Lecutan penuh makna
Mungkin anak sekarang sudah tak mengenal barang yang satu ini. Terlebih yang tinggal di kota besar, sudah dipastikan terasa asing, karena tak pernah melihatnya. Apalagi untuk mengenal fungsinya.
Lecutan yang saya maksud adalah cambuk. Orang sekitar saya memberi nama "pecut" sesuai dengan fungsinya. Yaitu memecut kuda supaya kencang larinya, semangat terus untuk melangkah menyusuri lorong hingga sampai tujuan. Selain kuda, biasanya petani menggunakan dan membawanya ke sawah untuk menggertak sapi pembajak sawah. Saat ini banyak petani tak lagi menggunakan sapi sebagai tenaga pembajak sawahnya. Kebanyakan menggunakan mesin pembajak sawah. Sapi hanya dipelihara untuk dijual dan diambil dagingnya saja. Tak lebih dari itu.
Namun lecut di sini beda fungsi, bukan untuk menggertak sapi ataupun kuda. Ingat betul waktu itu, saya masih kelas 3 SD. Zaman dulu tak semua rumah punya televisi. Termasuk di rumah saya. Bapak sengaja tak membelinya, karena isinya hanya hiburan. Baru jam sembilan malam ada "berita dunia apa dunia dalam berita ya?" saya lupa. Jarang nonton dan kurang perhatian sih. Waktu itu menjelang magrib, bapak mengajak pulang untuk menyiapkan diri melaksanakan shalat. Tapi kaki ini tetap saja tak beranjak. Tak menghiraukan apa yang dikatakan bapak. Hanya bibir bilang "ya pak" tapi yang namanya mata fokus saja pada televisi. Tanpa sepengetahuan saya, eh ternyata bapak pegang sabuk, yang kemudian disabetkan pada badan saya. Tanpa menangis, saya langsung lari pulang dan tak ke luar kamar.
Sejak saat itu, saya tak pernah lagi nonton televisi. Rasa takut dan malu serta menahan sakit, membuat saya memilih tak menonton televisi. Shalatpun jadi Tak pernah bolong. Sempat sakit, badan jadi panas karena peristiwa itu. Karena saya memang tak pernah dimarahi apalagi dipukul. Sejak kejadian itu pula, saya tak pernah disakiti lagi oleh bapak. Bahkan sampai detik ini sekalipun.
Buat saya, hal itu luar biasa. Terekam seumur hidup. Saya tak marah, saya jadi patuh pada orang tua. Tak pernah lagi bermain ke rumah depan, walau hanya sekedar nonton kimus kesukaan saya.
Terima kasih cambuknya bapak
Andai kata tak pernah dirasa
Mungkin aku tak seperti sekarang
Menggunakan waktu semaunya
Shalat jadi bolong-bolong
Terima kasih cambuknya bapak
Saya jadi lebih menghargai waktu
Tak pernah lagi gunakan yang kurang berarti
Semua waktu jadi lebih berarti
Untuk meraih masa depan
Bondowoso, 18Oktober2020
Tulisan ke- 61, menuju tantangan hari ke-14
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terima kasih pencerahannya Bu. Tulisan yang keren kalau sekarang pecut sudah jauh dari anak-anak. Tapi diganti dengan kata-kata bijak dan contoh-contoh
Ya bu bener, sebagai orang dewasa kita harus memberi teladan yg baik. Salam sehat dan sukses selalu buat bunda.
barakallah, pelajaran dari ortu sangat berarti. kalau sekarang menurut para ahli memarahi apalagi memukul akan merusak syaraf otak anak
Ya bunda, dilarang memukul dan memarahi, merusak ion positif ktx.
Kalau dulu mngji gurunya pasti megang pelecut bu. Tpi biasa sj. Tpi jika zmn sekrg guru mrah sedikit saja lngsg jd bumerang
Ya bener, sekarang jangan coba dipastikan laporkan polisi.
Jadi ingat waktu kecil saya membeli pecut untuk mainan ternyata senjata makan tuan. Semoga tetap semangat berkarya Bunda cantik
Terimakasih bunda.Lumayan sakit lo klo kena ujungnya. Bikin air mata mengalir.