Riana Sari

Riana Sari, lahir di Banjarnegara, 11 Desember 1989, anak kedua dari tiga bersaudara ini senang menulis sejak di bangku SMP. Karya-karyanya berupa Komik, Cerpen...

Selengkapnya
Navigasi Web
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU

CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU

Dibawah segala gemerlap ini,

Kami hanyalah sekumpulan kapas ringan

Yang dibawa angin mengudara

Angin ke barat, kami turut taat

Angin ke timur, kami dibawa melantur…

Lalu dimana esensi kebahagiaan,…

Yang nampak hanyalah kesemuan….

Petang kian merapat bersama matahari yang makin terhimpit di ufuk barat. Jingga kian memucat dan langit berganti busana malam yang ungu violet. Suasana meremang seiring petang. Segalanya menjelma sunyi. Seluruh santri yang tadi sibuk menyapu pelataran, kini telah masuk ke pondok, bersiap-siap shalat. Aku pun baru saja hendak bangkit dari dudukku dan beranjak meninggalkan gundukan tanah yang sudah hampir rata, yang pada salah satu ujungnya terpancang batu penanda. Tanpa nama. Gundukan itu terletak diantara rimbun rumpun Jasminum sambac yang sangat aromatis.

“Ummi,…” Aina menghampiriku. Aku masih mematung di tepian makam itu dengan buku catatan merah yang penuh goresan kata sarat makna yang berusaha kusembunyikan dari Aina. Gadis yang tingginya sudah melampaui aku itu menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu kananku. Aku tersenyum. Kami melangkah masuk pondok, sementara angin petang berhembus begitu dingin menggugurkan bunga-bunga melati hingga berjatuhan diatas makam itu.

“Ummi, sebenarnya itu makam siapa? Mengapa letaknya begitu dekat dengan pondok kita? Lalu mengapa hampir setiap sore ummi mengunjunginya?” Aina bertanya untuk kesekian kali. Pertanyaan yang kerap diulangnya ketika mendapati aku duduk di dekat makam itu. Pertanyaan yang hingga kini belum kujawab dengan pasti.

“Nanti, ummi beri tahu Kamu, Sayang….” Ujarku seraya membelai kepala Aina yang tertutup hijab hijau, warna kesukaannya.

***

Aina, umurnya baru tujuh belas tahun. Kerlip bola mata indah pada setiap tatapannya begitu mampu meluluhkan hatiku, bahkan disaat aku marah dan sedih. Karena itu pula aku memberinya nama Aina. Aina Awa. Usiaku kian tua, tapi di hati ini masih mengganjal satu kebenaran, yang belum dapat kusampaikan padanya. Suatu kebenaran yang suatu saat harus ia tahu.

“Tunggulah, sampai dia dewasa! Tunggulah sampai kita menemukan cara yang tepat untuk menyampaikannya!” Abah, suamiku tercinta, selalu berkata begitu. Meski jarang berbincang dengan Aina atau bahkan sekedar menanyakan perkembangannya, tapi jauh di dasar hatinya, aku tahu ia sangat menyayangi Aina. Begitu juga sebaliknya. Aina sangat sayang pada Abahnya, bahkan ia begitu bangga menjadi seorang Aina awa putri Abah.

“Namaku Aina Awa bin Abdul Rasyid. Ummi bilang, aku adalah bidadari Ummi yang cantik. Aku,…” Aina begitu lantang ketika tiba giliran dirinya memperkenalkan diri di depan kelas. Dan aku melihat itu dari balik jendela Madrasah Ibtidaiyah dengan hati bangga sekaligus sedih. Kenangan itu sudah berlalu bertahun-tahun, tapi setiap saat aku masih terbayang saat Aina begitu lantang berujar,…Namaku Aina Awa bin Abdul Rasyid,…. Aina Awa bin Abdul Rasyid,… bin Abdul Rasyid,…

***

“Ummi, Aina mau kuliah di kota…” Ujarnya tenang sambil membolak-balik brosur-brosur perguruan tinggi yang didapatnya dari madrasah.

“Disini saja, Sayang… disini juga ada PTN yang bagus, atau Kamu mau ambil kedokteran juga ada. Katanya, Kamu mau jadi dokter….?”

“Tapi, Mi…. Aina ingin mandiri, Mi… Aina ingin belajar di lingkungan kota yang modern,…”

“Tidak boleh...”

Aina lekas menoleh ke arahku. Memandangku heran. Seumur hidupnya aku tak pernah bicara seketus itu.

“Kenapa, Mi….?”

“Ummi bilang tidak boleh, berarti tidak boleh,.. Kamu belum tahu dunia, Aina…” Suaraku meninggi tanpa kontrol. Aku pun terkejut. Wajah Aina berubah sedih.

“Apa yang Aina belum tahu, Ummi,..? Syifa, Janna, Amira, teman-teman Aina banyak yang melanjutkan kuliah di kota, disana kami bisa menyalurkan segala potensi kami…. Disana bebas berekspresi dan berkreasi…kenapa Aina tidak bisa….?” Suara Aina memelas. Hatiku sangat iba melihatnya, namun kasih sayangku membuatku harus teguh melarangnya.

“Sudahlah, Aina….! Ummi ada benarnya. Disini juga banyak perguruan tinggi. Tidak usah jauh-jauh ke ibukota.” Abah muncul dari arah kamar karena mendengar suara ribut. Suara Abah sangat tenang namun mengandung ketegasan luar biasa yang sulit dibantah oleh siapapun. Aku berusaha mengatur nafas seraya beristigfar, sementara Aina langsung lari ke kamar.

***

Malam kian larut, namun aku masih belum bisa tertidur nyenyak. Suara tadarus masih mengalun merdu dari kamar Aina. Begitu lembut, dan sesekali terdengar isak. Aku tahu Aina sedang kecewa. Namun, aku sungguh belum bisa melepasnya ke dunia yang begitu merah.

“Aina….” Kuhampiri Aina yang baru saja menutup kitabnya.

Kupandangi wajahnya lamat-lamat. Wajah yang sangat cantik itu nampak amat sedih. Rukuh hijau muda yang dikenakannya nampak basah oleh air matanya. Oh, Aina, begitu kuatkah pesona ibukota menarik minatmu hingga seperti ini. Atau Kamu sedih karena apa?...

“Mi, kenapa Ummi melarang Aina…?” Aina kembali memelas.

Kupeluk Aina. Sejenak kami terdiam.

Aina melirik sekilas buku catatan berwarna merah yang ku genggam. Buku yang telah usang dan kertasnya mulai menguning.

“Aina, kebahagiaan itu hak setiap orang untuk mendapatkannya. Ummi hanya ingin Kamu bahagia, Sayang. Bahagia yang sesungguhnya…” Aku menatap Aina lekat-lekat, aku memandang kedua mata indahnya, seolah ingin menyampaikan segala isi hatiku agar ia bisa memahami ini semua. Aina terdiam.

“Belasan tahun yang lalu, ada seorang wanita yang pernah datang ke pondok ini. Ia wanita modern yang berasal dari ibukota. Dia datang menemui ummi dan menceritakan banyak hal….”

“Apa yang ia ceritakan, Mi?” Aina bertanya antusias mendengarku menyebut ibukota.

“Banyak. Ia bercerita tentang kota megapolitan yang penuh gedung-gedung menjulang. Ia bercerita tentang lingkungan dan pergaulan di kota gemerlap yang dijadikan tujuan banyak orang….”

Aina mendengar sambil tersenyum, seolah membayangkan kota yang amat ia dambakan itu. Oh, Aina, selamanya, bukanlah tempat yang patut disalahkan, namun lingkungan dan gaya hidup disana sangat berbeda dari kenyamanan di pondok ini.

“Wanita itu datang ke pondok ini dengan sebuah harapan, Aina….”

“Harapan apa, Mi…? Bukankah kota itu sudah cukup mewujudkan segala yang ia inginkan dengan mudah….”

“Ya, memang. Namun, ada satu hal yang tidak ia dapat dari kota itu….”

“Apa itu, Mi..?”

“KEBAHAGIAAN….Ke-ba-ha-gi-a-an, Aina….!” Aku memberi tekanan khusus pada kata itu.

Aina terperangah mendengar jawabanku. Seolah ia tak percaya bahwa ada orang yang tak bahagia tinggal dalam kota serba modern itu.

“Ke… kenapa ia bisa tidak bahagia,…?”

Aku menghela nafas panjang. Mempersiapkan kalimat yang tepat untuk mengawali sebuah kisah masa lalu. Aina menanti jawabanku dengan mata indahnya yang penuh rasa penasaran. Aina, maafkan ummi harus menceritakan ini sekarang….

“Karena kota itu tak dapat memberinya kebahagiaan, yang ada hanya kebebasan.”

“Wanita itu cantik dan sangat menarik. Saat datang kemari, busana yang ia kenakan pun semakin menampakkan kemenarikannya. Busana serba minim dengan rambut terurai yang begitu lurus dan berwarna agak coklat. Tapi wajahnya nampak tidak bahagia. Wanita itu menangis tersedu-sedu di pangkuan ummi saat ia menceritakan segala masalahnya….”

Aina mendengarkan ceritaku dengan sangat seksama. ia tak bicara sepatah kata pun. Aku meneruskan ceritaku dan kenangan belasan tahun silam kembali menjelma diorama-diorama yang berkelebat dalam benakku…

“Saat itu senja basah oleh gerimis. Wanita itu berjalan tertatih-tatih di pelataran pondok pesantren kami. Ia nampak begitu lelah seperti orang yang tengah melarikan diri. Dan dia mencari ummi. Ummi tak tahu dari mana ia mengenal ummi,

“Tolong aku,… tolong aku,….” Ujarnya sambil tersedu setelah menceritakan segala masalah yang menimpanya, mulai dari perceraian kedua orang tuanya saat ia masih sepuluh tahun, dijebak dan dinodai oleh atasannya di kantor, hingga berganti-ganti pasangan dengan status istri simpanan….

“Aku seperti tinggal di neraka, sungguh kehidupanku sangat berat….”

Mendengarnya bercerita, aku mengelus dada seraya beristigfar.

“Di kota itu kebebasan sungguh sangat meraja… dan disana wanita dihargai dari tubuhnya. Di sana aku dan wanita-wanita lain bersolek setiap saat, memakai pakaian yang bagus dan minim, memakai parfum yang serba mahal, kami disana mempertontonkan tubuh kami hanya untuk kepuasan orang-orang yang memandang…..” sampai disana suaranya tercekat oleh isak…. Ia membenamkan kepalanya di pangkuanku, lalu mengangis tersedu….

“Kami dipuja, kami dimanja, seperti seorang putri yang dituruti segala yang diminta, tapi semua laki-laki itu akan pergi saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka mau…. Mereka begitu anti komitmen, mereka ingin hubungan terbuka yang bebas, bebas datang bebas pergi,… “

“Ummi, kota gemerlap itu hanya penuh dengan kebahagiaan semu,… “ wanita itu bercerita sambil tetap tersedu.

“Aku sudah sebatang kara, meski aku punya rumah dan mobil pemberian pasanganku yang sekarang, namun aku tetap kesepian, hubungan kami tak pernah diresmikan,… dan dia bebas datang kapan saja, menjajah aku lalu ia pergi begitu saja, HIDUP APA INI….?!!” Ia berseru keras menumpahkan segala kegundahan hatinya,….air matanya sudah cukup untuk membuat gamis yang kukenakan basah kuyup. Aku memeluknya dengan pelukan sederhana, sambil menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkan.

“Jika, Anda mau, Anda bisa tinggal di pondok ini. Disini insya Allah Anda akan lebih tenang….” Tawaranku menimbulkan binaran kecil pada matanya yang indah. Subhanallah, wanita yang sangat cantik, batinku.

Dua minggu berlalu. Aku belum juga diberi tahu siapa namanya, hingga aku memanggilnya Yasmin. Ku berikan padanya pakaian-pakaian panjang yang menutup aurat, dan aku mengajarinya memakai kerudung. Ternyata, Yasmin sudah sangat lancar membaca Alquran. Selepas isya dan seusai subuh, ia bergabung bersamaku dan para santriwati mengaji Alquran di aula pondok. Dua minggu sudah cukup untuk membuatnya sangat tenang dan damai….

“Ummi, kebahagiaan itu kini bersemayam di dadaku… setiap kali aku melihat ummi membimbing santriwati, ummi nampak tulus dan bahagia, dan saat itu juga aku merasa bahagia. Dan semua kegiatan disini membuat aku sadar, ternyata aku masih memiliki Allah, meski setelah sekian lama aku berpaling. Dan ternyata, mencintai-Nya jauh lebih tentram dari pada mencintai dunia ini…..”

“Subhanallah, ….” Aku bahagia, bila kamu menemukan kebahagiaanmu yang sesungguhnya, Yasmin….”

Sore itu kami berbincang, ditepi kolam ikan mas sambil memandang matahari terbenam di ufuk barat. Lembah yang hijau tertutup dedaunan pohon-pohon besar dan belukar itu nampak membara terkena pantulan cahaya senja. Lembayung dilangit bagai selendang jingga yang terhampar pada kanvas senja. Kami terus berbincang hingga menjelang magrib.

Keesokan paginya saat seluruh santriwati bangun untuk bersiap ke masjid, aku tak menemukan yasmin. Tidak dikamarnya, juga tidak di pekarangan belakang yang merupakan tempat favoritnya. Yasmin menghilang tanpa kabar. Hanya sebuah buku catatan berwarna merah yang tertinggal dibawah bantalnya”

…..

“Lalu, yasmin tak pernah kembali hingga kini….?” Pertanyaan Aina mengetuk lamunanku.

“Ia kembali.”

“….”

“Sembilan bulan setelah kejadian itu, Yasmin kembali datang menemui aku. Ia menangis di pangkuanku. Rambutnya yang panjang terurai bebas dan nampak tak terurus. Ada yang berbeda dari tubuhnya.

“Ummi, maafkan aku…..” Yasmin tersedu. Air matanya membasahi wajahnya yang nampak membiru.

“Maaf, aku pergi tiba-tiba. Dia memaksaku keluar dari pondok dan mengancam akan masuk dan menyeretku keluar dengan paksa. Dia menjajahku lagi seolah aku ini hewan…..” Yasmin tersedu, lalu membenamkan kepalanya di pangkuanku. Aku ingin bertanya “dia” yang ia maksud itu siapa, namun ia langsung melanjutkan ceritanya….

“Ummi, ia benar-benar seorang lelaki pengecut yang hanya bisa mengumbar janji. Bahkan ia memaksaku aborsi padahal ini anaknya. Berbulan-bulan sejak ia tahu aku hamil, ia tak pernah datang, dan kemarin ia datang dan marah besar….”

“Kenapa ia marah?”

“Karena aku belum juga menggugurkan kandunganku….” Tangisnya terus pecah dan semakin pilu. Kau melirik perutnya yang buncit besar. Lalu kupandang lagi wajahnya yang penuh luka. Aku beristigfar berkali-kali dan sungguh tak tega memandang Yasmin.

“Aku disiksa, Mi… aku dipukuli,… tolong aku…. tolong aku, Ummi…..” Yasmin berteriak histeris sambil terus tersedu hingga mengundang perhatian beberapa santriwari yang melintas di depan ruanganku.

“Sabar, Yasmin….SABAR….!!!” aku menenangkannya, ia masih saja mengangis histeris, lalu terjatuh dilantai, ia tak sadarkan diri.

“Yasmin, YASMIN…!!!“ ia tak juga sadar. Kulihat air ketuban sudah membasahi lantai. Aku berusaha meraih tubuhnya dibantu beberapa santriwati”

***

Malam merapat bersama hujan yang kian deras. Halilintar bersahutan membuat suasana dingin lebih mencekam. Aroma tanah basah menyeruak begitu khas. Aku masih berada disisi Yasmin yang telah sadarkan diri. Bidan Nur yang sengaja kupanggil tengah membantu persalinan, sementara aku memegang tangan Yasmin yang kuat menggenggam jemariku, sambil terus berusaha.

“La haula wala quwata illa billahil aliyul adzim…..” Yasmin menggumam lirih. Sangat lirih. Aku tak kuasa menahan tangisku. Meski aku belum pernah melahirkan, aku turut merasakan perjuangan Yasmin. Ditengah kondisi tubuhnya yang lemah dan penuh memar, ia berusaha melahirkan bayinya. Ya allah, mudahkanlah jalannya persalinan ini….

Guntur terus bersahutan. Keringat telah membasahi seluruh wajah Yasmin yang memucat. Bidan Nur terus memberi petunjuk. Di tengah perjuanganya Yasmin sempat pingsan. Aku dan Bidan Nur beitu panik sambil berusaha mengembalikan kesadaran Yasmin. Saat ia sadar ia telah begitu lemah. Namun, sebuah kekuatan ajaib mengembalikan semangatnya….

“aaaaarrghhh,…. Allahu Akbar…” Yasmin berteriak di tengah kesakitan luar biasa.

“Allaaaahhh…..”

“Sedikit lagi,.. ayo Bu, sedikit lagi…..”

“AAAaaaaaahhhh….” Yasmin berteriak panjang sebelum ia tak sadarkan diri. Teriakan itu disambut suara tangis bayi yang pecah membelah deras suara hujan. Air mataku banjir sambil tak henti mengucap puji pada Yang Maha Kuasa. Kutimang bayi perempuan itu, lalu kuserahkan pada Abah untuk diadzani. Abah menerima bayi kecil itu dengan penuh keharuan. Sejak tadi ia menunggu di luar dengan perasaan cemas juga.

“Ummi, …. “ Bidan Nur menghampiri aku dan Abah. Wajahnya nampak tegang.

“Ibu Yasmin,…..Ibu Yasmin.,….” Tatapanku memburu menunggu Bidan Nur melanjutkan kalimatnya, namun yang kulihat hanya sebuah gelengan.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun….” Aku merasakan kedua lututku sangat lemas hingga aku tak kuasa menahan tubuhku. Aku terduduk. Keesokan paginya, ia telah dimakamkan di tempat yang ia bilang selalu membuatnya nyaman. Di pekarangan belakang, dimana ia biasa memandang sunset yang menuruni lembah di ufuk barat.

“Yasmin me…. Me….ninggal, Ummi?!” Aina bertanya dengan suara parau. Matanya berkaca-kaca.

“ia telah menemukan kebahagiaannya, Aina…. Ia wanita baik yang terjebak dunia. Ia telah bertaubat dengan mempertahankan bayinya…..”

“Ummi,…..” Aina memelukku erat. Ia tersedu.

“Maaf, ummi harus menceritakan ini padamu, nak…. Karena kebahagiaan itu sesungguhnya adalah menerima apa yang kita miliki dengan penuh rasa syukur. Kebahagiaan bukan kebebasan, Aina….dan kita para wanita ibarat telur diujung tanduk, rawan terjatuh, dan apabila pecah tak pernah dapat utuh lagi….” Aina mengangguk.

“Ummi, lalu, bagaimana nasib bayi itu…?” bisik Aina sambil tetap memelukku.

“sungguhkah Kamu ingin tahu, Sayang…?”

“Ya, karena aku merasa perlu mengetahui semuanya….”

“Kami membesarkannya di pondok ini,...” Aina terdiam, seolah ia tengah menerjemahkan tatapanku…“Bayi itu tumbuh sangat cantik dan salehah, kami memberinya nama,………… Aina Awa….” Kudengar diluar halilintar sangat keras. Namun, kurasa ucapanku telah didengarnya. Pelukan Aina mengendur hingga terlepas. Ia menangis begitu pilu ambil memeluk kitabnya.

Kulihat di tepi pintu kamar Aina yang terbuka, abi berdiri dengan wajah amat sedih. Kulihat disana juga ada airmata.”

***

Semburat fajar menyatukan jingga dan violet di ufuk timur, lembah dan bukit kemuning samar dalam balutan kabut. Alam menyajikan kesejukan pagi hari yang selalu dapat menenangkan. Pagi, seusai para santriwati mengaji dan bersiap ke madrasah, aku tak menemukan Aina.

“Aina….”

“Aina awa…?”

Aku melangkah ke setiap kamar pondok, aku mencari Aina di setiap ruangan, lalu di sepanjang lorong yang menghubungkan asrama dengan madrasah, aku mencarinya dimana-mana, tapi, Aina tidak ada….

Ketika aku melangkah ke pekarangan belakang, di dekat kolam ikan mas, di antara rimbun rumpun melati, aku melihat gadis itu. Kelegaan yang luar biasa mengisi hatiku. Gadis berkerudung hijau muda itu duduk terpekur di hadapan gundukan tanah yang sudah hampir rata, yang pada salah satu ujungnya terpancang batu penanda, tanpa nama... Dan kini, aku melihat aina benar-benar tegar menerima kenyataan, aku melihat aina begitu dewasa, oh aina bidadariku, aku sungguh ingin bilang padamu, kamu selamanya tetap menjadi bidadari hijau ummi. Dan mengenai kebebasan, suatu saat Ummi akan berikan padamu hak untuk hidup mandiri di kota lain. Nanti, suatu saat….

SELESAI

Teluknaga, 11-15 Agustus 2012

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post