Bahu, Tempat Kubersandar Telah Pergi

Puasa sudah berjalan tiga belas hari. Ada rasa yang hilang dalam hati, apalagi menghadapi saat ini. Bu Ani merasakan penyakit lamanya kambuh kembali. Belum genap dua minggu merasakan kewajiban muslim di bulan ramadan, sudah dua kali ia menahan rasa mual dan sesak nafasnya. Kini ia harus menatap anak gadisnya yang sedang terbaring lemah.

[Bu...kepalaku pusing,]

[Nah khan...nggak mau makan kok. Lha kemarin buka puasa sama apa?]

[Cuma teh hangat. Nasi padangnya dibawa pulang,] ketik Rina.

[Nggak beli jajan?]

[Mboten,bu,]

[Coba kalau tidak dipaksa makan. Pasti kemarin juga kosong perutmu,]

[Nggih,]

[Maaf ya, ibu juga tidak bisa menjemputmu. Pulangnya pakai motor aplikasi saja biar cepat sampai rumah. Nanti langsung tidur, kalau tidak kuat batalkan saja puasamu,]

[Nggih bu,]

Bu Ani meletakkan gawainya diatas meja. Sejak tadi ia belum beranjak dari tempat duduk. Ia berusaha menetralkan diri dengan memejamkan mata, menata dada agar tak terlalu sesak. Perutnya bagai diaduk, ditahannya berkali-kali agar tidak muntah. Namun usaha yang dilakukan tak membawa hasil.

“Bu Ani, kenapa?” tanya bu Roy, petugas kebersihan,

Ia tak menjawab pertanyaan hanya senyuman yang diberikan, itupun sambil berlari ke kamar mandi. Lega rasanya setelah menghilangkan pahit di lidah, diraihnya gayung, berkumur dan mengusap bibir yang basah.

Bu Roy memandang penuh selidik, tak dihiraukannya rasa penasaran, justru bu Ani meraih kunci motor diatas meja.

“Bu...aku pulang ya,” pamitnya,

“Sudah kuat bu?”

“Insya Allah,”

Perlahan dikeluarkannya roda besi berwarna merah. Pelan tapi pasti dilajukannya dengan hati-hati. Sepanjang perjalanan pikirannya melayang, betapa dahulu ia merasa tak begitu khawatir dengan anak gadisnya karena ada ibu di sisinya. Sekarang ia harus bisa mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi.