Saksi Bisu
SAKSI BISU
Pagi ini, mentari tampak begitu anggun, memancarkan cahaya keemasan sedemikian sempurna, hingga membuat tubuhku terasa kian menghangat di balik selimut yang sebentar lagi akan kutanggalkan. Kicau burung pipit terdengar riuh, mulai menyemarakkan hari, sekaligus sebagai tanda waspada untukku dan sanak saudaraku. Namun kekhawatiranku sedikit mereda saat Aku menyadari pemuda tampan telah berdiri di pematang. Menghalau burung-burung rakus yang sedang memuaskan hasrat laparnya.
“Raden, kini datang lebih pagi rupanya,” bisikku. “Eh...siapa wanita jelita yang berjalan di belakangnya?” kataku kemudian, saat aku menyadari ada sosok bak bidadari menghampiri pemuda bertubuh tegap itu.
Mereka sepertinya sedang dibuai asmara. Tergambar saat Raden begitu lekat menatap wajah si jelita, dan terbalas dengan seulas senyum tersungging manis. Tak banyak kata terucap dari bibir dua sejoli. Namun semesta seakan telah memahami, hingga mentari pun memperlambat langkah, dan angin melambai perlahan.
“Aduh!” pekikku tiba-tiba.
Burung rakus itu mamatukku dengan kasar. Menelanku bulat-bulat tanpa mempedulikan temboloknya yang kian membesar.
“Sialaannn! Mengapa Raden sedikitpun tak menyadari akan ini? Kau dalam petaka, Raden!” pekikku.
Aku yang tak memiliki daya upaya bergulir, menggelinding begitu saja, berbaur dengan lendir, dan bersua dengan sanak saudara yang telah mendahuluiku menghuni tempat terkutuk ini.
Tak lama berselang, burung-burung rakus itu memekik kesakitan, memuntahkan segala isi yang telah ditelan. Termasuk aku. Terburai menjijikan di atas rerumputan. Dengan sekejap, tiba-tiba tubuhku terhempas, kembali ke tempat ternyaman, selaput kasar yang tadi sempat terkoyak pun kembali utuh. Mendekap tubuhku. Begitu pula sanak saudaraku. Kembali ke hunian masing-masing. Menyatu dengan jerami.
Entah apa yang sedang terjadi, mengapa Raden melakukan semua ini, mengerahkan segala kesaktian. Untuk mengelabui sang Guru kah?
Kau tak bisa menjaga amanah, Raden! Dan kau telah ketangkap basah bercinta dengan putri sang Guru. Lalu kini kau tengah berusaha pamer akan kesaktian dengan membungkam keadaan. Semua sudah terlambat, Raden. Sang Guru terlanjur murka. Busur panah di tangannya sedang mengintai, mengincar titik mautmu. Tetapi kau layak bahagia, karena si Jelita turut mempersembahkan ruhnya untuk pergi bersamamu.
#tantangangurusiana365
#day3
#03012022
#liris
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar