis dalam video klip musik. Aku tak pedulikan orang-orang di sekitarku yang menyaksikan polah tingkahku. Kurasakan kebebasan setelah sekian lama tidak bisa menghirup udara dengan bebas akibat pendemi covid-19 berkepanjangan. Kotaku sudah pulih, negaraku sudah bangkit kembali.
Sesekali aku berhenti, kunikmati sore itu di bangku kosong tepian jalan. Orang berlalu lalang, tak sedikit mereka datang dari berbagai kota di luar kota Jogja, terlihat dari dialeg obrolan mereka. Ada yang sekedar mencari udara segar sepertiku, ada yang berbelanja, ada yang mengabadikan moment dengan berfoto di spot-spot artistik khas Malioboro. Aku melanjutkan langkah, tujuan akhirku adalah nongkrong di titik nol km, tempat favorit untuk menghabiskan sore.
Sampai di nol km, penyanyi favorit icon Malioboro menyambutku dengan lagu-lagu yang sedang hits. Ini yang aku tunggu-tunggu, duet penyanyi yang sedang viral di media sosial. Subscribernya mencapai empat jutaan, untuk sekelas penyanyi daerah jumlah sebanyak itu luar biasa. Aku sedikit terlambat, penonton sudah memenuhi area sekitar panggung. Kupilih tempat yang nyaman, aku duduk dengan menggunakan sepatu sebagai alas duduk.
Merdunya suara Joy dan Andre melantunkan tembang cinta, mampu membawaku ke suatu masa. Aku terhanyut dalam romantika, kenangan-kenangan akan masa lalu mengisi benakku, ada rindu menyentuh relung hatiku, entah pada siapa. Terlihat beberapa penonton menitikkan air mata, tak sedikit pula yang ikut bernyanyi. Begitu syahdunya sore itu hingga kami terhanyut dalam suasana.
Tiba-tiba handphone berdering, bang Arya menelpon, beliau adalah pemimpin redaksi di perusahaan tempat aku bekerja. Aku menjauh dari keramaian, kuangkat telepon.
“Halo Sasi”, sapa seseorang di ujung telepon
“Iya bang Arya, selamat sore”, jawabku
“Sore Sasi, hari Rabu sampai Jumat, tolong wakili saya mengisi webinar Digital Skills. Pesertanya pelajar SMA dan mahasiswa seluruh Indonesia. Saya rasa pas banget nih kalau Sasi yang mengisi, seorang presenter muda yang followersnya ribuan dan kekinian banget”, kata bang Arya memujiku.
“Ah abang ini bisa aja, bang Arya kan ilmunya lebih tinggi dari saya bang, lebih pantes kalau abang yang mengisi lah”, jawabku
“Nggak..nggak, karena ini segmennya remaja, Sasi lebih tepat. Lagipula saya masih ada pekerjaan di Bandung hingga seminggu ke depan. Gimana Sasi?”, kata bang Arya.
“Baik bang, siap. Materinya dari bang Arya atau saya sendiri yang menyiapkan?”, tanyaku.
“Sasi aja bisa lah ya? Siapin aja materi-materi yang kekinian, yang bisa memotivasi sekaligus mengedukasi remaja.”, kata bang Arya.
“Okey okey, InsyaAllah Sasi usahakan bang”, jawabku.
“Okey, gitu aja, semoga kegiatannya berjalan lancar”, kata bang Arya.
“Aamiin..aamiin”, kataku mengamini.
“Ya sudah Sasi, selamat sore, terimakasih”, kata bang Arya menutup obrolan.
“Sama-sama bang, selamat sore”, jawabku.
Telepon kututup, aku berpikir sejenak.
“Hari Rabu…hmm, sekarang Sabtu, what??? Berarti tiga hari lagi?”, kataku pada diri sendiri.
“Ah lanjutin dulu nonton musiknya, siapa tau muncul ide”, kataku.
Ketika hendak kembali ke tempat duduk untuk melanjutkan menikmati sajian musik sore itu, ada pemandangan yang mencuri perhatianku. Sepasang laki-laki dan perempuan terlihat beradu mulut, kemudian si lelaki menendang bakul tempat dagangan penjual sate yang duduk di bawah. Orang-orang yang berlalu lalang hanya menyaksikan tanpa bertindak. Aku heran, apakah orang-orang ini sudah demikian parahnya, kehilangan empaty pada orang lain. Penjual sate yang sudah setengah tua dengan mengenakan baju kebaya dan kain jarik terlihat ketakutan. Dagangnnya berserakan, ibu itu menangis, tergopoh-gopoh membereskan dagangannya.
Aku berlari mendekati tempat kejadian perkara, aku tenangkan ibu penjual sate itu. Aku bawa menjauh dari dua orang yang beradu mulut dan melakukan perbuatan anarkis. Setelah ibu penjual sate sedikit terlihat lebih tenang, aku menemui dua orang yang arogan tersebut.
