BUDAYA 'CEMEEH'
Tantangan Menulis Gurusiana H ke - 15
Hari ini saya pergi belanja untuk kebutuhan dapur ke warung yang jauh dari rumah. Karena jauh, akhirnya saya pergi menggunakan motor. Ditengah kondisi sekarang, adanya pemberlakuan PSBB dan anjuran sosial distancing, anjuran pemakaian masker, sering cuci tangan dengan sabun, dan menjauhi keramaian. Sebagai masyarakat yang menyadari benar akan dampak penyebaran wabah corona, yang sangat berbahaya. Meski wabah itu tidak bisa dilihat dengan terbuka, waspada dan mematuhi anjuran pemerintah tentu wajib dipatuhi. Akibat alasan itu jugalah, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berbeda dari hari biasa saya keluar menggunakan masker untuk menutupi mulut dan sebahagian wajah.
Sampai di warung yang dituju, sambil pilih-pilih apa yang harus saya beli, tak disangka saya bertemu dengan seorang kenalan. Meski memakai masker, syukurnya suara dan gerak-gerik saya masih bisa dikenali. Tiba-tiba saya menerima kalimat bernada cemeeh dari kenalan saya tadi. "Untuk apalah pakai masker segala, berlebihan sekali sepertinya, kan masih sekitar kampung kita juga, tidak ada wabah corona itu disini." Wah, jujur saya agak sedikit terkejut mendengar kalimat yang tidak saya sangka akan keluar dari mulutnya. Tapi saya yang malas menanggapi akhirnya, tidak bisa diam juga. Sambil menarik nafas dan senyum sendiri dibalik masker. "Saya hanya berusaha menjaga diri dan orang lain saja uni, dan mematuhi anjuran yang seharusnya," jawab saya.
Mendengar hal seperti demikian di tengah kondisi yang tidak biasa, membuat perasaan sedikit tidak menerima. Bagi saya kalimat itu adalag semacam kalimat cemeeh, yang tidak seharusnya keluar. Toh, yang lain juga masih banyak yang merasa hal ini penting untuk di lakukan. Beda hal dengan hari lain yang tidak dalam kondisi sekarang.
Saya jadi ingat juga, seorang sahabat SMA saya, yang saat ini bertugas di salah satu RSUD. Beberapa hari lalu saya sempat berkomunikasi soal wabah corona, yang sampai juga di daerah saya. Beliau menceritakan keresahan dan kesedihan hatinya, soal masyarakat yang menganggap enteng dan remeh masalah wabah ini. Saat kami harus berjuang di RS, harus siap menangani jika pasien covid 19 tiba. Menanggung segala resiko, dan meninggalkan anggota keluarga tuk sementara.
Ketakutan dan kekhawatiran tentu ada, tetapi tanggapan masyarakat yang semakin membuat ketakutan kami bertambah besar. "Untuk apa takut dengan wabah ini, kalau sakit diobatilah nanti, kan ada dokter yang akan mengobati. Mengapa harus takut dengan wabah ini. Kalau yang mati nanti akan mati juga." Begitulah banyak suara masyarakat yang terdengar, sambil sedikit terbata-bata sahabat saya menceritakan.
Tetapi kenyataan memanglah demikian. Jika belum kena, dianggap sepele. Cemeeh dengan begitu mudah keluar. Nanti saat kena batunya, barulah mencak-mencak keluar semua keluhan, umpatan dan penyesalan.
Sebenarnya berbicara soal cemeeh, tidak kali ini saja saya dengar. Bahkan mirisnya, cemeeh seperti menjadi sebuah kebiasaan hingga jadi budaya yang buruk. Seolah biasa saja, padahal banyak dampak darinya. Sampai-sampai saya buka kamus untuk mendudukkan kata yang kurang saya sukai ini. Kalau kita lihat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Cemeeh adalah sebuah ejekan, hinaan, atau cemooh. Mencemeehkan artinya mengejek atau menghinakan. Sedangkan pencemeeh adalah orang yang suka mengejek atau menghina orang lain.
Berbicara serius soal cemeeh, sesungguhnya adalah sebuah kebiasaan yang sangat tidak baik. Seringkali membuat orang berada pada posisi yang tidak nyaman. Karena kalimat-kalimat cemeeh berisi ungkapan seperti dalam kamus tadi, berisi ejekan, menghina dan mencemooh orang lain. Orang yang sering berbuat cemeeh adalah si pencemeeh, kerjanya tentu mencemeehkan. Cemeeh sangat jauh berbeda dari kritikan, kritikan meski juga terkadang sulit untuk diterima oleh banyak orang, tetapi lebih ke arah mengkritisi suatu hal untuk lebih baik.
Nah, mencemeeh cenderung menjatuhkan dan menganggap rendah apa yang dilakukan oleh orang lain. Bagi orang-orang yang bermental bagus dan tangguh, serta tinggi positif thinkingnya, ungkapan cemeeh mungkin dianggap angin lalu saja. Malah bisa menjadi motivasi tersendiri. Mereka lebih yakin dan percaya diri bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar, tidak terganggu dengan penilaian orang lain. Sebaliknya bagi yang tidak, hal ini menjadi masalah. Sesuatu yang sangat menganggu, membuat gerak tidak bebas. Apalagi bagi orang-orang yang baru mulai memperbaiki hidupnya misalnya, bisa jadi merugikan.
Kata-kata cemeeh juga sering terdengar menyakitkan, andai kita pendengar dan yang di tuju tidak bisa menguasai hati dan pikiran. Bisa-bisa jadi merusak perasaan, dan parahnya takutnya jadi bibit perselisihan. Hal itu sangat banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang yang biasanya jarang ke Mesjid, berubah menjadi rajin mengunjungi mesjid. Tiba-tiba ada saja teman yang mencemeeh "tumben nih, cie calon penghuni surga nih." Ada wanita yang belum berhijab, kemudian Allah gerakkan akhirnya dia berhijab. Lalu ada saja yang mencemeeh, "wah, mau kemana buk haji, sudah insaf buk haji ?". Ada anak laki-laki yang santun, dekat dengan ibunya, kena juga cemeeh digelari dengan anak mami dan sebagainya. Ada orang yang rajin dicemeeh juga, yang gigih berjuang dicemeeh juga, yang patuh dicemeeh juga. Ada juga orang yang sedang berjuang menegakkan keadilan, berusaha membantu orang lain, menyampaikan kebenaran, menjadi agen perubahan dalam lingkungannya. Semua sempat menerima cemeeh dari orang-orang yang berjiwa kerdil.
Perlu pencerahan bagi jiwa-jiwa kerdil yang masih bersikap mencemeehkan orang lain. Mencemeeh adalah sebuah kemunduran. Jangan sampai niat baik seseorang, langkah baik, pemikiran dan ide-ide yang cerdas dicemeeh. Sebab semua orang sedang berproses memperbaiki hidupnya. Atau menjalani hidup dengan pilihan dan cara yang mereka yakin itu akan membahagiakan mereka. Sepertinya kita harus belajar banyak untuk menghargai orang lain. Agar kita saling hidup menciptakan kedamaian, dan menjauhi perselisihan.
Bagaimana kita bisa semakin maju dalam hidup ini. Kalau sibuk saling mencemeeh diantara kita. Kita belum tentu yang terbaik, setiap kita memiliki kekurangan. Dari pada menunjuk orang lain, lebih baik kita rajin instropeksi diri. Kata-kata cemeeh hanya akan membuat kita terlihat bodoh, dan bisa membuat kita malu diri. Karena sebaik-baik kita lebih baik orang lain. Seburuk-buruk orang lain, lebih buruk diri kita. Yang paling indah adalah kita saling mendukung, saling mengingatkan dan saling menghargai. Jangan sampai menjadi pencemeeh yang bisa merusak segala hal tentang indahnya kehidupan.
Pariaman, 9 Mei 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ndk dima-dima do ndk Bunda, budaya cemeeh ko selalu Ado. Kadang lah mendarah daging. Hahaha, tidak usah didengarkan, Bunda. Yang penting kita di jalan yang benar. Biar saja Anjing Menggonggong, kafilah tetap berlalu.
mmg belum semua masyarakat kita paham...