Ridha Kartini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BELAJAR DARI KELUARGA ABI FATIH

Sudah lebih tiga tahun kami bertetangga, beda blok di perumahan yang sama. Namun kami belum terlalu akrab. Awalnya anakku, mengungkapkan keinginan untuk mengaji tambahan selepas maghrib di rumah Abi Fatih bersama teman-temannya. Jelas tidak ku izinkan, karena menurutku sudah cukuplah dia mengaji sore di TPA masjid komplek. Waktu istirahatnya sudah banyak berkurang karena sekolah fullday sampai sore. Jadi harapanku dia bisa istirahat lebih awal di malam hari. Namun, kenginannya sangat kuat untuk mengaji di rumah Abi Fatih. Aku merasa pasti karena ajakan teman-temannya saja. Akhirnya kuizinkan dengan syarat dia harus menyediakan waktu utk menyiapkan keperluan sekolah sebelum istirahat tidur malam.

Hari-hari pun berlalu, kusadari anakku semakin baik perilakunya, semakin banyak hafalan surat pendeknya. Sesekali kusimak bacaan Qurannya, ternyata lebih baik. Lalu kutanya, "Ade senang ya mengaji di Abi Fatih?". "Iya, orangnya baik banget Bun. Bicaranya pelan-pelan, dan kami semua nurut sama Abi dan Ummi", dia menjawab dengan mata yang berbinar-binar karena senang. Oh, sepertinya anakku punya kesan mendalam sama keluarga Abi Fatih. Aku jadi penasaran seperti apa sosoknya. Setelah kutelusuri ternyata beliau seorang PNS dengan pendidikan S2 Pertanian dari Universitas terkemuka. Memiliki 4 anak dan istri yang tidak bekerja namun sarjana. Anak-anaknya semua penghapal Al Quran. Memilihkan sekolah untuk anak-anaknya pun tergolong anti mainstream. Sekolah yang padat interaksinya dengan Al Quran menjadi pilihan mereka. Sekolah yang fokus untuk mencetak ulama adalah tujuan mereka. Tidak tampak sikap hubbud dunia dalam keseharian keluarga ini. Aku juga mengetahui bahwa mereka menjadikan rumah tempat tinggalnya sekaligus sebagai tempat mengaji anak-anak komplek ini. Bersama istrinya, beliau berdua menjadi tenaga pengajar puluhan anak dengan bayaran seikhlasnya. Dalam hatiku bertanya, kenapa keluarga yang cukup secara finansial ini masih mau menghabiskan tenaga, waktu dan pikiran mereka untuk mengajar anak-anak di sini? Pasti ada alasan dibalik ini. Apalagi kalau bukan ganjaran lebih dari sang Pemilik Firman. Wah, aku jadi ingin mengenal keluarga ini lebih dekat.

Kebetulan ada surat undangan pertemuan orang tua siswa. Kamipun datang memenuhi undangan. Begitu masuk ke dalam rumah itu rasanya adem sekali, dengan kesan sederhana yang sangat menonjol. Abi Fatih dan istrinya terlihat ramah menyambut kami. Beliau memaparkan tentang keinginannya menjadikan anak-anak di perumahan kami lebih dekat dengan Al Quran. Aku rasa pekerjaannya sebagai PNS di pemerintahan pasti sudah banyak menyita waktu. Tapi semangatnya untuk belajar dan mengajarkan Al Qur'an sungguh luar biasa. Belakangan aku tahu dari istrinya kalau beliau setiap Sabtu dan Ahad berangkat dari Cianjur ke Bandung untuk belajar Al Quran dari pengajar yang memiliki Sanad resmi. Masya Allah, aku merasa malu karena tidak memiliki ghirah seperti keluarga mereka.

Pernah suatu kali aku bertemu dengan anak sulungnya, kami bercengkerama beberapa saat. Sempat kulontarkan pertanyaan standar yang biasa kutanyakan jika bertemu anak-anak penghapal Quran, "Sudah berapa juz hapalannya?”. Dia menjawab dengan kalem, "Sekian". "Sekian itu berapa?" lanjutku. "Sekian saja", kali ini dia menjawab dengan tegas sambil tersenyum. Dan aku paham dia tidak ingin orang lain tau berapa banyak hafalan yang sudah dikuasainya. Mungkin ini salah satu caranya menjaga hafalan itu tetap mutqin.

Beberapa pekan yang lalu, Abi dan Umi melakukan survey melalui aplikasi gawai di grup WA perumahan kami. Mereka menawarkan kelas baru belajar Tahsin Quran khusus untuk orangtua siswa. Dan respon peminatnya ternyata tinggi. Banyak yang ingin menjadi peserta kelas ini. Aku memastikan diri untuk ikut serta. Ini kesempatan yang kutunggu, karena bacaan Quranku masih jauh dari sempurna.

Sejak mengenal keluarga ini, entah kenapa aku merasa aku harus lebih banyak berinterkasi dengan AlQuran. Aku takut saat Alloh memanggilku pulang, amalanku yang tidak seberapa ini tidak akan cukup menjadi bekal di sana. Aku ingin setiap hariku selalu membacanya dengan kaidah bacaan yang benar. Aku ingin lebih memahami kandungan ayat-ayatNya. Aku ingin anak-anakku menjadi ahli Quran, menjaga Al Quran dengan segenap jiwa raga mereka, menjalani kehidupan dengan pedoman Al Quran. Apakah ini asa yang ketinggian? Entahlah, yang jelas aku malu dengan diriku.

Dari Sa'id bin Sulaiman r.a, Rasulullah Saw bersabda, "Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat dari pada Al-Quran. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya." (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post