Retno Widyaningtyas

Ibu biasa yang menginginkan kedua anaknya menjadi sosok yang luar biasa. Lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1981. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Secret Admirer

Secret Admirer

           Alhamdulillah…kutapakkan kembali kakiku di kota kelahiranku. Kota yang kutinggalkan sejak lulus kuliah. Kurang lebih 5 tahun aku merantau tanpa pulang sama sekali, karena memang tidak ada keluarga tempatku kembali. Sejak kecil aku diasuh oleh nenek karena orang tuaku berpisah. Ibuku pergi entah kemana, meninggalkan aku yang saat itu kelas dua SD, hingga saat ini aku tidak pernah bertemu ibuku, sedangkan ayahku merantau ke Kalimantan, dan telah memiliki keluarga baru. Saat SMA nenekku meninggal dunia dan aku hidup sendiri, mengurus segala kebutuhanku sendiri. 

Aku kembali ke kota ini untuk menemui cinta pertamaku, teman SMP yang diam-diam aku kagumi tanpa pernah berani ku ungkapkan perasaanku ini. Aku mengaguminya dari jauh, tak berani mendekat karena dia terlihat sangat dingin, seolah tak tersentuh, dan saat SMP aku merasa tidak percaya diri, kehidupan kelam yang aku alami membuat aku tertutup pada orang lain. 

Alunan Nada Cinta, ya aku ingat betul nama itu, cewek kelas 3 A, tinggi, berambut lurus dan berkulit putih. Luna adalah nama panggilannya. Kelas Luna berseberangan dengan kelasku, hingga setiap saat aku bisa melihatnya. Orang bilang cinta anak SMP adalah cinta monyet, cinta anak ingusan. Tapi rasa yang aku rasakan saat itu adalah cinta yang dalam, bahkan cintaku padanya masih aku pendam hingga saat ini.

Awal cerita aku bertemu dengan Luna, saat temanku bernama Feri melakukan pendekatan dengan sahabat Luna, bernama Viona. Luna dan Viona selalu bersama, pun saat Viona ketemuan dengan Feri, dan Feri pun mengajak aku saat menemui Viona. Aku berharap pertemuan Feri dan Viona bisa mendekatkan aku dengan Luna, tapi harapanku bertepuk sebelah tangan, Luna terlihat sangat cuek, dia selalu asyik membaca buku tanpa memperdulikan kehadiranku. 

Sebulan berjalan, Feri dan Viona semakin dekat, mereka tidak membutuhkan teman lagi ketika janjian bertemu. Artinya aku tak bisa bertemu lagi dengan Luna. Akhirnya aku putuskan untuk mengaguminya dari jauh, menjadi pemuja rahasia. Tidak terpikir olehku untuk melakukan pendekatan pada Luna, dan aku pun tidak berusaha menemui Luna. Aku terlalu tidak percaya diri, terlebih Luna terlihat sangat cuek padaku. Aku cukup senang dengan hanya melihatnya setiap hari. Hingga akhirnya masa kelulusan SMP benar-benar memisahkan aku dari Luna, karena aku dan Luna beda sekolah.

Kutinggalkan masa putih biru, melangkah ke masa putih abu-abu. Aku masih saja jomblo sementara banyak teman sebayaku sudah berpasang-pasangan. Aku masih setia mengagumi cinta pertamaku, meskipun aku tak bisa memilikinya karena tak berani mengungkapkan perasaanku. Aku mencari tahu segala informasi tentang Luna. Beberapa kali kukunjungi sekolahnya untuk sekedar melihatnya keluar dari gerbang sekolah, kemudian diam-diam aku ikuti dia hingga sampai di rumahnya. Kalau mengingat kekonyolanku di masa lalu kadang aku merasa geli sendiri.

Oktober 1998 nenekku meninggal dunia, satu-satunya keluarga yang aku miliki, yang merawat aku dari kecil. Saat itu aku kelas 2 SMA, aku terpuruk, waktu terasa berhenti berputar, aku tak tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidup. Ajakan ayah untuk ikut ke Kalimantan aku tolak, karena aku tahu ibu sambungku tidak menginginkan kehadiranku. Aku tak ingin merusak kebahagiaan rumah tangga ayah. 

Ternyata nenek telah menyiapkan tabungan untukku, berbekal tabungan dari nenek, aku bertahan hidup. Aku bangkit dari keterpurukan, aku benar-benar harus mandiri, mengurus segala kebutuhanku sendiri. Aku mencari tambahan penghasilan dengan bekerja paruh waktu di sebuah warung makan. Pagi sekolah dan malam bekerja. Rumah nenek yang cukup besar sebagian aku kontrakkan. 

Aku berhasil menyelesaikan sekolahku. Aku mengikuti tes masuk Peguruan Tinggi Negeri di Yogya, Alhamdulillah aku lolos di Fakultas Teknik. Di kampus ini aku bertemu kembali dengan Luna yang sempat tidak terpikirkan olehku karena aku fokus untuk bertahan hidup. Luna kuliah di Fakultas Psikologi. Seperti sebelumnya, aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku tidak sanggup mengungkapkan perasaanku, aku merasa belum pantas untuk memiliki gadis istimewa seperti dia. Semakin dewasa aku merasa semakin minder, pengalaman hidup yang aku jalani membuat aku sangat tidak percaya diri, terutama untuk melakukan pendekatan pada perempuan. Aku hanyalah anak broken home yang tidak jelas masa depannya, yang menggantungkan beasiswa untuk biaya kuliah, dan bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup. Aku memantapakan diri untuk fokus kuliah, aku bertekad memiliki masa depan yang bisa aku banggakan. 

 Selesai kuliah aku memutuskan untuk merantau ke Batam, mencari pekerjaan yang mapan supaya aku mempunyai kebanggaan di hadapan orang lain, terutama di hadapan wanita pujaanku.  Pengalaman masa kecil yang pahit, hingga masa remaja yang harus berjuang sendiri membentukku menjadi sosok yang mandiri, aku berjuang keras di perantauan, hingga saat ini aku memiliki perusahaan yang bergerak di bidang otomotif  hasil jerih payahku. 

Seseorang melambaikan tangan ke arahku, ternyata pak Rahmat, seorang asisten yang aku percaya mengelola anak perusahaan di Jogja. Pak Rahmat menjemputku di bandara, bergegas menghampiriku, dan membantu aku membawa barang bawaanku. Kami pun melaju menuju rumah peninggalan nenek. Sepanjang perjalanan kami banyak berbincang, tiba-tiba aku terdiam saat melintasi simpangan jalan menuju rumah Luna. Ada desiran halus yang menyeruak dalam hati, aku tak sabar untuk segera menemui cinta pertamaku, menunjukkan diriku yang sekarang, dan segera melamarnya. 

Akhirnya aku kembali ke rumah ini lagi, saksi perjalanan hidupku yang tidak biasa, tempatku berlindung dari kerasnya hidup. Tak banyak berubah, masih asri dengan pepohonan yang rindang, foto-foto masa kecilku masih rapi berjajar di meja ruang tengah. Ada setangkup haru menyelimuti hati, teringat almarhumah nenek yang teramat sangat menyayangi aku. Merawatku dari bayi hingga aku remaja. Figur seorang ibu aku dapatkan dari nenek. 

Kurebahkan tubuh lelahku di kasur kamarku, kenangan akan masa lalu memenuhi pikiranku. Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin menghapus kenangan-kenangan masa kecilku yang menyakitkan. Aku pernah protes kepada orang tuaku, kenapa aku harus dilahirkan kalau hanya disia-siakan. Ah sudahlah, aku kembali ke kota ini bukan untuk mengenang kepedihan masa lalu, tapi aku kembali untuk menjemput cinta pertamaku. 

Kicauan burung-burung membangunkanku pagi itu, aku merasa sangat bersemangat, seperti ada energi besar yang menyulut semangatku. Ya pagi ini aku akan menemui cinta pertamaku, aku akan datang ke rumahnya. Pasti dia sangat kaget, belum tentu juga dia ingat aku. Tapi tak apalah, aku sudah berjuang sejauh ini, memendam perasaan selama bertahun-tahun. Saat ini aku sudah lebih percaya diri dibanding puluhan tahun yang lalu, aku sudah mapan dengan pekerjaanku. Yah Rendra, saatnya untuk membuktikan bahwa kau pantas menjadi pendamping gadis pujaanmu.

Kulajukan kendaraanku menuju jalan Kusuma Negara. Semakin dekat aku merasa semakin nervous, perasaan yang sama yang aku rasakan puluhan tahun yang lalu saat aku bertemu Luna. Kubelokkan kendaraanku menuju gang Cempaka, rumah Luna terletak di Gang Cempaka nomor 102, aku ingat betul cat rumah berwarna putih kombinasi coklat muda, di halaman rumah terdapat ayunan dari besi bercat putih. Tibalah aku di depan rumah Luna, meskipun berubah warna catnya tapi aku masih bisa mengenalinya. Kuparkir kendaraanku di halaman rumah yang luas, kemudian aku turun dengan perasaan yang tak biasa, belum pernah kurasakan perasaan sekacau ini.

Kupencet bel yang menempel di sebelah pintu masuk. Terdengar seseorang berteriak meminta aku untuk menunggu. Beberapa saat kemudian pintu dibuka, tampak seorang perempuan paruh baya menanggapiku dengan ramah, tapi dia bukan mama Luna, sudahlah aku sapa dulu perempuan itu.

“Assalamu’alaikum bu”, kataku dengan sopan.

“Wa’alaikumsalam, maaf siapa ya?”, tanya perempuan itu.

“Oh iya, maaf bu, saya Rendra”, jawabku. 

“Iya nak Rendra, mau bertemu siapa?”, tanya pemilik rumah

“Saya ingin bertemu dengan Luna bu”, jawabku sedikit nervous

“Luna?”, Tanya ibu itu seraya berfikir.

“Disini tidak ada yang bernama Luna mas, mungkin pemilik rumah yang lama ya”, sambung ibu itu

“Oh begitu ya bu, apakah pemilik lama rumah ini bernama pak Yusuf Anshori?”, tanyaku penasaran

“Iya betul mas, beliau sudah pindah, rumah ini saya beli satu tahun yang lalu”, jawab si ibu.

“Maaf, ibu tahu dimana keluarga pak Yusuf pindah?”, tanyaku menyelidik.

“Waduh saya tidak tahu mas, kami tidak mengenal satu sama lain, hanya sebatas penjual dan pembeli”, jawab ibu itu.

“Ya sudah bu, saya permisi”, pamitku dengan lesu.

“Nggih mas, monggo. Coba ditanyakan pada tetangga sebelah mas”, kata si ibu memberi saran

“Nggiih bu, matur nuwun, nanti coba saya cari informasi”, jawabku.

 

Perasaanku semakin kacau, tapi aku tak putus asa, kucoba saran dari ibu pemilik rumah, kudatangi rumah tetangga sebelah. Kebetulan pemilik rumah ada di warung depan rumahnya.

“Assalamu’alaikum bu”, sapaku.

“Wa’alaikumsalam, mau beli apa mas”, tanya ibu pemilik warung.

“Saya minta air mineral 2 botol bu”, jawabku spontan.

Ibu itu kemudian mengambilkan 2 botol air mineral, aku ambil kesempatan untuk mencari informasi tentang keluarga Luna.

“Maaf bu, boleh saya bertanya?”, tanyaku berhati-hati.

“Oya silahkan mas!”, jawab si ibu dengan ramah.

“Saya mendapat informasi dari rumah sebelah bahwa keluarga pak Yusuf sudah pindah, apakah ibu tahu keberadaan keluarga pak Yusuf saat ini?”, tanyaku penuh harap.

“Oh iya mas, sudah satu tahun pak Yusuf pindah, sejak putra pertamanya meninggal karena kecelakaan kemudian keluarga pak Yusuf memutuskan untuk pindah rumah”, jelas ibu itu 

“Innalillahi wa inailaihirajiun, maksudnya mas Indra yang meninggal?”, tanyaku, mas Indra adalah kakak Luna yang juga kakak kelasku saat SMP.

“Iya betul mas, sejak peristiwa kecelakaan itu bu Yusuf jadi trauma, setiap hari menangis dan merasa mas Indra masih hidup karena melihatnya di dalam rumah itu. Oleh karena itu mereka pindah rumah untuk memulihkan kondisi bu Yusuf.” Kata ibu itu menerangkan.

“Oo begitu, pastilah sangat kehilangan ya bu. Lalu mereka pindah kemana?”, tanyaku menyelidik.

“Mereka pindah ke Bantul mas, di daerah Jalan Pemuda”, jawab ibu pemilik warung. 

Obrolan kami berlanjut, dari ibu pemilik warung itu aku mendapatkan detail lokasi rumah Luna. Aku tak mau buang waktu, setelah berpamitan, segera kulajukan kendaraanku ke Jalan Pemuda.

Tidak mudah ternyata mencari rumah Luna yang baru, lokasinya berada di area persawahan. Akhirnya aku menemukan rumah dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan ibu pemilik warung. Rumah itu tampak ramai, ada janur kuning melengkung terpasang di pintu gerbang. Kuparkirkan kendaraanku, kemudian aku turun mencari informasi.

“Nyuwun sewu pak”, kataku pada seseorang yang bertugas menjaga kendaraan yang terparkir di situ.

“Ya mas, dospundi?”, tanya bapak itu.

“Apa benar yang sedang ada hajat itu kediaman pak Yusuf Anshori?”, tanyaku.

“Iya betul mas, lha mas ini mau menghadiri hajatan? Kalau tidak jangan parkir di sini mas”, kata penjaga parkir.

“Oh iya maaf pak, saya mau tanya sebentar pak”, pintaku.

“Gimana mas?”, tanya bapak itu.

“Maaf yang menikah siapa ya pak?”, tanyaku

“Putrinya pak Yusuf yang nomer 2”, jawab bapak itu.

Deg, jantungku terasa berhenti berdetak, putri pak Yusuf yang nomer 2 berarti Luna. Pikiranku kacau, apa benar Luna yang menikah?

“Mas..gimana jadi parkir tidak?”, tanya penjaga parkir membuyarkan lamunanku.

“Oh maaf pak, ijin bertanya lagi, apakah yang menikah bernama Luna?, tanyaku

“Waduh kalau namanya saya kurang paham mas, pak Yusuf warga baru di sini, yang kami kenal hanya pak Yusuf dan bu Yusuf”, kata bapak itu.

Aku tak kehabisan akal, aku bertanya pada tamu undangan yang memarkirkan kendaraan di sekitar tempat itu. Ternyata benar hari itu pernikahan Luna. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, aku merasakan patah hati luar biasa. Aku terduduk lama di dalam kendaraan. Bulir-bulir air mata menetes, untuk kedua kalinya aku menangis, kehilangan orang yang aku sayangi. Pertama saat nenekku meninggal. Aku merasa sangat hancur, perjuanganku selama ini terasa sia-sia. Bodohnya aku tak pernah mengungkapkan perasaanku pada Luna. Meskipun dia menolak, paling tidak Luna mengetahui bahwa aku mencintainya, sangat mencintainya.

Kutinggalkan rumah Luna dengan perasaan tak menentu, pikiranku kacau, berbagai rasa berkecamuk. Kubelokkan kendaraanku ke arah pantai. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju laut lepas, aku berteriak sekeras-kerasnya, deburan ombak menderu seolah menyuarakan tangisan hatiku. Aku duduk tertunduk lemas, tak kuperdulikan ombak menghantam tubuhku. 

Dua tahun sejak hari patah hati, aku memutuskan untuk menetap di Jogja. Kota ini terasa dapat menyembuhkan luka hatiku. Aku mulai membuka diri pada wanita lain, meskipun tak mudah, tapi aku berusaha melupakan cinta pertamaku. Aku harus meneruskan hidupku, aku berhak bahagia, meskipun tanpa Luna. 

