Lubang dalam Hati
Lubang dalam Hati
By Rida Ratna Purwanti
"Riany...!"
Aku terkejut, aku hafal suara yang memanggilku, itu pasti Dania sahabatku, yang sudah seminggu ini tak ada kontak denganku, karena kesibukannya juga kesibukanku.
"Rian... ngapain kamu disini?" Tanya Dania saat dia sampai dihadapanku, dia duduk di sebuah bangku, sebrang mejaku. "Kamu sendiri?" tanyanya lagi. “Mana Han..?” bertubi-tubi pertanyaan Dania. “Hey.. kenapa kau tak jawab pertanyaanku?” lagi-lagi Dania melontarkan pertanyaan.
“Aneh.. pertanyaanmu tuh.. Ga ada titik koma.” Jawabku sedikit ketus.
“Ok... ok. Jawab dah!” Dania tersenyum sambil memanggil seorang waitres, sementara aku masih terdiam saat dia memesan minuman.
“Aku sedang mencari buku.” Jawabku selepas waitres pergi. “aku sendiri, dan Han sedang bekerja. Cukup Dania....?” Aku balik tanya.
Dania tertawa kecil. “Hihii, tapi kenapa kamu tidak menunggu Han untuk mengantarmu, kan aku juga bisa diajak sama-sama, terus Han bisa traktir kita. He...he.” Dania kembali tertawa, seraya meReyh minuman yang telah tiba dihadapannya.
“Kamu mau makan apa..? pesan aja.” Jawabku sedikit sombong, Dania tidak mengerti sebenarnya aku sedang tidak mau bareng sama Han, aku sengaja menghindar dari Han, dan kebaikan Han, aku sedang merasa bahwa aku tak pantas menerima kebaikan Han, sementara aku masih ragu dengan perasaanku, dan aku paling tidak bisa bicara sama siapapun tentang keraguanku. Aku yang seorang Psikolog, merasa gengsi kalau orang harus mengetahui permasalahanku, karena justru aku harus mampu memecahkan masalah klien-klien ku.
“Wih... boleh kalo begitu, eh Rian aku mau konsultasi gratis nih mumpung lagi ketemu.” Dania menatapku serius. “Aku lagi bingung dengan Dira, dia sama sekali berbeda dengan kekasihmu. Aku jadi ngiri ngeliat keharmonisan hubungan kalian, aku sih bahagia banget jadi dirimu Rian, Han tuh.. orangnya baik, sabar, bertanggung jawab, kapanpun kau butuh dia, dia selalu ada untukmu, laki-laki macam Han itu dicari semua wanita, dan sayang... Dira ga begitu, kadang dia cuek dengan kepentinganku, sibuk dengan urusan dirinya sendiri, marah-marah lah kalau aku minta bantuannya.” Dania menggerutu, lantas meneguk minumannya yang tinggal separo “Aku jadi Muak sama Dira, aku harus gimana Rian...?” tanya Dania sedikit memelas. “mungkin aku putusin aja ya...?” tanyanya serius.
“Sabarlah.. Dan.. usia hubungan kalian masih seumur jagung, yang penting kamu jangan bikin masalah, kalo kamu sudah lakukan yang terbaik, tapi Dira masih juga begitu, coba kalian bicarakan dengan hati-hati, apa yang kalian mau, bereskan?”
“Ah jawabanmu memang gampang, tapi aku yang menghadapi, sungguh sulit.” Perlahan Dania menepuk-nepuk mukanya sendiri. “tapi aku akan mencoba nasihatmu yang gratis itu, mentang-mentang gratis, nasihatmu juga secuil..” Dania mencibir, sekilas dia melihat jam di tangannya. “Wah aku harus balik ke kantor, kamu pulang sama siapa Rian?” tanyanya sambil berkemas. “Bayar minumku ya...” lanjutnya lagi.
“Aku bawa mobil.” Jawabku singkat
Dania pamit dan bergegas, aku termenung dengan kata-kata Dania tentang Han, sebenarnya Dania lah yang menjadi Psikolog, aku yang sedang meragukan perasaanku, tiba-tiba secara tidak langsung Dania mengingatkan kebaikan Han, yang mungkin juga benar, Han adalah laki-laki yang sangat diinginkan oleh semua wanita, terimakasih Dania seharusnya aku bersyukur bahwa Han ku tidak seperti Diramu. Maafkan aku Han.... perasaanku masih saja ragu terhadapmu, tapi biarkan waktu yang meyakinkan hatiku akan tulusnya cintamu. Makasih juga Dania sahabatku, kaulah yang jadi psikolog gratisku(aku tersenyum sendiri).
-----------
Aku asyik dengan tulisanku, aku sedang menjawab sebuah e-mail dari klienku, yang sempat juga dia telpon aku sambil menangis seminggu yang lalu. Tapi kini tangisannya sudah mulai reda. Tiba-tiba handphone ku berdering. Kulihat nama menghubungiku? “Dira..” mulutku bergumam, “Ada apa ya.. malam-malam begini?”
“Haloo.. Rian..” suara Dira dibalik telepon.
“Ya haloo, ada apa Dira..?” tanya aku penasaran.
“Dania.” Jawab Dira singkat.
“Ada apa dengan kekasihmu itu....? dia bikin ulah apa?” tanyaku beruntun.
“Udah tiga hari dia marah padaku. Gara-gara aku antar sepupuku ke Mall. Cemburu ga pandang bulu. Masa boncengin sodara aja harus jadi ribut...” Dira memaparkan dengan nada yang sedikit kesal. Kemudian Dira mengajakku untuk membantu meyakinkan Dania, dan aku menyetujuinya.
Setelah selesai perbincangan aku dengan Dira, aku telephone Dania, dan kebetulan ternyata Dania juga siap untuk mengantarku beli buku besok sore. Sebagai alasan untuk menemui Dira dan sepupunya. Aku coba lanjutkan tulisan di Blog ku, tapi aku terhenti, aku jadi terpikirkan apa yang dilaporkan Dira tadi. Aku heran mengapa Dania begitu marah dan cemburu melihat Dira jalan sama sepupunya. Apa karena Dania terlalu takut kehilangan Dira. Sementara aku tidak pernah merasakan apa yang dirasakan Dania, Dania terlalu sering mengadu kecemburuan terhadap Dira. Apa penyebab Dania tidak percaya kepada Dira. Sementara aku selalu percaya sama Han. Dan Han pun tidak pernah memancing rasa cemburuku.
Hubungan kami sangat jauh berbeda, Dira dan Dania selalu ribut, selalu cekcok. Selisih faham lah, cemburuan, dan lain banyak macamnya. Sementara kami, aku dan Han, selalu berjalan lurus-lurus aja. Gak pernah terjadi ribut yang berarti. Walaupun aku tidak yakin dengan perasaanku, aku selalu yakin dengan perasaan Han, bahwa dia tidak akan menyakitiku. Aku bingung sebenarnya mana yang tidak normal dari kedua hubungan ini. Kami yang tidak pernah dilanda cemburu, atau mereka yang selalu saling tuduh dan cemburu buta. Ah..., atau keduanya yang memang tidak normal. Ya.... akhirnya, aku paksa untuk melanjutkan tulisanku. Karena semakin aku bertanya tanya, semakin pula aku tak menemukan jawaban.
----------
Aku duduk disamping Dania yang sedang tertawa terbahak-bahak.
“Hey.. Riany. Kenapa dengan kamu?” tanya Dania di sela-sela tawanya.
“Kenapa aku?” aku balik bertanya.
“Haa..ha kamu aneh orang pada tertawa, lucu banget kan...?” Dania masih tertawa.
Aku hanya mengernyitkan kening, “Apanya yang lucu” pikirku dalam hati “itu cerita basi”
“Jangan Heran Dania. Riany itu sudah bosan dengan leluconku. Dan memang Riany tidak pernah tertarik dengan banyolanku.” Han menjawab pertanyaan Dania.
Aku mencibir “Aku memang ga suka dengan lelucon Han” gerutuku dalam hati.
“Sudahlah kita harus pulang nih dah sore.” Dira menutup perbincangan kami, di sebuah meja cafe yang tidak begitu ramai. Kami biasa ngobrol-ngobrol di akhir pekan sambil bertukar pikiran, disela-sela obrolan, Han sering membuat cerita-certa lucu yang sering buat Dira, terutama Dania tertawa terpingkal-pingkal. Sementara aku hanya sedikit senyum yang kadang terlihat seperti dipaksakan.
Ada yang tak dapat aku mengerti, selain aku selalu ragu dengan perasaanku terhadap Han, aku juga sering bertanya-tanya apakah aku bahagia berdampingan dengan Han..? ada lubang yang tak terisi oleh kehadiran atau sejuta kebaikan dari Han. Bahkan kadang aku merasa Dania yang lebih senang kalau kami berjalan bersama, Dania lebih akrab dengan Han, lebih menikmati asyiknya ngobrol dengan Han. sementara aku hanya senyum-senyum aja mendengar celoteh mereka. Aneh memang, tapi aku juga tidak cemburu sama sekali dengan semua itu, karena dalam hatiku aku yakin cinta Han tak kan berkurang sedikitpun, walaupun mereka terlihat akrab. Han bukan tipe laki-laki yang bisa membagi cintanya, atau menyakiti pasangannya. Untuk semua itu aku tidak salah memilih Han. Tanggung jawab terhadap dirinya dan diriku pun dia sangat mampu melakukannya dengan baik. Tapi memang aneh, dengan segala kebaikan Han itu aku masih saja tidak yakin dengan perasaanku. "Apakah benar aku mencintai Han? Kenapa masih saja aku ragu untuk menyerahkan hatiku sepenuhnya kepada Han..?"
----------
Aku terkejut, mataku mengikuti langkah kaki seorang pria, yang sepertinya sangat tidak asing buatku.
“Ada apa Riany...” tanya Han melihat aku celingukan.
“Sepertinya aku kenal laki-laki itu” jawabku datar.
“Mungkin ya, tapi mungkin juga ada yang mirip.” Kata Han, juga sangat datar.
“Ga Han. itu Bang Rey, tetanggaku dulu.” Aku sedikit meyakinkan “Mana mungkin aku lupa dengan orang yang dulu sangat dekat.”
“Sangat dekat...?” Han agak kaget “Dekat seperti apa...?” Han sedikit menyelidik.
“E.... ya tetanggaan dulu” aku agak sedikit kikuk. Apa aku salah bicara tadi, pikirku.
“Ya... coba tunggu aja mungkin dia nanti akan lewat lagi, kamu bisa yakin kenal atau tidak.” Han mencoba lagi menenangkanku, karena mencurigaiku itu bukan tipe Han. “Aku mau ke belakang dulu, ya.” Han beranjak dari tempat duduknya, ngeloyor pergi tanpa menunggu jawabanku.
Sekitar lima menit dari kepergian Han, tiba-tiba aku dikagetkan dengan tepukan lembut di pundakku.
“Riany...” panggilnya “Benarkah ini Riany adikku yang cantik..” Sesosok tubuh tinggi tegap tiba-tiba duduk dihadapanku, tanpa ragu dia pun langsung menggodaku. Awalnya hati ku sangat marah, ada seorang yang berani menepuk pundakku dengan sok akrab, bahkan berani menggodaku, tapi aku malah menjadi senang setelah melihat yang duduk dihadapanku adalah Bang Rey, yang sempat aku lihat sekilas tadi. Benar ini tetanggaku dulu Renaldy Geraldy. Nama yang unik dan sedikit gak enak di baca, tapi itulah nama Bang Rey yang sempat begitu sangat dekat denganku. Aku layaknya adik tersayang bagi dia, karena dia adalah anak tunggal dikeluarganya, bahkan keluarga Bang Rey pun sangat menyayangiku layaknya kerabat. Aku yang kebetulan anak sulung, sangat senang merasa punya seorang kakak.
“Hee... kamu kaget..? senang...? apa takut ketemu abang?” Bang Rey lagi-lagi menggoda aku yang sesaat masih terheran-heran melihat orang yang sudah sangat lama tidak jumpa. “Ye.. Riany...” Bang Rey mencolek hidungku lembut. “Kamu tetap menggemaskan” Timpal Bang Rey, yang masih seperti dulu suka menggodaku kalau aku manyun dan anehnya, aku tidak pernah marah bagaimanapun Bang Rey menggodaku, pegang hidungku, jegugin kepalaku, nyubit bibirku, padahal kalau orang lain yang begitu, pasti aku sudah tolak pinggang dan marah-marah.
“Enggak Bang... e.. tadi aku sempat lihat abang, ta..pi tidak yakin, dan sekarang bener-bener Abang ada dihadapanku. Kemana aja Abang selama ini?” tuturku sedikit terbata-bata. “Aku masih kaget kenapa Abang ada disini...? lagi ngapain?” tanyaku bertubi-tubi setelah aku mampu menguasai diri, seandainya gak malu aku ingin nunjukin bahwa aku kangen banget sama Bang Rey. Wah..... mungkin bisa-bisa aku peluk dia, seperti dulu saat aku masih duduk di bangku SD, kalau aku nangis kesel sama temen-temenku, Bang Rey peluk aku agar aku bisa tenang. “Ah itu dulu, aku masih kecil, sekarang kan aku sudah besar, mana mungkin bisa berpelukan sama Abang angkatku ini” gumamku dalam hati menyadarkan diriku sendiri.
“Maaf... “ Tiba-tiba Han berada diantara kami.
“Oh ini Han... ini Bang Rey, tetanggaku dulu yang sempat kita perbincangkan tadi.” Aku memperkenalkan Bang Rey sama Han. Bang Rey bangkit dari duduknya menyambut kedatangan Han, lantas mereka bersalaman seraya duduk kembali.
“Maaf kalau saya mengganggu.” Bang Rey membuka pembicaraan.
“Ah tidak, Riany sempet melihat Abang tadi.” Jawab Han, yang ikut-ikutan panggil abang.
“Ya.. Riany ini tetanggaku dulu. Dia sudah seperti keluarga bagi kami. Dan kami sangat kehilangan, saat bapaknya Riany dipindah tugas ke luar kota, keluarga kami jadi berjauhan.” Papar Bang Rey. “Maaf kalau kami terlihat akrab, maklum dia manja banget dulu, cengeng juga...” Lanjut Bang Rey sambil menggodaku.
Sambil melanjutkan ceritanya, setelah melihat mulutku manyun. “Ooooo... maaf... Riany ini sebenarnya gadis tomboy, paling jago, paling pintar, paling berani..” Bang Rey tersenyum kecil. “Tapi itu di hadapan teman-temannya kalau dihadapan Abang tetep aja cengeng, manja.” Lanjut Bang Rey, kembali menggodaku. Dan lagi-lagi aku manyun.
“Kalau yang baik boleh dibongkar, tapi yang jelek-jeleknya jangan dong Bang... malu.” Aku agak menggerutu, dan sedikit manja, padahal di hadapan Han aku tidak pernah begitu.
“Sebenarnya ga usah dibongkar juga udah keliatan Bang.” Han ikut-ikutan bercanda.
“Ha...ha... betul juga ya... “ Bang Rey tertawa diikuti Han, mereka berusaha mencairkan suasana.
“Ya... apa aja deh menurut kalian, kalian benar semua.” Sahutku masih agak manyun, aku tahu mereka Cuma menggodaku, dan aku agak bingung, aku tetep manja di hadapan Bang Rey. Sebenarnya aku malu bermanja dihadapan Han, tapi semua ini gara-gara Bang Rey.
Kami pun melanjutkan pembicaraan ke yang lebih berarti mengenai pekerjaan dan kegiatan kami. Bang Rey menceritakan hobinya yaitu balapan mobil, dan Han menceritakan kegiatan Han yang sibuk dengan profesinya sebagai Arsitek. Dan aku cerita tentang kegiatanku sebagai Psikolog.
--------
Tiba-tiba pintu ruangan ku terdengar diketuk dari luar.
“Ya... silahkan masuk” sahutku. Diah asistenku masuk dengan sopan.
“Maaf bu. Ada tamu seorang laki-laki mau ketemu ibu, dan bapak itu menunggu di lobby.” Katanya
“Oh.. di silahkan masuk aja. Saya tunggu disini.” Jawabku sedikit malas padahal aku biasanya lebih suka menerima tamu di Lobby kantor.
“Baik Bu..” Diah berlalu.
Sesaat kemudian pintu diketuk lagi, dan Diah masuk bersama seorang laki-laki yang ternyata dia Bang Rey. Aku agak kaget dengan kedatangannya. Diah kembali pergi, Bang Rey menyodorkan tangannya untuk menjabat tanganku, aku membalasnya sambil tersenyum, dan kenapa aku jadi agak grogi saat aku berdua saja dalam ruangan.
“Selamat siang ibu Riany, boleh saya mengajak ibu makan siang hari ini.” Bang Rey menggoda aku.
