RINI KHARMILA SARI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

PIK UBI

Tantangan Menulis Hari ke-59

Mamaknya belum bisa dijenguk. Masih dalam kondisi koma. Masyitoh berjalan gontai menuju kamar mandi. Meletakkan nasi bungkus pemberian sang satpam dekat dengan wastafel kamar mandi. Rona mukanya mulai tampak segar, hasil sentuhan percikan air. Segar rasanya. Masyitoh menghela nafas. Kembali seulas senyum mulai tampak di bibirnya. Sekali lagi dibalurkannya air ke mukanya. Dia tidak ingin Mamak ketika bangun melihat wajah sembabnya.

Masyitoh berjalan menuju koridor rumah sakit. dia mulai membuka bungkusan nasi. Terdengar bunyi guruh di langit. Seiring dengan suara keroncongan dari perutnya. sedang berlomba hendaknya mereka. dia tertegun. Sudah 1 hari dia belum makan. Lapar mulai mendera Masyitoh. Dengan lahap dimakannya nasi bungkus pemberian sang satpam, sangat nikmat rasanya. Dalam keheningan makan, Masyitoh tak berhentinya berdoa agar sang pemberi nasi diberikan rezeki yang lebih oleh Allah Swt. Hujan mulai turun seiring dengan kesedihan Masyitoh. Terlalu sempurna Allah menuliskan kisah takdir pagi ini.

“Masyitoh, Mamak sudah bangun” seorang perawat memberitahunya.

Bergegas dibungkusnya lagi nasi yang sudah setengah dimakannya. Menuju kamar mandi, mencuci tangan. Berlari tergesa-gesa, Masyitoh menuju ruang kamar operasi. Nasi masih tertenteng rapi di tangan kanannya. Tampak oleh Masyitoh Mamak sudah mulai membuka mata. Raut garis kerut terlihat di wajah Mamak. Ya, Mamak sudah tampak sangat tua. Sebanyak kerut di wajahnya, sebanyak itu perih derita kehidupan yang dijalaninya. Masyitoh memegang tangan Mamak, sebutir percikan air mengalir dari sudut matanya. Jatuh, pecah di baju Mamak, hilang, meninggalkan bekas basah di baju Mamak. Sudah dengan sekuat tenaga masyitoh berusaha menyembunyikan kesedihannya, namun hati tak bisa bersembunyi, jatuh juga akhirnya. Isak tangis mulai terdengar lembut dari bibirnya. Mamak semata wayangnya, satu-satunya tumpuan harapan hidupnya, seakan-akan hendak pergi meninggalkanya. Masih terbayang olehnya, pagi subuh itu, darah berceceran dari perut Mamak. Pemuda mana yang sampai hati mengusik rumahnya. Tak pun ada apa-apa di dalam rumahnya, hanya perabotan tua dan baju lusuh yang menghiasi rumah mereka. Sunggup, sampai hati hendak mencuri, dan yang lebih menyayat hati, hendak dipisahkannya pula Mamak dengan mereka.

Tak terasa sebuah tangan mengelus kepalanya. Masyitoh berhenti terisak.

“Mamak.. Jangan tinggalkan kami…” tangis Masyitoh.

Mamak tersenyum.

Waktu berjalan. sudah 2 minggu Mamak dirawat. Lukanya pun sudah mulai sembuh. Kakakk-kakaknya tak ada satu pun yang tahu akan kejadian tersebut. Mamak melarangnya. Takut mengganggu, karena mereka akan menghadapi ujian semester. Begitu pula dengan Rinjani, Mamak takut Rinjani akan khawatir, biarlah mereka tahu selesai ujian semester nanti.

Kanaya termenung. Kenapa belum juga datang kiriman Mamak. Beras sudah mulai habis. Dihelanya nafas berat, terlihat Hanum sedang asyik menghafal ujian besok. Diambilnya bantal kecil yang selalu menemai Hanum tidur. Membuka resletingnya. Kanaya memasukkan tangan ke dalam bantal, mencari sesuatu. Berhasil ditemukannya. Seulas senyum tersimpul di bibirnya. Uang hasil beasiswa yang diberikan gurunya seminggu yang lalu. Pandai anak beranak ini menabung. Tak jauh berbeda dengan Mamaknya. Uang ini lebih dari cukup sebagai bekal selama seminggu lagi. Bergegas ditinggalkannya Hanum, pamit hendak membeli beras di warung sudut lorong kontrakan mereka. Sekalipun agak risau hatinya, kenapa kardus sembako Mamak belum juga sampai, hampir tiap sore dihadangnya mobil pasir dari kampungnya, tak ada secercah harapan akan kardus kiriman Mamak, ditahankannya juga rasa risau. Terbayang mimpinya belakangan ini. Biarlah. Mungkin Mamak sedang ada keperluan lain yang sangat mendesak. Digembirakannya sendiri hati yang gundah gulana.

