HIDUP
TANTANGAN MENULIS HARI KE-56
Jam menunjukkan pukul 20.10. saya memberanikan diri menelpon kawan yang dulu sama-sama prajabatan di kutacane. Beliau seorang dokter di dinas kesehatan. Sekarang beliau termasuk ke dalam tim gugus tugas covid kabupaten ini. Saat hari raya idul adha kemaren, nama beliau tercantum dalam data pasien positif covid terbanyak (11 orang) di sini. Betul-betul data rekap pasien positif tersebut tersebar pas jam 11 siang, saat saya sedang merayakan idul adha di rumah seorang kawan (menu soto medan ketika itu), namanya ada dalam 11 pasien tersebut. Apa hendak dikata, tugas beliau sebagai dokter di tim gugus tugas kabupaten, memang rentan tertular virus.
Selama karantina, saya sebagai seorang kawan lama terpanggil untuk ikut berkontribusi semasa beliau di karantina mandiri di rumahnya (ke-4 anak beliau juga ada di dalam rumah tersebut). Kalau memang ada kesempatan untuk membantu kenapa tidak. Saya mengantarkan brownies buatan saya ke rumahnya. Selang beberapa hari diganti dengan jeruk dan kue-kue. Tak lupa saya juga ikut mengantarkan brownies kepada sahabat beliau (kepala tim gugus tugas covid kabupaten) yang rumahnya selang 4 rumah dari kompleks saya.
Saya mendapatkan nomor hpnya dari kawan saya ini. Malu rasanya, kita bisa mengantar makanan kepada kawan positif covis yang jaraknya 18 km dari kita, namun tetangga sebelah rumah yang juga positif hanya berjarak 18 meter kenapa tidak ikut diberi?. He he he. Beliau sangat berterima kasih waktu itu. Saya sampaikan melalui wa “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, hari ini kakak, besok pagi bisa jadi saya”. Saya pun merasa apa yang saya berikan belumlah maksimal. 3 minggu kemudian, beliau sembuh dari covid.
Begitu juga dengan tetangga yang rumahnya pas di belakang rumah saya. Beliau seorang perawat di rumah sakit kabupaten ini. Positif covid-19. Tak perlu sungkan kita memberi. Saya mengatarkan donat pertama kali ke rumahnya. Beliau menerimanya lewat jendela rumah. Sekalipun tetangga-tetangga melihat, saya tidak terlalu takut untuk mengantarkan makanan, asal tidak kontak saja beliau dengan saya. Alhamdullih, beliau sembuh. Sebanyak apa piring yang sampai di rumah beliau, sebanyak itu pula piring tersebut sampai ke rumah saya berisikan makanan di dalamnya. He he he.
Setelah lama berkomunikasi, diskusi, akhirnya saya mengirimkan foto ktp saya. Beliau akan berkoordinasi dengan tim gugus covid untuk menentukan kapan pengambilan swab terhadap saya. Oh iya, saya lupa. Sejak hari rabu kemaren, saya sudah mulai tidak bisa lagi merasakan apa yang saya makan. Semua terasa hambar. Penciuman pun sudah mulai berkurang. Jumat malam, saat makan lontong padang di rumah saudara, saya bertanya,”Gulai buncisnya kurang garam”.
Saat menemani kawan memasak hari minggu, waktu saya mengantarkan sari kurma, saya juga tidak terlalu mencium aroma masakan capcai ayam buatannya. Padahal saya melihat dengan mata kepala sendiri, kawan saya memasukkan ketumbar, saori, dan bumbu lain ke dalam Teflon yang berada di atas kompor gas. Saat makan capcai pun, saya juga bertanya” kenapa tidak pedas? Kok kurang garamnya?”.
Saya takut. Saya takut tertular covid. Maka saya putuskan menelpon kawan (beliau seorang dokter) apakah saya wajib diswab? Berapa biayanya?. Beliau menyarankan agar saya diswab, karena sudah kontak dengan pasien reaktif rapid, dan gejala covid seperti hilangnya rasa pada lidah sudah teralami. sekalipun ada yang menyarankan untuk tidak diswab, cukup isolasi mandiri di rumah. karena jika saya positif, tidak hanya sekolah saya yang ditutup, tapi juga sekolah kawan saya. Besar pengaruhnya nanti. Mmmm, semua berhak memiliki pendapat masing-masing. Tidak pun saya salahkan. Namun ujung tombak keputusan tetap kita yang memegang kendalinya.
Saya akhirnya memutuskan untuk diswab. Factor takut menularkan ke orang lain juga sebagai alasan saya mengikuti swab. Agar mata rantai virus ini bisa terputus jika saya positif nanti. Apapun resikonya insya allah saya terima. Pengucilan dari orang mungkin akan menjadi momok yang menakutkan, tapi menurut saya lebih banyak mudaratnya jika saya berdiam diri untuk tidak memeriksakan diri. Dengan bismillah.. tadi sore pukul 15.00 saya sampai di puskesmas kecamatan saya. Menemui tim covid. Alhamdulillah sudah diambil sample swab. Insya allah hari kamis nanti diberitahukan hasilnya. Selama menunggu hasil swab keluar, saya diwajibkan untuk karantina mandiri di rumah.
Barusan saya berbuka puasa, memang masih terasa hambar. Saya berharap kepada Allah Swt, menjauhkan segala macam penyakit dari saya dan kita semua. Kawan yang anaknya reaktif kemaren juga terketuk hatinya untuk melakukan swab. Saya bahagia mendengarkannya. Kondisi anak beliau hari ini sudah mau makan, Cuma sudah muncul gejala baru berupa batuk. Sementara saya tidak ada demam, tidak ada batuk, tidak ada sakit. Selasa, Rabu, Kamis, 3 hari ke depan saya insya allah berdiam diri di rumah sambil mengerjakan laporan BOS tahap II. Saya jalani dan saya nikmati apapun hasilnya. Doakan saya kembali sehat, doakan agar hasil swab saya negative..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hebat perjuangan ibu, menjadi kawan saat teman atau orang lain membutuhkan dukungan moral. Meski terinfeksi virus, ibu tetap tidak merasa takut. Mantab Semoga sukses selalu. Salam literasi
Terima kasih atas dukungannya pak.. terima kasih sudah membaca tulisan saya..