HIDUP
TANTANGAN MENULIS HARI KE-53
Pukul 05.59 seorang teman sekampung (juga sama-sama merantau di sini dengan saya) menelpon saya. Sayangnya hp saya nada deringnya tidak sengaja dinonaktifkan, sehingga tinggal getarnya saja. Ada 3x panggilan tak terjawab, sementara saya masih terbuai dalam mimpi, tadi malam sudah pulang pukul 10 malam mengerjakan pembuatan payet baju (itupun belum selesai dikerjakan, sementara mata sudah sangat mengantuk).
Saya terbangun untuk kesekian kalinya hp berbunyi. Saat mengangkat panggilan tersebut, saya mendapatkan kabar bahwa dia dan keluarganya sudah berada di sebuah klinik swasta dikota kami. Anaknya demam tinggi tadi malam, seluruh pasien yang berobat di klinik ini diwajibkan mengikuti rapid tes termasuk anak kawan saya yang baru berumur 3 tahun. Yang mengejutkannya, anak teman saya ini “reaktif” hasil rapidnya.
Pihak klinik menyarankan dua pilihan : merujuk pasien ke rumah sakit umum daerah atau isolasi mandiri di rumah. Teman saya memutuskan untuk isolasi mandiri di rumahnya. Namun kendala terbesar yang dihadapinya, anaknya tidak mau makan. Sehingga bisa menyebabkan penurunan system imun tubuhnya. Infus harus dipasang karena anak tidak mau makan. (Saya tidak tahu bahwa dia memilih untuk isolasi mandiri), karena saat berkomunikasi saya menyarankan untuk segera ke rumah sakit daerah dan dia menyanggupinya.
Terbayang kejadian bulan Maret 2019 kemaren. Saat anak keduanya yang berumur 8 bulan telat penanganan rujukan ke rumah sakit. ketika itu wabah covid sedang hangat-hangatnya di Indonesia. Saat itu hari senin, saya sedang berada di sekolah karena saya bertugas sebagai teknisi dalam kegiatan UNBK. Dia menghubungi saya (persis sama dengan kejadian subuh ini). Padahal kemarennya (hari Minggu) saya berkunjung ke rumahnya, sang anak merengek-rengek. Teman saya memandikan anak tersebut, menyusuinya, namun sang anak muntah. Teman saya bilang, anaknya sudah 1 minggu demam. Karena telat sampai di rumah sakit, anak sudah dehidrasi selama perjalanan dengan ambulance. Sesampai di rumah sakit, 4 orang dokter mencari nadi bayi tersebut. Saat ditemukan untuk dipasangkan infus, sang anak sudah menarik nafas terakhir. Dia gugur… Allah Swt memilihnya menjadi malaikat kecil di surga-Nya..
Saya sampai di rumah sakit (karena harus menunggu peserta UNBK selesai, saya teknisi UNBK) persis saat ambulance pembawa jenazah anaknya menutup pintu mobil. Saya hanya bisa bersalaman memberikan penguatan di luar pintu mobil ambulance. Ambulan bergerak meninggalkan rumah sakit menuju Medan (pemakaman anaknya dilakukan di Medan), seiring itu pula tetes airmata mengalir berderas.. tak berhenti..
Tadi siang, sesudah menyelesaikan pengecekan 32 unit computer di sekolah, saya menuju rumah tukang jahit. Saya berkonsultasi dengan teman tempat saya belajar menjahit. Saya meminta izin jika siang ini, teman saya yang anaknya reaktif meminta untuk menemaninya, maka saya akan menyanggupinya. Berarti jika saya bergabung dengan teman saya, maka selama 3 minggu ke depan saya tidak bisa belajar menjahit. Anak tukang jahit ini ada yang berumur 2 tahun dan 5 tahun. Saya takut, ketika saya sudah berinteraksi dengan teman yang reaktif, saya akan tertular, dan saya juga akan bisa menularkan kepada anak tukang jahit. Saya beritahukan siang ini, agar beliau tidak kehilangan saya karena ada proyek pemasangan payet baju yang harus diselesaikan hari senin sore. Tukang jahit menyetujui rencana saya.
Kemudian saya kembali ke rumah. Menunggu telepon dari kawan. Menanyakan sejauh mana perkembangan anaknya. Apakah sudah sampai di rumah sakit. ruang apa. Apa yang bisa saya bantu. Yang ditunggu-tunggu tidak menghubungi, maka saya berinisiatif menghubungi beliau. Tapi tidak diangkat. Saya kemudian menelpon tetangga beliau. Tetangga tersebut memberitahukan bahwa teman saya sudah pulang ke rumah dengan anaknya. Memilih untuk isolasi mandiri di rumah. Katanya anaknya sudah bisa berlari-lari sepulang dari rumah sakit. saya kaget.
Saya dan saudara saya langsung menelponnya. Ketika berkomunikasi dengan dia via telepon, menyarankan untuk merujuk ke rumah sakit karena kondisi anak yang tidak mau makan. Namun, saran tersebut tidak diindahkan. Jadi, terserah yang mengambil keputusan, karena kami hanya memberikan saran yang terbaik menurut kami.
Jikalau posisi tersebut saya yang mengalami (sekalipun saat ini status saya masih lajang), saya akan memilih untuk merujuk anak ke rumah sakit daerah. Karena penanganan di rumah sakit pusat lebih baik dan dokter yang akan menjaga non stop 24, anak akan cepat ditangani jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Jika masalah kesehatan, lebih saya percayakan kepada ahlinya yaitu dokter dan perawat. Saya juga akan meminta untuk diambil sampel “swab” terhadap suami dan saya, sehubungan dengan hasil rapod tes “reaktif” anak saya. Sekalipun harus membayar, karena covid ini bukanlah permasalahan sepele untuk hari ini.
Sambil menunggu hasil tersebut, saya juga akan meminta kepada teman-teman untuk tidak berkunjung ke rumah sampai hasil swab kami keluar. Saya juga akan menghubungi dokter spesialis untuk mendapatkan obat terbaik bagi anak saya. Berapa pun harga akan saya bayar, karena uang yang dicari adalah untuk anak. Jika posisi saya dalam keadaan darurat seperti itu. Namun, pendapat kita tidaklah sama dengan pendapat orang di sekitar kita.
Saya berharap, malam ini tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Berharap waktu akan kembali normal seperti semula. Semoga…
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar