UBI KIKIR
TANTANGAN MENULIS HARI KE-60
“Hentikan Junaidi!” Teriakan keras muncul dari bilik Pik Ubi. Keuchik desa berdiri tegap di pintu bilik. Keuchik Zulpahmi dan Pak Cik Hamdan menghalangi langkah Junaidi. Junaidi terkejut. Terkesiap. Gelagapan. Berbalik lari secepat kilat ke pintu depan. Sudah berdiri seorang bapak di pintu depan. Menghadang Junaidi. Junaidi tidak mampu mengendalikan langkah kakinya. Bertubrukan dengan sang bapak, pak Syamsuddin, bapaknya sendiri. Pisau belati tak sadar terayun ke arah bapaknya. Pas tiba di bagian perut. Pak Syamsuddin berteriak keras, kesakitan, Junaidi pun terkejutbukan kepalang. Bapaknya tertikam belati.
Dengan sigap polisi yang sudah mengintai Junaidi menangkapnya. Tangannya langsung diborgol. Junaidi masih menjerit memanggil bapaknya. Terisak keras. Meraung. Malam itu desa kami buncah. Seluruh penduduk bergegas menuju rupak Pik Ubi, tak terkecuali Pik Keladi, yang bersebelahan dengannya. Pak Syamsuddin terduduk, belati masih tertancap di perutnya. keuchik Zulpahmi memegang bahu Syamsuddin, hendak membopongnya. Namun Syamsuddin tersenyum, helaan nafas berat terasa jelas dari bibirnya.
“Biarkan.. Mungkin tak lama aku di sini.. Mana anakku? Junaidi.. panggilkan dia..” ujar Syamsuddin.
Polisi mendekatkan Junaidi ke arah bapaknya. Junaidi menangis pilu. Menyayat hati. Airmata bercucuran dari pipinya. Tak mengira akan terjadi seperti ini. Bapaknya. Bapak yang sangat disayanginya. Dia sendiri yang menikamnya. Rasa penyesalan muncul dalam dirinya. Sungguh, jika waktu bisa kembali seperti semula, hendak diurungkannya niat ke rumah Pik Ubi. Namun, apa daya. Nasi sudah menjadi bubur.
Pak syamsuddin malam itu menghadap penciptanya, seiring dengan teriakan Junaidi. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Begitu kata pepatah lama. Hanya satu pesan bapaknya, jadilah anak yang baik. Penduduk buncah. Bak sarang lebah yang terusik. Pik Keladi tak sadarkan diri.
Masyitoh berjalan menuju pulang, membawa uang hasil jual sayur. Dia terkejut melihat keramaian di rumahnya. Berlari masuk. Mencari Mamaknya. Dadanya berdegup kencang. Tak ingin ada sesuatu terjadi lagi kepada Mamaknya. Masyitoh berteriak memanggil Mamaknya. Airmata mulai mengalir dari kedua pipinya. Dicarinya Mamak. Akhirnya ditemukannya jua. Dipeluknya Mamaknya. Mamak tersenyum. Menenangkan putri bungsunya.
“Masyitoh.. Mamak di sini, jangan menangis” ujar Mamak lembut.
Esok paginya, Rinjani, Kanaya, dan Hanum pulang ke desa mereka. Menghabiskan libur semester di kampung, tak sabar hendak bertemu Mamak.
#menungguhasilswab
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar