Retno Widyaningtyas

Ibu biasa yang menginginkan kedua anaknya menjadi sosok yang luar biasa. Lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1981. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pegang Janjiku

Pegang Janjiku

Pagi itu, selepas meninjau proyek pembangunan perumahan, aku dan mas Iqbal melajukan mobil menuju klinik tumbuh kembang anak di salah satu Rumah Sakit terbesar di kota ini. Tahun ini adalah tahun kelima pernikahan kami, tiga tahun setelah menikah kami dikaruniai bayi perempuan, setelah sebelumnya selalu mengalami keguguran. Alifa nama putri kecil kami, saat ini berusia dua tahun. Dalam pertumbuhannya, kami merasakan adanya perbedaan tumbuh kembang Alifa dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Pagi itu kami datang ke klinik tumbuh kembang anak untuk mengetahui hasil diagnosis dokter spesialis anak, setelah sebelumnya Alifa menjalani rangkaian pemeriksaan fisik, skrining perkembangan, analisis kromosom, serta scan MRI.

Pagi itu Rumah Sakit sudah penuh sesak dengan pasien, mas Iqbal dan aku harus bersabar menunggu antrian di loket pendaftaran. Di sebelahku duduk seorang ibu tengah menggendong anaknya yang masih bayi. Terlihat sonde dipasang di hidung bayi itu, aku penasaran penyakit apa yang diderita anak tersebut. Aku membuka perbincangan dengan ibu si bayi.

“Maaf bu, ibu dari jam berapa antri disini?, tanyaku berbasa basi.

“Wah saya sudah dari jam 6 tiba di Rumah Sakit ini mbak. Semalam saya menginap di

rumah saudara supaya dapat antrian awal”, jawab ibu bayi.

“Lho memangnya ibu berasal dari mana?”, tanyaku. “

“Saya dari Cilacap mbak, dari Rumah Sakit disana, anak saya dirujuk ke Rumah Sakit

Dr. Saroja ini mbak”, jelas si ibu.

“Wah jauh juga ya, semoga kesehatan putrinya semakin membaik ya bu”, doaku.

“Aamiin..aamiin. Lha mbak namanya siapa dan dari mana?”,sambung ibu itu.

“Oh iya, maaf nama saya Yasmin bu, saya dari Jogja”, jawabku.

Obrolanpun berlanjut hingga Aku mengetahui bahwa anak ibu tersebut menderita kelainan usus sejak lahir yang membuatnya tidak bisa hidup normal seperti orang pada umumnya.

Aku merenungi apa yang dialami ibu tadi, perjuangan berat seorang ibu yang merangkap sebagai ayah karena sejak anaknya lahir suaminya meninggalkan mereka untuk menikah dengan perempuan lain. Seketika aku merasa masalahku terlihat sepele. Aku merasa malu pada Tuhan karena terlalu banyak mengeluh, merasa hidupku sangat berat, merasa paling mendertita. Nyatanya di luar sana banyak sekali manusia yang ditakdirkan berdampingan dengan masalah-masalah yang lebih berat dari yang aku alami.

Lamunanku buyar ketika terdengar nama Alifa disebut operator bagian pendaftaran. Bergegas aku menuju loket pendaftaran dan mengambil nomor antrian. Mas Iqbal mencari informasi letak klinik tumbuh kembang anak. Ternyata letaknya cukup jauh dari bagian pendaftaran, hingga kami harus berjalan jauh.

Kami menunggu antrian di ruang tunggu, setelah sebelumnya mendaftarkan diri dan mendapat nomor antrian 9. Tiba pada giliran kami untuk menemui dokter spesialis anak di klinik tersebut. Seketika suasana terasa begitu akrab, dengan senyum ramah dan sapaan hangat yang menenangkan dari dokter Aisha. Selanjutnya dengan tenang dokter Aisha menjelaskan pada kami mengenai kondisi Alifa.

“Bapak dan ibu, berikut akan saya sampaikan diagnosis tim dokter, setelah tata laksana pemeriksaan yang telah dilakukan pada ananda Alifa. Berdasarkan hasil pemeriksaan, didapatkan diagnosis bahwa Aisha mengidap Autism Spectrum Disorder atau autisme, untuk itu Alifa memerlukan terapi khusus untuk memperbaiki kondisinya.”, kata dokter Aisha.

Ternyata benar yang selama ini kami sangkakan, bahwa Alifa mengidap autisme. Seketika air mataku mengalir, perasaanku tak menentu, berbagai rasa berkecamuk,. Kami hanya terdiam, dokter Aisha paham betul apa yang kami rasakan.

“Bapak ibu tidak perlu terlalu khawatir dengan kondisi Alifa, banyak anak autis yang bisa hidup mandiri, asalkan ditangani dengan tepat sejak dini”, lanjut dokter Aisha menenangkan kami.

Selanjutnya kami mendengarkan penjelasan dokter mengenai langkah-langkah penanganan Alifa. Dokter berusaha meyakinkan kami bahwa memiliki anak autis bukanlah musibah, hanya orang-orang terpilih yang ditunjuk Tuhan untuk mengasuh anak berkebutuhan khusus, tentunya orang-orang yang istimewa. Setelah segala sesuatunya cukup jelas, kami berpamitan, dokter Aisha tersenyum ramah dan mengusap kepala Alifa dengan penuh kasih sayang.

Sepanjang perjalanan pulang kami saling diam, tak ada satu katapun yang terucap, kami larut dalam lamunan masing-masing. Alifa tidur lelap dalam pangkuanku, kupandangi wajah cantiknya. Air mataku kembali menetes, kusentuh pipi Alifa dan kukecup keningya, kemudian kupeluk erat tubuh mungil itu. Sesampai di rumah, mas Iqbal ijin untuk kembali ke proyek, selanjutnya melajukan mobil meninggalkan kami di rumah.

Kutidurkan Alifa di kamar, kemudian aku ke dapur untuk memasak. Aku tak bisa konsentrasi selama memasak, berbagai kekhawatiran berkecamuk dalam pikiranku. Bagaimana reaksi ibu mertua ketika mengetahui Alifa mengidap autis? Sudah pasti ibu mertua akan semakin membenci aku, karena dari awal ibu mertua tidak merestui aku menjadi menantu, tapi mas Iqbal mempertahankan aku. Mas Iqbal merupakan anak tunggal, tentunya ibu mertua sangat mengharapkan keturunan yang sempurna, sedangkan dokter mengatakan bahwa aku sudah tidak bisa memiliki keturunan lagi karena rahimku lemah, andaikan hamil pun akan berakibat buruk bagi aku dan bayiku.

Waktu menunjukkan pukul empat sore, kulihat sebuah mobil masuk halaman rumah, ternyata mas Iqbal sudah kembali dari proyek. Segera kubuka pintu, kemudian kucium punggung tangan suamiku, dan dibalas dengan belaian lembut di kepalaku, kemudian mas Iqbal mencium keningku. Mas Iqbal menghampiri Alifa yang duduk di lantai, kemudian menggendongnya dan mengajak bercanda Alifa. Meskipun tak ada reaksi dari Alifa, tapi mas Iqbal tampak sangat gembira. Aku sangat terharu dan lega melihat pemandangan itu, aku pikir mas Iqbal kecewa dan tidak bisa menerima kondisi Alifa yang autis, ternyata aku salah, mas Iqbal masih menyayangi Alifa seperti sebelum-sebelumnya.

“Umi masak apa hari ini? Abi lapar ni”, tanya mas Iqbal sambil memandangi Alifa, seolah pertanyaan itu ditujukan pada Alifa.

“Sebentar umi siapkan dulu ya bi”, jawabku.

Aku bergegas ke dapur, kusiapkan piring dan makanan di meja makan. Aku merasa sangat bersemangat, setelah sebelumnya aku khawatir adanya perubahan sikap bahkan penolakan mas Iqbal pada kami. Setelah membersihkan diri, mas Iqbal makan dengan lahapnya. Apapun masakan yang aku siapkan, mas Iqbal selalu tampak menikmatinya. Bisa jadi masakanku kurang enak atau itu-itu saja, tapi mas Iqbal tidak pernah protes.

Adzan magrib berkumandang, kami sholat berjamaah, aku sangat bangga pada imam sholatku, bacaan ayat-ayat suci Al Quran yang dilantunkan terdengar sangat indah. Selesai sholat magrib kami tadarus, kadang mas Iqbal mengoreksi bacaanku yang keliru. Setelah seluruh ibadah kami kerjakan, saatnya bersantai menonton tv bersama Alifa. Tiba-tiba hp mas Iqbal berdering, kulihat ibu mertua yang menelepon melalui videocall, jantungku berdebar-debar, pastilah ibu mertua menanyakan hasil kunjungan kami ke dokter.

“Assalamu’alaikum ibu”, jawab mas Iqbal dengan lembut.

“Wa’alaikumsalam, bagaimana hasil diagnosa dokter?”, tanya ibu tanpa basa basi.

Mas Iqbal tampak sedikit kebingungan, sehingga tidak langsung menjawab.

“Halo...halo, mas Iqbal”, seru ibu memanggil-manggil mas Iqbal.

“Eh njih bu, sampun, tadi sudah dapat hasilnya”, kata mas Iqbal.

“Lha iya, hasilnya gimana?”, tanya ibu.

“Alifa didiagnosa mengidap autisme bu”, jawab mas Iqbal.

Tampak ada ketegangan di wajah mas Iqbal, aku bisa merasakan apa yang dirasakan suamiku itu.

“Astaqfirullahaladzim…Ya Allah, kok bisa cucuku autis?”, kata ibu sambil menangis.

Aku tak kuasa menyimak perbincangan mas Iqbal dan ibu mertua, kubawa Alifa masuk kamar, lagi-lagi aku menangis, dadaku terasa sesak, aku merasa gagal menjadi wanita yang sempurna.

Selesai melaksanakan sholat isya berjamaah, aku kembali masuk kamar. Kutidurkan Alifa, kemudian kutemui mas Iqbal di ruang tengah. Aku duduk di samping mas Iqbal.

“Maafkan aku ya mas, andai saja dulu mas Iqbal mengikuti kata ibu untuk tidak menikah denganku, pasti tidak akan seperti ini”, kataku pada suamiku.

“Kamu ini ngomong apa, heh?”, kata mas Iqbal sambil berdiri dan mengusap kepalaku kemudian meletakkan cangkir di meja.

“Rejeki, jodoh, hidup dan mati semua berlaku atas kehendak Allah, sekeras apapun usaha ibuku menentang kita, kalau Allah mempunyai ketetapan Iqbal berjodoh dengan Yasmin, maka ketetapan Allah yang terjadi”, kata mas Iqbal mencoba menenangkanku.

Aku hanya bisa diam dan menangis mendengar ucapan lelaki yang sangat aku cintai.

“Saat ini yang terpenting adalah mengupayakan yang terbaik untuk Alifa. Kita fokus pada tumbuh kembang Alifa”, lanjut mas Iqbal.

Mas Iqbal bergeser mendekat padaku, kemudian merangkul pundakku dan mencium keningku. Kusandarkan kepalaku pada bahunya, kurasakan ikatan cinta yang sangat mendalam. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang begitu luar biasa, betapa mas Iqbal berjiwa besar..

Tiga bulan berjalan, kami mempunyai rutinitas baru, yaitu membawa Alifa terapi ke rumah sakit. Wujud ikhtiar dan rasa syukur kami atas kepercayaan Allah memberi amanat pada kami untuk mengasuh Alifa. Kembali dari rumah sakit, kulihat ibu mertua sudah berada di teras rumah. Kami turun dari mobil dan segera menemui ibu. Kami mencium punggung tangan ibu, kemudian mempersilahkan ibu masuk ke rumah. Tidak seperti biasanya, ibu mertua selalu menggendong Alifa ketika bertemu, kali ini ibu tak memperhatikan Alifa. Aku berusaha husnudzon, mungkin ibu lelah karena baru datang dari Solo.

Kubiarkan mas Iqbal dan ibu berdua saja di ruang tamu, sepertinya mereka membahas masalah yang serius. Cukup lama mas Iqbal dan ibu berbincang. Ibu menginap di rumah kami. Selama berada di rumah kami, ibu sama sekali tidak mengajakku bicara. Aku bisa menerima sikap ibu padaku, tapi yang membuatku sakit hati adalah sikap ibu yang juga acuh pada Alifa, bagaimanapun Alifa tetap darah dagingnya.

Pagi berikutnya ibu berpamitan untuk pulang ke Solo, ibu selalu diantar sopir pribadi karena bapak sudah meninggal.

“Dipikirkan benar apa yang ibu bicarakan kemarin yo mas”, pesan ibu pada mas Iqbal.

“Njih bu, InsyaAllah”, jawab mas Iqbal.

Aku tak tahu apa maksud obrolan mereka. Sepeninggal ibu, aku memberanikan diri untuk bertanya pada mas Iqbal tentang maksud kata-kata ibu tadi dan juga tujuan ibu datang ke rumah.

“Mas, emangnya apa maksud kata-kata ibu tadi, dan ibu kesini sebenarnya untuk apa?”, tanyaku menyelidik.

Mas Iqbal menghela nafas panjang, hanya diam tak segera menjawab pertanyaanku. Tampak kesedihan bercampur kegundahan dari raut wajahnya.

“Ibu memintaku untuk menikah lagi”, jawab mas Iqbal

Bagai petir di siang hari, aku sangat terkejut dengan jawaban mas Iqbal. Kali ini ganti aku yang hanya diam membisu.

“Kamu ingat perempuan yang dulu akan dijodohkan sama aku?”, tanya mas Iqbal.

“Iya, yang satu kampus sama mas Iqbal?”, tanyaku.

“Iya, dia belum menikah, ibu ingin aku menikah dengan dia”, kata mas Iqbal.

“Turuti saja permintaan ibu mas, jangan mengecewakan ibu untuk kesekian kalinya, bisa jadi apa yang kita alami ini karena tidak ada ridho dari ibu”, jawabku.

Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku,. Aku merasa tahu diri bahwa aku memang tak pantas untuk mas Iqbal, usia 35 tahun bagi kaum lelaki tergolong masih muda untuk membina rumah tangga. Mas Iqbal berhak bahagia dengan memiliki banyak keturunan, sedangkan aku tak bisa diharapkan untuk memberinya keturunan lagi. Aku berusaha tenang di hadapan mas Iqbal, meskipun hati ini sakit.

“Aku menikah untuk ibadah, menyempurnakan separuh agama, bukan semata-mata untuk mendapatkan keturunan”, jawab mas Iqbal

“InsyaAllah aku ikhlas mas”, kataku.

“Aku tidak akan pernah bisa berlaku adil, pasti ada pihak yang terdzalimi, aku tak ingin menanggung dosa seumur hidupku. Lebih baik aku memegang teguh janji yang pernah aku ucapkan saat menghalalkanmu, dan bertanggungjawab atas amanah untuk mengasuh Alifa seumur hidupku”, kata mas Iqbal.

Aku tak sanggup berkata-kata, air mataku mengalir. Masya Allah lelaki ini sungguh luar biasa, aku berjanji untuk setia mendampinginya seumur hidupku.

Seminggu berlalu, mas Iqbal mendapat tugas ke Palembang selama tujuh hari. Kami intens berkomunikasi melalui videocall. Setiap pagi dan malam sebelum tidur mas Iqbal menghubungi kami yang berada di Jogja. Kami saling merindukan, betapa kami saling mencintai satu sama lain, tak ada seorangpun yang berhak merenggut cinta ini dari kami. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, mas Iqbal selesai melaksanakan tugas di Palembang dan segera terbang pulang ke Jogja. Mas Iqbal menghubungi kami, mengabarkan bahwa pesawat yang ditumpangi mas Iqbal berhasil mendarat di bandara Yogyakarta International Airport, selanjutnya mas Iqbal menggunakan jasa ojek online. Aku dan Alifa menunggu kedatangan mas Iqbal di teras, perjalanan dari YIA ke rumah sekitar 45 menit. Sudah hampir dua jam mas Iqbal belum juga sampai ke rumah, beberapa kali kucoba menghubungi hpnya tapi tidak aktif. Aku mulai cemas, tak ada yang bisa aku hubungi karena hanya mas Iqbal yang bertugas ke Palembang. Rekan-rekan kantor tak ada satupun yang tahu keberadaan mas Iqbal. Alifa tak henti-hentinya menangis, kemudian kami masuk ke rumah. Perasaanku sangat tidak nyaman, aku sangat panik, Alifa semakin tak terkendali. Sudah empat jam tapi belum juga ada kabar dari mas Iqbal. Tiba-tiba bel berbunyi, aku segera keluar, pikiranku semakin kacau ketika kulihat dua orang polisi berdiri di hadapanku.

“Selamat sore bu, apakah benar ini rumah bapak Muhamad Iqbal Yanuar?”, tanya salah satu dari mereka.

