Ridho Wiryawan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Namaku Yasep

Namaku Yasep

Bangun pagi ini menyilaukanku, sinar matahari membuatku menggesek-gesekan kelopak mataku, aku berdiri dan menatap sekelilingku, masih pagi, aku berjalan ke arah pagar, berjalan dengan lunglai, lapar, akhirnya aku berhenti di sebuah gerobak gorengan, dengan seorang nenek-nenek penjaga yang selalu tersenyum melayani sang pembeli.

Aku mendekatinya, dia tersenyum sambil menarik tanganku “Yasep sini, sudah makan?”

“Belum.” Aku menggelengkan kepala.

“Malam tadi tidur dimana?” nenek itu tersenyum lebar.

“Disana,” menunjuk sebuah pos kamling.

Aku tak pernah bisa mengingat siapa namanya, hanya yang ada dalam pikiranku dia terlalu baik untukku, dia seperti seseorang bagiku, aku ingin memeluknya, merangkul dan menangis, tapi badanku hanya diam.

Langkahku terhenti oleh tarikan tangan lembut sang nenek “bawa ini Yasep.”

Sebuah plastik berisi gorengan dan sekantong air teh, aku mengambilnya tanpa berkata apa-apa.

“Jangan berjalan terlalu jauh Yasep,” nenek itu berkata dengan mata berkaca-kaca.

Aku berjalan sambil mengunyah gorengan hangat, ini yang selalu mengisi perutku dipagi hari, sesekali kuteguk air teh hangat dalam kantong plastik, wangi, aku berjongkok di trotoar jalan menatap ramainya lalu lintas, seperti hari-hari yang telah lalu, melamun, kosong, tak ada apa-apa dalam pikiranku, hanya kali ini berbeda ada sebuah pertanyaan dalam pikirku, namaku Yasep.

Terus saja dalam otakku, namaku Yasep, namaku Yasep, berulang-ulang.

Aku memperhatikan seorang pejalan kaki melemparkan punting rokok tepat di sampingku, dengan perlahan ku ambil dan kuhisap, ya lumayan masih panjang, tapi baru saja ku hisap sekali sebuah tangan mengambilnya dan melemparkannya, aku melihat ke atas dengan posisi heran. Seorang Bapak asongan menatapku yang sedang berjongkok.

“Jangan menghisap puntung Yasep,” ujar sang bapak dengan nada geram tapi penuh kasih sayang.

“Kenapa?” aku berdiri dan memiringkan kepalaku.

“Udah mah, rokok tuh biang penyakit, kamu malah ngisep bekas orang,” bapak itu menepuk bahu ku.

Aku masih saja menatap nya tanpa mengerti yang ia bicarakan.

“Ini ambil rokok baru saja,” mengambil sebatang rokok dari kantung baju nya, dan menyodorkannya padaku.

Aku cepat-cepat mengambil dan menghisapnya, tapi bapak itu malah tertawa “hahahaha, Yasep-yasep, belum juga dinyalain rokoknya malah udah diisap lagi,” bapak itu menyalakan korek api.

Aku tersenyum, bukan karena Rokok yang belum dinyalakan, tapi sebuah kalimat di otakku, namaku Yasep, aku kembali melangkah berjalan, terdengar suara berteriak padaku “jangan berjalan terlalu jauh Yasep,” pedagang asongan itu melambaikan tangannya.

Berapa langkah aku berjalan, datang seorang anak kecil berseragam merah putih dia tersenyum sambil menarik tanganku “a ayo anter tita sekolah.”

“Ayo,” aku tersenyum dan seperti tau kemana langkah dan arah tujuanku, sambil dengan erat memegang tangan anak kecil itu.

Sampailah kami pada gerbang sekolah, disitu pula kalimat itu muncul kembali, “makasih a Yasep, nanti tita bisa pulang sendiri.”

“Iya,” aku hanya bisa berkata itu.

Anak itu berdiri sambil melambaikan tangan “jangan berjalan terlalu jauh a Yasep.”

Namaku Yasep, itulah yang selalu muncul dalam pikiranku hari ini, aku kembali berjalan menjauhi sekolahan, tiba-tiba saja sebuah botol air mineral mengenai dahiku diiringi teriakan-teriakan anak-anak ”Yasep gila, yasep gila.”

Aku memperhatikan mereka sambil berkata “sakit.”

Bukannya berhenti, mereka malah menjadi meneriakiku “orang gila, orang gila.”

“Plak,” sebuah botol minuman kembali menerpa dahiku, kali ini botol itu masih berisi air, yang tentu saja membasahi muka dan bajuku.

Aku masih tersenyum kepada mereka “apa salahku?”

Mereka menjauh ketika kudekati, berhamburan, berteriak-teriak “ada orang gila….”

Aku masih heran melihat mereka, kenapa dengan mereka.

Seorang pemuda menghampiri dan merangkulku “udah sep ayo pulang.”

“Iya,” aku memandang wajah pemuda itu sambil menggaruk-garuk rambutku.

“Sep kamu tebak siapa yang menang Arsenal apa MU?” senyum pemuda itu.

“Kenapa?” aku terheran, apa yang dia tanyakan.

“Kamu kan paranormal, hahahaha” dia tertawa keras. “Apakah Arsenal?”

Aku diam.

“Apakah MU?”, dia menepuk pundakku.

Aku tak tau harus menjawab apa, yang ada dalam pikiranku namaku Yasep “Iya.”

Pemuda itu tertawa “hahahahaha, makasih Yasep,” sambil menyelipkan lembaran uang ribuan di saku celanaku.

Hari akan hujan, aku menatap langit gelap, sebuah tetesan-tetesan air mulai membasahi bumi, disertai gemuruh angin, hujan lebat tak bisa dibendung lagi, aku berjalan menuju arah jalan ketika aku pergi, aku masih mengingat semua ini, berjalan tertuduk dengan badan basah kuyup, tak terasa apapun, sesekali ada orang menatapku sambil berkata “dasar orang gila, malah hujan-hujanan,” ada pula yang menawarkan payung, tapi aku hanya menggelengkan kepala, suara petir menggelegar, mengingatkaknku kembali akan sebuah kalimat, namaku Yasep.

Aku terdiam, air mata hangat membasahi pipiku, aku bergumam dengan suara pelan “namaku Yasep,”

Otak ku berpikir kembali “Nenek penjual gorengan itu adalah Ibuku, Bapak penjual asongan itu adalah Bapakku.”

Aku berteriak sekuatnya “dan anak kecil itu adalah Tita adikku.”

Aku tertawa dan berlari sekencang-kencangnya, menuju rumahku tentunya, tak sabar dengan ingatan yang ada di otakku, mereka keluargaku.

Sampailah aku pada sebuah rumah gubuk di samping Pos Kamling, tiga pasang mata menatapku dengan mata berkaca-kaca, berdiri di gerbang pintu masuk dengan salah seorang memegang payung, mereka tersenyum padaku.

Aku diam menatap mereka, siapa kalian?

Sang Nenek menarik tanganku dan menyeka muka ku dengan handuk “sudah tiga tahun kau tidak ingat kami dan sudah tiga tahun pula kau pulang dengan air mata.”

Aku menatap mereka, berpikir keras, seperti ada yang hilang dari pikiranku, dan air mataku tak kunjung reda mengalir.

“Ada beberapa hal yang kau ingat, kebiasaan mu, tapi ada juga beberapa hal yang tidak kau ingat, kau tidak pernah mengingat kami, Ibu, Bapak dan adikmu,” sang Nenek tak kuasa menahan tangisnya.

Nenek itu terdiam dan mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, tangan nya tak henti-hentinya mengelus-elus rambutku, pagi itu kau tertidur di pos kamling, karena telah melakukan ronda malam, selepas itu kau menghampiri ibu dan pamit untuk mencari pekerjaan, Ibu membekalimu dengan sekantong gorengan dan teh hangat, kau hanya mengecup tanganku dan mengucapkan salam, “Yasep pergi dulu ya bu,” itu lah terakhir kali ibu mengenalmu.

Sang Bapak ikut bercerita, tangannya merangkul tubuhku yang basah, hari itu kamu meminta rokok pada Bapak, dan Bapak memberimu sebungkus rokok, tapi kamu hanya meminta satu “Satu aja, lagian Yasep ngga lama ko perginya.” Kamu mengucap salam dan perlahan menjauhi Bapak, itu pula terakhir kalinya Bapak mengenalmu.

Adikmu bercerita, bila ia sempat diantar olehmu sekolah.

“Kami merindukanmu Yasep,” Nenek itu menangis dan memelukku.

Dan tiga tahun yang lalu di waktu yang sama dengan hari ini, kau pulang dan menatap kami tanpa mengenal siapa kami.

Aku hanya diam dan tak mengerti apa yang mereka bicarakan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Suka baca ini, Kerennnnnn!

09 Jun
Balas

Keren abiz ceritanya mas.

08 Jun
Balas

Cerita ini.Lelaki banget!

08 Jun
Balas

@all makasih...

14 Jun
Balas



search

New Post