Waktu Telah Mengubahmu Sobat
Pagi buta di kala orang lain masih berselimut mimpi aku sudah berangkat mengais rejeki, dan pulang di saat orang lain mulai merebahkan tubuh untuk istirahat malam. Begitu seterusnya dari hari ke hari dalam 5 hari kerja. Hari Sabtu dan Minggu, orang lain memanjakan diri dengan berjalan-jalan menikmati mall, food court, maupun tempat wisata, sedangkan aku memilih untuk memberi waktu bagi tubuh dan pikiran beristirahat setelah lima hari berturut-turut ku paksakan tubuh dan pikiranku untuk mengejar deadline dan memenuhi target. Siang itu Hp ku tak henti-hentinya berbunyi, notifikasi dari beberapa grup Whatsapp hingga ratusan obrolan jumlahnya. Aku memang jarang membuka chat grup selain grup kantor tempat kerjaku, karena isinya standar, dari obrolan receh hingga broadcast kata-kata motivasi. Iseng aku buka grup chat SMA, grup yang paling ramai dan tak ada hentinya. 450 chat yang belum aku baca, tak semua aku baca karena aku malas scroll ke atas, hanya beberapa chat terakhir yang aku baca. Ternyata grup itu sedang merencanakan reuni. Tahu aku menyimak group, beberapa teman menyapaku, mereka mengharap aku datang pada acara reuni yang diadakan pada Minggu depan. Aku pikir tidak ada salahnya sekali-sekali hang out dengan teman lama, untuk penyegaran otakku juga supaya tidak jenuh dengan rutinitas kantor.
Tiba pada hari pelaksanaan reuni, aku bertemu teman-teman masa putih abu-abu. Kurang lebih 10 tahun sejak kelulusan SMA kami tidak bertemu. Secara fisik mereka telah banyak berubah. Saat SMA aku memiliki 3 sahabat, yaitu Anto, Lutfi, dan Yosi. Oleh bapak ibu guru kami dijuluki 4 sekawan, meskipun dikenal suka iseng tapi kami juga dikenal sebagai siswa yang pintar. Anto tidak terlihat di reuni itu, di grup WA pun tak kutemukan kontaknya. Dari cerita Yosi aku jadi tahu kondisi Anto saat ini. Suatu saat Yosi mencari tahu keberadaan Anto. Dari informasi beberapa sumber, diketahui Anto tinggal di masjid dan bekerja sebagai marbot masjid. Yosi mengajak Anto makan siang di angkringan sekitar masjid. Obrolan awal biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, Anto dan Yosi ngobrol dengan akrab seperti jaman SMA. Hingga di tengah-tengah obrolan Anto terdiam dan melamun. Yosi berusaha mengajak ngobrol Anto, tapi tidak ada respon dari Anto. Tiba-tiba Yosi dikejutkan oleh sikap Anto yang aneh, dia beberapa kali mengatakan "harusnya aku jadi orang kaya, harusnya rumah itu milik aku" berulang-ulang, sambil menatap Yosi dengan penuh amarah. Kemudian Anto pergi meninggalkan Yosi yang masih shock dengan apa yang terjadi pada Anto. Pemilik angkringan menyapa Yosi, kemudian bercerita mengenai Anto. Orang tua Anto, khususnya ayahnya kecewa karena Anto tidak berhasil menjadi dokter sesuai harapan orang tua. Anto sempat kuliah di Faultas Kedokteran, tapi karena merasa terpaksa akhirnya Anto mengalami gangguan kejiwaan dan tidak bisa melanjutkan kuliah. Kedua adik Anto berhasil menjadi dokter, dan oleh orang tuanya, kedua adik Anto diberi hadiah rumah, sedangkan Anto hidup tak tentu arah dan tidak diperhatikan oleh orang tua, yang merasa malu memiliki anak dengan kondisi seperti Anto. Beruntung seorang Kyai pemilik masjid di sebuah kampung memberi kepercayaan pada Anto untuk menjadi marbot masjid.
Pukul sembilan malam aku tiba di rumah. Kurebahkan tubuhku di atas kasur, kupandangi langit-langit di kamarku, terlintas cerita Yosi tentang Anto. Aku seakan tak percaya dengan apa yang dialami oleh Anto. Dulu Anto adalah anak orang kaya, ayahnya pejabat di salah satu bank. Di saat anak yang lain belum memiliki sepeda motor, si Anto ke sekolah menggunakan sepeda motor keren yang sedang ngetren saat itu. Tak jarang pula Anto ke sekolah diantar menggunakan mobil. Anto juga selalu rangking 1 di kelas, dan beberapa kali ditunjuk mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade sains. Roda kehidupan terus berputar dan waktu telah banyak mengubah hidup seseorang. Anto yang masa kecil hingga remaja hidup dalam kemewahan, saat ini terpuruk, hidup dalam kesengsaraan. Banyak pelajaran berharga yang aku dapat dari kisah hidup Anto, betapa orang tua tidak selayaknya memaksakan kehendak pada anak tanpa memperhatikan kebutuhan anak, menaruh harapan terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuan anak. Alhamdulillah aku berada di tengah keluarga yang demokratis, sejak aku kecil, orang tuaku selalu melibatkan aku dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentinganku. Dari hal tersebut aku terlatih untuk berfikir kritis dan berani menentukan keputusan. Hingga saat dewasa aku menjalani semua aktifitasku sesuai keinginanku, tak ada paksaan dari siapapun. Alhamdulillah apa yang aku upayakan sesuai harapanku. Aku menjadi Dandy yang sekarang ini, berkat doa dan dukungan dari orang tuaku yang mendidik tanpa menghardik, memberi kepercayaan tanpa memberi beban, dan memotivasi tanpa menghakimi.
Yogyakarta, 21 Januari 2022
Hari 18
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terimakasih Bu Kartina. Salam kenal & salam literasi. Ijin follow jg
Bagus bangat Bu. Lugas. Kayak baca novel aja rasanya. Ditunggu episode tagurnya Bu. Salam kenal saya dari Sumbar. Salam literasi ....
Izin follow ya Bu ....