Rifki Ferdiansyah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pintar di Segala Mapel
*pict from https://www.worldsciencefestival.com/programs/genius/

Pintar di Segala Mapel

Beberapa waktu lalu, berbicang dengan seorang teman lama. Teman sesama sekolah dulu. Seperti biasa, obrolan absurd dan sesekali nyeleneh keluar. Maklum, teman sebaya dan sepermainan. Lalu, kami juga ngobrol masalah terkini; politik, pendidikan, sosial, dan budaya.

Hingga salah satu pernyataan teman tersebut; guru-guru itu (dalam konteks ini adalah sistem pendidikan dan sekolah) memaksa anak untuk pandai di semua mata pelajaran. Sementara, mereka sendiri belum tentu bisa di semua mata pelajaran.

Salah satu enaknya ngobrol kayak gini; langsung main 'hajar' meski temannya sendiri tengah berprofesi sebagai guru hehe.

Kembali pada pernyataan teman tersebut, saya tidak terlalu kaget. Hal tersebut dikarenakan beberapa tahun yang lalu pikiran seperti ini sudah sempat viral lewat ocehan yutuber Dedi Corbuze. Saya sempat memantau apa argumen yang menjadi latar om Dedi ini melontarkan tesis tersebut; namun tidak lagi ingat detailnya. Yang jelas, kalau tidak salah tangkap, beliau menyanggah sistem sekolah yang menuntut anak mendapat nilai bagus di semua mata pelajaran.

Pada saat itu, saya tidak terlalu memikirkan pola pikir viral tersebut. Toh, semua orang boleh berpendapat; dan pendapat yang baik dilandasi oleh argumen yang kuat pula.

Terlepas dari om Dedi yang sudah mu'alaf tersebut, saya jadi berpikir akan konstruksi pernyataan tersebut:

1. Apa benar guru menuntut siswa bisa di semua mata pelajaran?

2. Bila guru/seseorang tidak menguasai sesuatu hal, apa menjadi salah bila memotivasi orang lain (dalam hal ini siswa) untuk bisa menguasainya?

Untuk pertanyaan pertama, sependek pengalaman saya mengajar, sepertinya tak pernah saya menemukan teman sejawat menuntut anak pintar di semua mata pelajaran. Yang banyak bertemu malah pemakluman terhadap si anak. "Ya, dia memang agak lambat menangkap, tapi ..." "Anak itu memang sedikit lemah dalam pelajaran, tapi ..." "Anaknya ujian nilainya selalu rendah, tapi ..."

Itu kalimat-kalimat yang sering saya dengar. Ada kata hubung 'tapi' setelah pernyataan penyesalan kemampuan siswa dalam belajar.

Nah, kalimat berikutnya tergantung pada kondisi si siswa dalam proses pembelajaran. Bila anak tersebut mengikuti proses belajar sesuai perannya sebagai siswa, kalimat kontradiktif rata-rata bernilai positif. "...tapi anaknya rajin membuat tugas," "...tapi anaknya selalu hadir dan memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran," atau "...tapi dia mau belajar dengan giat."

Namun, kalau siswanya tidak bertingkah sesuai perannya sebagai pelajar, maka kalimat kontradiktif seusai kata hubung 'tapi' akan bernada negatif. "...tapi suka cabut pula," "...tapi tugas-tugas malas pula membuat," atau "...tapi saat guru menerangkan pelajaran selalu meribut dan ganggu teman."

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menyadari bahwa guru tidak menuntut anak didiknya pintar di semua mata pelajaran. Tetapi lebih pada meminta mereka untuk mengikuti proses pembelajaran secara serius. Menuntut para pelajar untuk belajar tekun dan serius; mengikuti proses pembelajaran yang telah disusun oleh guru, bukan hal yang aneh dan salah, kan?

Proses pembelajaran itu apa? Ya, itu merupakan semua program belajar yang telah dibuat dan dirancang oleh guru serta sekolah. Di sana terdapat PR, latihan, kuis, ulangan, ujian, dan lain sebagainya. Termasuk program pembelajaran karakter.

Dan harapan pertama seorang guru adalah siswanya mengikuti semua program tersebut. Masalah nilainya bagus atau tidak merupakan pertimbangan terakhir. Karena, mungkin tidak semua orang mengerti bila di sekolah nilai itu terbagi atas dua jenis; nilai murni dan nilai proses. Nilai murni bisa terlihat dari ujian atau tes yang ditempuh oleh siswa. Sementara, nilai proses merupakan hasil olahan dari nilai siswa mengikuti proses pembelajaran (latihan, PR, tugas-tugas, dsb.) termasuk nilai ujian.

Mudahnya; kalau mau melihat nilai proses siswa ada di buku rapor siswa tersebut. Sedang nilai murni ada di nilai ujian semester (atau nilai UN). Dan yang membuat siswa bisa tinggal kelas adalah nilai rapor, bukan nilai ujian. Artinya, iya guru 'memaksa' siswa untuk mencapai nilai yang baik di semua mata pelajaran; namun paksaan tersebut adalah untuk nilai rapor. Dan siapapun akan bisa berproses di semua mata pelajaran; cuma tinggal belajar serius, bikin latihan, PR, dan sejenisnya. Bila sebuah mata pelajaran nilainya merah (atau istilah sekarang tidak tuntas) bisa disimpulkan anak tersebut tidak mengikuti proses pembelajaran dengan semestinya.

Dengan begitu, pertanyaan nomor dua pun otomatis terjawab. Benar, seorang guru bahasa Inggris diberi soal ujian matematika bakal kelimpungan. Tetapi, sebagai guru, dia berkewajiban untuk meminta, mendorong, dan memotivasi siswanya agar mengikuti proses pembelajaran di semua mata pelajaran. Mungkin anak itu tidak mampu menguasai bahasa Inggris, tetapi dia tentu bisa untuk tetap belajar kan. Ketidakbiasaannya bukan menjadi alasan untuk dia bersikap acuh tak acuh pada mata pelajaran tersebut.

Begitu pula masyarakat dan lingkungan, sebagai salah satu stake holder pendidikan. Pikiran bahwa tidak boleh menuntut anak pintar di semua mata pelajaran hampir tak ada salahnya; namun pikiran tersebut jangan menjadi argumen untuk abai terhadap proses pembelajaran. Sekolah itu kan tempat proses pembelajaran terjadi, bukan tempat ujian akhir saja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Paradigma yang harus kita ubah adalah "memaksa" anak untuk pada di semua hal. Karena sehebat apapun, ia pasti punya kelemahan. Tulisan inspiratif. Sedikit koreksi mungkin perlu dibenahi dalam penggunaan tanda baca. Salam kenal.

02 Jul
Balas

Salam kenal, pak. Terima kasih atas koreksiannya.

08 Jul



search

New Post