“Ah Abang, kenapa tidak telepon aku terlebih dahulu. Aku jadi kaget nih...” seraya mempersilahkan Bang Rey duduk di sebuah sofa di pojok ruangan, aku pun mengikuti Bang Rey dan duduk berhadapan.
“Aku sengaja bikin kamu kaget.” Bang Rey tersenyum.
“Abang tuh begitu, masih aja kayak dulu.” Aku mengambil dua botol minuman dan menyerahkan salah satunya pada Bang Rey. Ketika aku mau buka botol minumku, kenapa agak sedikit sulit, dan tiba-tiba Bang Rey meReyh botolku, lantas membukakannya untukku. “Gak usah Bang, aku bisa buka sendiri..” Aku tersipu malu.
“Ya Abang tahu, tapi Riany lebih senang kalau Abang yang buka, dan apa salahnya kalau Abang bikin Riany senang.” Bang Rey tersenyum.
“Ya.. sih..” aku masih tetep malu-malu.
“Aku serius mau mengajakmu makan siang hari ini, bisa kan...?”
“Emmm... Bisa sih Bang, tapi...” Aku terhenti, aku sedikit ragu-ragu.
“Kenapa..? tapi apa...?” Bang Rey mengernyitkan kening. “Banyak kerjaan?” Tanyanya lagi. “Ya kalau lagi sibuk, Abang gak mau ganggu, nanti aja kalau kamu ada waktu.”Bang Rey berusaha untuk memberikan kebijakan.
“Enggak. Bukan itu, justru aku takut ganggu waktu Bang Rey.” Akupun ikut-ikutan sok bijak.
“Ha....ha....” Bang Rey tertawa. “Aneh.., kan Abang yang ngajak, berarti Abang dah siap Riany....” Lagi-lagi Bang Rey tertawa.”
“Kenapa tertawa Bang...? Apa yang lucu, aku jadi merengut, Bang Rey ini selalu goda aku.
“Ya itu, kamu tuh lucu apa bego yah....?” Semakin jadi Bang Rey menggodaku. “Atau pengen dicubit tuh bibirnya yang manyun.” Bang Rey menunjukan ekspresi wajahnya yang gemas. Memang begitu Bang Rey kalau menggoda aku, dia seneng lihat aku manyun, tapi dia tahu percis aku tidak pernah marah dengan gurauannya.
“Ya udah, kumatikan komputerku dulu.” Aku menutup lelucon Bang Rey sambil berdiri, aku takut Bang Rey bener-bener mencubit bibirku kayak dulu.
“Silahkan.... Bu.” Bang Rey beranjak mengikutiku, setelah berkemas dia membukakan pintu untuk ku. “Mau Makan dimana Riany...?” Tanyanya sambil menggandeng tanganku dan tanpa aku sadar aku pun menyambut tangan Bang Rey.
“Terserah Bang Rey.” Jawabku singkat.
“Ga bisa terserah, Abang yang nanya, kamu harus punya jawaban dong.., kalau kamu jawab terserah itu artinya abang nanya diri Abang sendiri. He...he..” Bang Rey sedikit memaksaku, tapi dengan bahasa yang lucu. Aku pun tertawa geli. Kami berjalan berdampingan bahkan tangan kami begitu erat saling menggenggam. Dan ketika kami melewati deretan temanku yang lagi beristirahat, mereka menatap, seolah melihat sesuatu yang aneh.
“Mau pada kemana nih.....?” Tiba-tiba Bella menghalangi langkah kami, dan kami terhenti. “Kami gak diajak ya...?” lanjutnya sambil menggoda aku.
“Boleh, kalau mau pada ikut.” Ajak Bang Rey. “Kita mau makan siang, ayo kita makan bareng..!” Lanjut Bang Rey serius.
“Gak... aku bercanda aja kok Bang, silahkan... silahkan” Bella menolak, seraya mengayunkan tangan kanannya, mempersilahkan kami untuk melangkah. “Ayo... gak usah mikirin kami, yang penting oleh-olehnya... he...he..” Bella meyakinkan, sambil bercanda.
“Nah betul... mending kalian tunggu disini aja ya.. kalau ikut bisa ganggu kami, ya...nanti kami bawain oleh-oleh... bereskan...?.” Bang Rey ikut-ikutan bercanda. Dan aku pun tertawa kecil. Lagian Bella kok berani godain kami, padahal Bang Rey orang baru.
Kami melangkah sambil berbincang, dan disela-sela perbincangan kami terdengar deRey tawa. Hal ini memang asyik buatku, karena aku dan Han jarang sekali bercanda. Bukan karena Han ga suka bercanda tapi karena aku yang selalu merasa banyolan Han gak seru, entah mengapa aku selalu begitu. Malah Dania yang paling suka dengan celotehan Han. Ah.... mungkin cara Han yang gak bisa menarik simpati aku. Tapi kenapa ya... Kok bisa begitu....?
-----------
Selang tiga bulan aku dan Han sudah siap menikah. Namun selama 3 bulan aku pun merasakan Bang Rey lebih banyak menghabiskan waktuku, membayar kehilangannya selama beberapa tahun yang lalu. Menjagaku, menemaniku selayaknya kakak terhadap adiknya. Dan yang pasti aku merasakan kerinduanku terhadap Abang angkatku ini terbayar.
Pernikahanku dengan Han berjalan lancar, kerabat, sahabat, dan rekan-rekanku berkumpul mengikuti acara sakral kami. Acara pun lumayan meriah walau dengan persiapan yang sederhana. Ada perasaan yang tak menentu dalam hatiku, aku senang, aku bahagia, tapi kadang aku masih merasa takut. Entah mengapa aku merasa takut tidak mampu membahagiakan Han, yang menurutku dia sudah berusaha sebaik mungkin membahagiakan aku. Sebenarnya Han sangat simpel, dia tidak pernah menuntut apapun dari diriku. Dan yang paling penting walaupun aku termasuk wanita tomboy, yang begitu sulit untuk menjadi feminin, Han tidak pernah merasa terganggu dengan penampilanku. Malah kadang suka gak setuju kalau aku merias diri seperti perempuan lain. “Gak dandan pun kamu udah cantik.” Itu komentarnya, ketika dia nunggu aku dandan kelamaan.
Ya.. itu perlu disyukuri, walaupun banyak hal yang berbeda diantara kami, tapi kami tak mempermasalahkan itu. Tapi..... tetep aja aku takut, entah apa yang aku takutkan lagi.
“Ny... aku mau makan dulu, laper nich...” Han berbisik di telingaku, lantas pergi tanpa menunggu jawabanku. “Aku juga lapar, tapi aku males makan, apalagi sibuk begini.” Jawabku dalam hati, itulah dia. Seandainya Bang Rey….pasti sudah mengambilkannya dan memaksaku untuk makan.
Satu persatu rekan-rekanku berpamitan, mereka memberikan ucapan selamat pada kami, laki-laki, perempuan, semua sahabat dekatku, memberikan pelukan luapan kebahagiaan. Aku pun membalas pelukan itu dengan berusaha menunjukan rasa bahagiaku yang sedikit samar. Ada Dina, Lia, Firna, Bella, dan tentu sahabatku Dania dan Dira. Ada juga temen yang lain Basit, Radit, Kenken da tak terkecuali Bang Rey, dia pun memberikan ucapan selamat dan do’anya seraya memeluk aku, dan aneh darahku terasa berdesir saat Bang Rey peluk aku, padahal banyak yang aku peluk dari tadi, tapi yang ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Darahku bergejolak, tubuhku seakan panas dingin. Dan seandainya bisa, aku tak mau melepaskan pelukan itu. Entah kenapa, apa aku takut setelah menikah dengan Han aku tak bisa menganggap Bang Rey sebagai kakakku lagi, sementara tak dapat aku pungkiri, hatiku memang bahagia bisa menjadi adik dari Bang Rey. Dan itu jelas tidak baik, bahkan sangat tidak boleh. Walau Bang Rey sudah menganggap aku sebagai adik, tetap saja kami memang bukan saudara. Entahlah sebenarnya apa yang membuat aku jadi kikuk dan serba tak menentu. Bahkan aku tak sanggup menatap mata Bang Rey saat dia mengucapkan do’a untukku.
“Selamat.. Riany. Abang senang melihat kamu bahagia, dan Abang yakin lelaki pilihan mu ini adalah lelaki terbaik. Dia tidak akan pernah menyakitimu. Dia akan sanggup menemanimu sampai kapan pun”. Bang Rey mengusap-usap bahuku. “Jangan ragu... Kamu harus bahagiakan dia ya...!” Tutur Bang Rey seolah dia tahu persis apa yang ada dalam pikiranku, tentang keraguanku, tentang ketakutanku.
“Aneh.... kenapa Bag Rey ini bisa baca hatiku, Atau kebetulan saja ya...?” Pikirku dalam hati
“Terimakasih Bang...” Jawabku singkat dan masih tak sanggup menatap matanya. Bang Rey berpamitan, dan berlalu, setelah jauh ku tatap langkah Bang Rey, dan aneh aku merasa kepergiannya ini menyesakkan hatiku. Terlintas dibenakku kebersamaan kami yang sangat singkat dalam 3 bulan pertemuanku dengan Bang Rey. Hari-hariku menjadi ceria dan lebih berwarna sejak Bang Rey sering menemaniku makan siang, mengantarku beli buku, atau sekedar mengajakku menemaninya berlatih di sirkuit. Aku lantas menemui rekan-rekanku yang berada di diantara ramainya resepsi kami , untuk mengalihkan kejanggalan-kejanggalan hatiku. Aku berusaha untuk mengikuti canda dan tawa rekan-rekanku yang turut berbahagia dengan pernikahan kami.
Tiba-tiba Diah si asisten menghampiriku, seraya menyerahkan HP ku, yang sengaja aku titipkan untuk menjawab telepon atau sms yang masuk.
“Ini Pak Renaldy Bu.” Kata Diah “Bapak memaksa saya untuk menyampaikan telephon ini sama ibu.” Diah seperti ketakutan, karena aku menyuruh Diah untuk menyampaikan kepada semua penelpon bahwa aku sedang tidak bisa menerima telepon.
“Ya ga apa-apa..” Jawabku sambil mengambil HP ku.
“Hallo... Bang..” Aku menyapa Bang Rey.
“Ya..ya Hallo.” Jawabnya agak sedikit kaget. “Selamat ya Riany...” Bang Re melanjutkan.
“Ya makasih, kan tadi juga udah Bang...” Jawabku heran.
“ Iya... tapi ada yang lupa tadi..” Lanjutnya. “Abang mau minta kamu do’ain Abang, besok Abang mau turun ke sirkuit, do’ain Abang ya.. biar jadi juara.” Lanjutnya lagi.
“Lho emang ga bisa diundur Bang...?” Tanyaku heran, sebenarnya ini sudah diperbincangkan tiga hari yang lalu, karena kondisi Bang Rey yang lagi kurang sehat aku jadi sedikit khawatir.
“Ya enggak Riany, sayang...” Tegas Bang Rey. “Masa Jadwal Interasional bisa diundur ama Abang.” Lanjutnya lagi. “Udah... makanya do’ain aja, Abang udah sehat kok. Cuma sayang kamu gak bisa nonton besok, itu yang abang sayangkan.”
“Ah kalau soal aku nonton, itu sih nomor dua Bang.. yang penting Abang sehat. Itu aja.”
“Ya... Abang sehat kok.. udah itu aja, maaf Abang ganggu, kamu lanjutin aja, tamu kamu masih banyak kan...”
“Ya Bang... Ok... hati-hati ya Bang....” Aku merelakan dengan penuh kekhawatiran.
“Iya... Makasih Riany sayang....” Bang Rey pamit dan menutup telepon.
Aku tersenyum sendiri, merasa geli dipanggil sayang sama Bang Rey. Padahal dulu waktu kecil aku seneng banget kalau Bang Rey panggil aku Riany sayang...
---------
Aku kaget sekali, mendengar kabar dibalik telepon. Bang Rey mendapat kecelakaan, mobil yang sedang dikendarainya di sirkuit tertabrak lawannya dari belakang dan menabrak dinding pembatas. Kondisi Bang Rey sangat parah, bahkan bisa dibilang koma. Kami pun segera ke rumah sakit tempat Bang Rey mendapat pertolongan, aku tak bisa menahan kesedihan hati saat tiba di ruangan ICU, dan didapatkan Bang Rey yang penuh dengan balutan terlelap dalam kesakitannya. Tak lama setelah kami menjenguk Bang Rey, kami menunggu di luar ruangan, dan perawat memberikan kabar yang sangat menyesakkan dadaku. Bang Rey sudah tak tertolong lagi. Aku berusaha menahan kepedihan ini, dan mengurus jenazah Bang Rey bersama keluarganya.
Pada hari ketiganya kematian Bang Rey, disela-sela kesibukan, tiba-tiba ibunya Bang Rey menyuruhku membereskan pakaian-pakaian Bang Rey Untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Dan aku menemukan sebuah amplop yang sudah berstempel, dan dikembalikan ke alamat asal. Kulihat alamat yang dituju ternyata surat itu buatku dan pengirimnya adalah Bang Rey.
Aku penasaran, ku buka dan ku baca. Ternyata benar surat itu untukku. Dan aku kaget saat kubaca isi surat itu adalah tentang perasaan cinta Bang Rey terhadapku. Bang Rey ingin mengganti kasih sayangnya dari sebagai kakak, menjadi seorang kekasih, bahkan ingin menemani hidupku selamanya. Pikiranku mengingat-ingat apa saja yang telah aku lakukan dengan Bang Rey.. semua kasih sayangnya memang benar-benar sudah aku rasakan. Aku baru sadar semua cinta dan kasihku ternyata telah terenggut oleh kebersamaanku sama Bang Rey. Aku telah sangat bahagia bersama Bang Rey yang telah mengakui aku sebagai adiknya. Pantas saja aku suka marah kalau Bang Rey menyebut aku adiknya, ternyata aku minta diakui sebagai kekasihnya. Selama ini kami saling mencintai, saling merindukan, bahkan saling membutuhkan. Pantas aku tidak pernah merasa nyaman dengan Han.. karena dalam hatiku telah terpenuhi oleh kebaikan Bang Rey, sosok yang aku sangat idolakan, dan sangat berbeda dengan Han. Aku hampir menyesali semua yang terlewati. Tapi itu jelas tak ada gunanya. Seraya menahan tangis dan kesedihan ku, kulanjutkan merapikan baju-baju Bang Rey. Dan lagi-lagi aku menemukan secarik kertas.
Kubaca.
“Riany.... Kebahagiaanmu tentu tak beda dengan kebahagiaan Abang. Saat kau bahagia akulah orang yang pertama turut bahagia. Kini kau telah menemukan pendamping yang jauh lebih baik dari abang. Sementara abang telah sangat bahagia menjadi kakakmu. Sayang Riany... kakak tidak akan bisa menemanimu, menjagamu selamanya. Han adalah orang yang akan melakukan semua itu lebih baik dariku. Maafkan Abang telah mencintaimu, tapi tak saggup memilikimu. Abang pergi tinggalkanmu tuk menjaga kebahagiaanmu. Selamat tinggal Riany...... do’a terbaik buatmu... semoga kita dipertemukan di surga nanti. Amiiin
Riany.....”
Surat itu sepertinya belum selesai. Tapi air mataku tak berhenti mengetahui semua itu. Dan semua yang kurasa selama ini harus kututup di saat aku baru mengetahuinya. Yang ku ingat adalah nasehat Bang Rey saat menyalamiku di pernikahan. Itu nasehat terakhir, dan untuk membahagiakan dan membalas cintanya adalah dengan mencintai Han. Aku baru paham dengan perasaan hatiku. Pantas aku merasa ada lubang yang tak dapat terisi oleh Han, ternyata lubang itu telah dalam terkuak terisi kasih sayang oleh Bang Rey.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap.. Uhuy
belajar Bu Prima
mantep .. tapi masih ada Typo, teh Rida .. :) coba di cek lagi ... selamat bergabung ... .
Bener panjang Bu Rida. Bisa jadi film atau sinetron...... selamat berkarya.....
makasih pa Sopyan... masihbelajar nih
Cerbung akan lebih membuat orang penasaran,.....
Ketemu lagi.....hehe,alumni IN P4TK
Makasih temen2ku pa Sopyan, sama Bu Prima, ditunggu masukannya
Ok sip.. Haturnuhun masukan kak Agus Suryadi, ng Renny, abah Suherman
Terimakasih bu Siti Nursiyah.. saya masih belajar
Terimakasih bu Siti Nursiyah.. saya masih belajar
Dimana bu
Dimana bu
Hohorihoh typo... :)
Semoga anak-anaku kelak bisa kaya Bu Rida cerdas,dan telaten...sehat selalu ya Bu?
Semoga anak-anaku kelak bisa kaya Bu Rida cerdas,dan telaten...sehat selalu ya Bu?
Ini saya Bu Siti nursiyah dari kls A..