Rinjani masih berkutat dengan lembaran kertas ulangan anak muridnya. Seulas senyum tersimpul dari bibirnya. Seminggu lagi dia akan bertemu dengan adik-adiknya. Terkhusus Mamak, tumpuan harapannya, sudah berat rasa rindu menderanya. Ya, bak bulan yang tak pernah meninggalkan bumi, bintang pun tak pernah meninggalkan langit, begitu juga dirinya yang tidak akan pernah meninggalkan kenangan Mamak, begitu kata pepatah lama, pertemuannya nanti seperti ibarat sepasang kekasih yang akan saling melepas rindu, mungkin lebih besar dari itu. Namun sudah beberapa hari belakangan, tidur Rinjani dihiasi dengan mimpi buruk. Gusar juga dianya. Entah apa gerangan yang akan menerpanya. Lamunannya kembali menerawang jauh. Nun jauh, di rumah tua, beratap rumbia, masuk menuju kamar. Kamar Mamaknya. Mimpinya serasa nyata, seorang bersebo menyelinap masuk ke kamar Mamaknya, terdengar sayup lantunan tilawah quran Masyitoh. Entahlah.. Rinjani takut mengartikan mimpinya.

Pik Ubi sudah kembali ke rumahnya. Warga berdatangan menjenguknya. Wajah Masyitoh sudah mulai dihiasi senyum. Gembira. Karena Mamak sudah mulai berjalan sekalipun masih pelan. Sore itu tak henti-hentinya tamu datang ke rumah mereka. Bermacam-macam yangdibawa. Serasa penuh sudut rumah dengan bawaan tetangga. Kasak-kusuk tentang pencuri mulai berhembus. Warga takut. Cemas. Takut jika sang pencuri masuk ke rumah mereka. Sore itu Pak Cik Hamdan juga datang menjenguk Pik Ubi. Saudara laki-laki satu-satunya Pik Ubi, paman Masyitoh. Dipeluknya Masyitoh, ditenangkannya. Dinasehatinya. Masyitoh mengangguk tak berhenti terisak mendengarnya.

Malam itu, tepat pukul 10, Pak Ibu menyuruh Masyitoh ke rumah Mak Cik Darminah, mengantarkan sayur yang akan dibawa beliau ke pasar besok. Bergegas Masyitoh mengantarkannya. Sekarung besar. Karungnya saja yang besar, namun isiny tidaka terlalu berat. Hening mengusik malam itu. Pintu rumah masih terbuka. Pik Ubi masih berbaring di ruang tamu. Menunggu. Ya. Pik Ubi menunggu sesuatu. Dia pasti datang. Diyakinkannya hatinya. Tak meleset. Seberkas bayangan hitam menghampirinya. Pemuda bersebo. Dia hadir di ruang tamu Pik Ubi. Pik Ubi tersenyum.

“Sudah lama kunanti dirimu.. Junaidi.. Bagaimana kabarmu 2 minggu belakangan?.. Kau gusar nak? Kau takut?... Tak ada yang perlu ditakutkan nak..” ujar Pik Ubi.

“Malam ini, tamat riwayatmu. Tak perlu kudapatkan hartamu. Cukup nyawamu. Jangan sampai mulutmu bercerita tentang aku yang masuk ke rumahmu.” Balas Junaidi.

Seringai busuk terulas dari bibirnya. Sebusuk hati di dalamnya. Dikeluarkannya dari balik baju Junaidi. Sebuah belati terlihat jelas di tangannya. Sebo pun sudah terlepas dari wajahnya. Belati tajam. Setajam kilatannya. Hendak menikam Pik Ubi sebentar lagi. Masyitoh sedang berjalan, menggendong karung berisikan sayur. Dia tersenyum. Dia bahagia. Dia berjanji akan menemani Mamak selamanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masya ALLAH. Luar biasa. SALAM SUKSES DAN Salam literasi

29 Oct
Balas



search

New Post