“Mas dan mbak, silahkan kalian beradu mulut, berantem, saya tidak perduli karena bukan urusan saya, tapi ketika anda berbuat anarkis bahkan sampai menimbulkan kepanikan, merugikan orang lain, maka saya tidak bisa tinggal diam!”, kataku dengan nada keras.
“Maunya mbak apa?”, jawab lelaki itu dengan membusungkan dada dan mata melotot seolah menantang.
“Ganti rugi kerugian yang dialami ibu penjual sate, sampaikan permintaan maaf, kemudian segera tinggalkan tempat ini!”, perintahku.
Kami beradu mulut karena lelaki tersebut tidak mau merendahkan diri untuk meminta maaf dan mengganti rugi. Si perempuan mencoba melerai kami, tapi lelaki itu terus saja menyerangku.
Keributan semakin menjadi, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak “cut”, kemudian orang-orang bertepuk tangan dan bersorak sorai kegirangan, ada yang tertawa terbahak-bahak. Si laki-laki yang beradu mulut denganku mendekati aku dengan nada bicara yang sopan, berbeda jauh dengan saat beradu mulut denganku.
“Maaf ya mbak..mbak kena “prank”, kata lelaki itu sambil tertawa puas.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi, nafasku masih terengah-engah, pikiranku kacau.
“Mbak, lihat itu disana ada kamera!”, sambung lelaki itu sambil menunjuk seseorang yang membawa kamera.
“Jadi, kami ini “content creator” yang sedang membuat konten untuk mengetahui apakah masyarakat masih memiliki empaty pada orang lain”, jelas lelaki tersebut.
Aku tinggalkan mereka begitu saja, tak pedulikan lelaki itu berteriak-teriak memanggilku. Lelaki itu juga meneriakkan chanel yotubenya.
“Mbak, jangan lupa tonton di Bahtera chanel ya”, teriak lelaki tadi.
Aku tak menghiraukan ucapannya. Aku merasa dungu, bisa-bisanya aku kena prank, pikirku dalam hati, dan yang lebih sebel lagi, ibu penjual sate yang aku tolong, yang aku bela hingga beradu mulut dengan lelaki menyebalkan tadi, ternyata merupakan personil dari content itu.
Apapun alasannya aku sangat tidak setuju dengan content berbau prank. Apa tidak ada ide lain yang lebih smart dan berbobot, yang bisa memotivasi serta mengedukasi orang lain. Menghalalkan segala cara demi menuai viral. Pembodohan masyarakat.
Kejadian itu merusak soreku, aku jadi kehilangan mood untuk melanjutkan menikmati sajian musik. Aku mengambil kendaraanku di salah satu kantong parkir Malioboro. Dengan perasaan kecewa dan marah, kulajukan kendaraanku dengan kecepatan tinggi. Liburku hari ini tidak seindah ekspektasiku, kenapa harus bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan itu.
Tak terasa aku sudah tiba di rumah, kuparkirkan kendaraan kemudian bergegas masuk kamar. Penasaran dengan chanel milik laki-laki tadi, segera aku buka youtube. Ternyata memang sebagian besar kontennya tentang prank. Peristiwa sore ini belum diunggah di youtube. Subscribernya lumayan banyak, mencapai tiga ribuan. Heran juga dengan para netizen ini, tayangan-tayangan yang menurutku kurang berbobot begitu menarik perhatian mereka. Biasanya usia-usia remaja yang menyukai konten-konten semacam ini.
“Ahaaa, aku dapat ide”, teriakku tiba-tiba.
Aku menemukan semangatku yang sempat redup gara-gara kejadian sore itu. Betul kata ayah yang selalu menasehati aku, bahwa di balik setiap masalah pasti tersimpan hikmah. Ya benar, aku menemukan ide untuk menulis materi yang akan aku sampaikan di webinar, yaitu menjadi content creator yang smart dan inspiratif. Segera saja kutulis semua ide yang berkeliaran di pikiranku.
Selesai sudah tulisanku. Ah lega rasanya. Semoga berkat tulisanku ini, bisa melahirkan kreator-kreator muda yang tidak hanya smart tapi juga inspiratif, sehingga muncul tayangan-tayangan yang berbobot, tidak sekadar mencari sensasi demi sebuah predikat viral. Sedikit berbagi untuk kemajuan negeri ini.
Kututup laptopku, kurebahkan tubuhku. Alhamdulillah…
Yogyakarta, 17 Januari 2022
Day 14
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kangen ke sana Bunda
Monggo Bu main ke Jogja
Apik tenan cerpennya mbak. Ada nilai afektifnya yg bisa jadi panutan. Tapi nggak mbosenin. Top markotop
Makasi mbak Fitri.
Mantap ceritanya, salam literasi bu.izin follow
Terimakasih bu Ida. Ijin follow jg