Aku menikah dengan adik kelasku masa SMA yang ternyata menyimpan rasa padaku sejak di bangku SMA, tapi aku tak menyadarinya karena hatiku tertutup oleh Luna. Kami bertemu saat reuni akbar SMA. Dia menyapa aku terlebih dahulu, Sinta namanya. Sejak saat itu kami intens berkomunikasi melalui sms dan beberapa kali bertemu. Satu tahun setelah menikah, kami dikaruniai seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Aku merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama pada bayi mungil itu. Cinta yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 

Aku menjalani hari-hariku dengan bahagia bersama keluarga kecilku. Aku berhasil menyembuhkan luka hatiku. Hpku berbunyi, notifikasi group chat Whatsapp. Penasaran aku buka goupnya, ternyata group SMP angkatan 95. Group itu baru dibentuk, masing-masing anggota group memperkenalkan diri, untuk mengingat satu sama lain. Seseorang mencuri perhatianku, dia memperkenalkan diri pada teman-teman se angkatan. Luna ada di group itu. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku lihat photo profil WA perempuan itu, benar itu Luna. Wajahnya tak banyak berubah, hanya sekarang mengenakan hijab.

Teman-teman se angkatan SMP mengadakan reuni, tanggal 7 Februari 2015. Setan apa yang memengaruhi aku hingga aku bersemangat untuk menghadiri reuni dengan harapan bisa bertemu Luna. Aku datang sendiri pada acara reuni, beberapa teman membawa keluarga. Aku bertemu kembali dengan Feri, sahabat masa kecilku yang membawa aku bertemu Luna pertama kali. Disitu juga ada Viona, pacar Feri semasa SMP, mereka berpacaran hingga kuliah, tapi akhirnya kandas dan menikah dengan jodoh masing-masing. Jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang, aku menunggu kehadiran seseorang. Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi. 

Seorang perempuan bersama gadis kecil yang cantik menghampiri kerumunan reuni, aku amati dan kutanyakan pada Viona, ternyata benar dia adalah Luna, wanita yang selama bertahun-tahun aku perjuangkan sekaligus membuat aku patah hati. Luna terlihat lebih anggun dengan jilbab lebar menutup tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya tak banyak berubah, masih seperti saat pertama aku mengenalnya, natural tak tertutup polesan make up.

Beberapa teman laki-laki berusaha mencari perhatian Luna, dengan mengajak ngobrol, bahkan ada yang mengajak foto bersama. Kesempatanku tiba, saat Luna duduk menyendiri mengamati putri kecilnya bermain. Aku beranikan diri menyapa Luna.

“Hai, Luna ya?”, sapaku berbasa basi.

“Eh halo, iya benar, siapa ya?”, tanya Luna.

Aku sedikit kecewa karena dia tidak mengingat aku.

“Aku Rendra, kelas 3 D, inget nggak?’, tanyaku.

“Oh iya iya, temannya Feri kan?”, Tanya Luna.

Ya dia mengenalku hanya sebatas teman Feri, selebihnya memang dia tidak tahu.

“Iya betul, Alhamdulillah kamu masih ingat”, kataku.

“InsyaAllah masih ingat”, kata Luna.

Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan sore itu, kami ngobrol banyak hal. Luna tinggal di Bandung mengikuti suami.

Sejak pertemuan sore itu hatiku kembali gundah, meskipun aku tak bisa memiliki Luna tapi masih ada keinginanku untuk mengungkapkan perasaanku selama ini. Suatu saat pasti akan aku ungkapkan.

Aku rajin mengikuti perkembangan Luna di media sosial, termasuk status-status di WA Luna. Suatu ketika Luna memajang foto putrinya di status WA. Aku mengirim komentar melalui chat WA.

“Cantik banget putrinya, mirip bundanya waktu SMP”, kataku.

“Alhamdulillah, terimakasih. Memangnya tahu aku waktu SMP?”, Tanya Luna.

“Ya pasti tahu lah, Alunan Nada Cinta, kelas 3 A, tinggi dan berambut lurus”, kataku menegaskan.

“Wah ingat nama panjangku juga”, kata Luna

“Ya ingatlah, kok kamu seperti heran aku mengingat kamu?”, kataku

  “Aku pikir aku bukan cewek yang populer di SMP, jadi heran saja kalau ada yang ingat,   

             apalagi bukan teman satu kelas”, kata Luna.

Obrolan mengalir, Luna semakin heran ketika tahu aku mengetahui banyak hal tentang dia, teramat banyak dan detail, termasuk saat aku mengunjungi rumahnya bertepatan dengan pernikahannya dan yang aku dapatkan adalah patah hati.  Aku terbawa suasana, hingga tak terasa aku mengungkapkan perasaanku.

“Luna, sebenarnya sejak SMP aku menaruh perhatian pada kamu, hingga aku sanggup 

              melakukan hal-hal konyol demi mengenalmu lebih dalam”, kataku.

Beberapa saat Luna terlihat mengetik pesan, tapi tak juga terkirim pesan darinya. Aku paham dia pasti sangat kaget dan heran dengan segala yang aku sampaikan, hingga bingung bagaimana menanggapi ceritaku.

“Maaf ya, terus terang aku tidak menyangka sama sekali, apa yang kamu ceritakan sungguh tak pernah terpikirkan sama sekali olehku, ini aneh bagiku, sangat aneh, kita tidak pernah ngobrol sama sekali, bahkan aku mengenalmu sebatas teman dari sahabatku, tiba-tiba kamu muncul dan menyampaikan semua yang kamu ceritakan, bahkan kamu mengetahui banyak  hal tentang aku”, kata Luna membalas komentar.

“Ya memang itulah yang terjadi, aku juga tidak menyangka akhirnya semua 

             kuungkapkan pada kamu, jujur aku merasa sangat lega”, jawabku.

Sejak hari itu aku lebih sering mengirim pesan pada Luna melalui chat WA, Luna masih penasaran dengan apa yang aku sampaikan, bagaimana aku bisa tahu banyak tentang dia. Satu hal yang aku pinta pada Luna, aku ingin tetap bisa berkomunikasi dengan Luna.

“Luna, please ijinkan aku untuk bisa ngobrol dengan kamu meskipun melalui WA 

             seperti ini, jangan menolak, aku tidak mau kehilangan kamu lagi”, pintaku.

“Bukankah sebelum ini kita tidak pernah berkomunikasi, dan kamu bisa melalui hari-

             harimu seperti biasakan?”, tanya Luna.

“Iya kamu benar, tapi sejak aku menemukan nomer WA mu dan aku bisa 

            berkomunikasi denganmu, ada rasa takut kehilangan, aku tak mau patah hati untuk 

            kedua kalinya”, kataku merengek seperti anak kecil.

“Maaf Rendra, aku tak bisa memenuhi keinginanmu, aku hanya ingin menyambung 

             silaturahmi, tidak lebih dari itu, kemarin memang aku selalu menanggapi WA mu 

             karena terus terang aku sangat terkejut dan penasaran dengan apa yang kamu 

            sampaikan, saat ini aku rasa sudah cukup jelas dan tidak ada rasa penasaran lagi”, 

            jawab Luna.

“Maksudmu, kita tidak bisa komunikasi seperti ini lagi?”, tanyaku.

“Lebih baik tidak Rendra, kita sudah memiliki ikatan dengan pasangan masing-

              masing, kita juga sudah memiliki anak yang membutuhkan perhatian kita. Sudahlah 

             fokus pada keluargamu, jangan mendzalimi istri dan anakmu”, pinta Luna.

Kata-kata Luna seketika menyadarkanku, bahwa ada ada orang lain yang lebih berhak mendapatkan perhatianku, yaitu istri dan anakku.

Sejak hari itu aku tak pernah menghubungi Luna, dia benar aku harus fokus pada keluarga kecilku, pada istri yang sangat mencintai aku, pada anak yang sangat membutuhkan perhatianku. Pengalaman masa kecilku mengajarkanku untuk menghargai pasangan, mencurahkan kasih saying penuh pada anak, supaya anakku tidak mengalami kehidupan yang getir seperti yang dialami ayahnya. Dari Luna aku belajar bahwa tidak semua yang kita inginkan harus kita miliki. 

Aku tutup lembar cerita tentang Luna, cukuplah aku menjadi secret admirer, tak berharap untuk memiliki. Aku milik Sinta dan putri kecilku Neona Putri Admiral yang lebih berhak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dariku, yang wajib aku jaga seumur hidupku sebagai amanat yang kelak aku pertanggungjawabkan dihadapanNya.

 

Yogyakarta, 30 Januari 2022

Day 26

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post