“Betul pak, ada apa ya?”, tanyaku panik, jantungku berdebar kencang.

“Bapak mengalami kecelakaan di jalan raya, saat ini dirawat di Rumah Sakit Dr. Saroja”, kata seorang yang lain.

Aku terkulai lemas, air mataku bercucuran, aku menangis memanggil-manggil mas Iqbal. Beberapa tetangga terdekat datang menghampiri. Kedua polisi itu mohon diri setelah memastikan ada yang merawatku.

Setelah kondisiku stabil, Alifa kutitipkan pada orang tuaku, aku bergegas melihat kondisi mas Iqbal di rumah sakit. Lelaki yang aku cintai mengalami koma, terdapat luka berat di kepala dan tulang belakang. Seperti janjiku, aku akan setia menampingi imamku apapun yang terjadi, seperti dia yang memegang teguh janji sucinya saat menghalalkan aku.

Dua minggu kami di rumah sakit, belum ada tanda-tanda mas Iqbal sadar dari koma. Setiap saat kutemani kekasihku dengan lantunan ayat-ayat suci, aku yakin dia pasti mendengar. Kulekatkan dahiku pada sajadah, kubisikkan doa dalam setiap sujudku. Kulangitkan doa di ujung sholatku. Alhamdulillah doa-doaku diijabah Allah. Mas Iqbal sadar dari koma, meskipun pada awalnya shock mengetahui bahwa dirinya lumpuh karena cidera tulang belakang, seiring berjalannya waktu mas Iqbal bisa menerima kenyataan.

Kami kembali ke rumah, berkumpul lagi dengan Alifa. Kesabaran dan kesetiaanku benar-benar diuji, suamiku tak dapat beraktifitas tanpa bantuanku, ditambah lagi Alifa yang sangat tergantung padaku. Beberapa kali mas Iqbal meluapkan emosi, aku sangat memahami perasaannya. Aku berserah diri pada Allah, tidaklah Allah menimpakan sesuatu pada hambanya melebihi batas kemampuan hambaNya. Aku yakin kami bisa melewati masalah ini.

Aku jadi semakin sering ke rumah sakit, mengantar Alifa terapi dan di hari lain giliran mas Iqbal menjalani terapi untuk memulihkan kondisinya. Kondisi mas Iqbal yang tak bisa bekerja, otomatis membuat kami tak ada pemasukan. Aku mencoba membuka usaha rumahan, yaitu membuat kue dan aneka lauk pauk yang kutawarkan secara online. Alhamdulillah meskipun hasilnya jauh dari gaji mas Iqbal, tapi lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sedangkan tabungan di bank untuk biaya terapi di rumah sakit. Semua aku jalani dengan ikhlas dan sabar. Hikmah dari kesabaran dan kesetiaanku, ibu mertua berubah menjadi baik padaku dan bisa menerima keadaan Alifa. Ibu mertua memutuskan untuk menetap di Jogja untuk membantuku mengasuh Alifa. Kami menjadi semakin dekat dan saling menyayangi.

Dua tahun berlalu sejak kecelakaan itu. Alhamdulillah kondisi mas Iqbal semakin membaik, meskipun masih bergantung pada kursi roda. Beberapa aktifitas mulai bisa dilakukan tanpa bantuanku. Usaha kulinerku lumayan berkembang, aku mendapatkan banyak pelanggan setia. Ikhtiar dan doa terus saja kami upayakan. Allah melihat dan mendengar doa-doa kami, tak henti-hentinya kami berucap syukur ketika mas Iqbal mulai bisa berdiri. Hari demi hari mas Iqbal bisa berjalan meskipun masih dengan bantuan walker. Perkembangan yang luar biasa, di luar dugaan kami. Tidak mungkin terjadi tanpa seijin Allah.

Kondisi mas Iqbal semakin baik, mas Iqbal bisa berjalan dengan normal, kebahagiaan kami semakin sempurna lagi karena aku hamil anak kedua dan dokter menyatakan rahimku kuat dan kandunganku aman. Sungguh tak ada seorangpun yang bisa menentukan takdir manusia. Semua terjadi atas kehendak Allah. Banyak hikmah dalam setiap musibah yang aku alami. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Kuungkapkan kisahku dengan sebuah pena, dalam lembaran kertas putih, sebagai saksi bisu perjalanan hidupku.

Yogyakarta, 29 Januari 2022

Day 25

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post