Rini Marina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BELAJAR DAN BERBUAT

BELAJAR DAN BERBUAT

BELAJAR DAN BERBUAT

Warna-warni pelangi membelah cakrawala. Kehadirannya membuat mata terpesona. Damaikan hati yang sedang gundah dan resah. Lengkungan tiap goresan warnanya memberikan inspirasi tersendiri. Hujan tinggalkan sisa keindahan. Mentari mengurai rintik gerimis menjadi keajaiban. Decak kagum akan kebesaran-Nya, membuat rasa makin dekat pada-Nya.

Beragam warna disetiap titik, layaknya alur kehidupan manusia. Terkadang apa yang diinginkan jauh dari harapan. Akan tetapi bisa juga sebaliknya. Rahasia kehidupan tiada satu pun yang tahu. Kita hanya dapat menjalaninya dengan penuh optimisme. Masalah dan rizki layaknya dua sisi mata uang yang saling melengkapi.

Kehidupan seperti apa yang kau minta, nak?

Itulah pertanyaan yang ada dalam benak seorang perempuan setengah baya. Ketika mendengar keluhan anak semata wayangnya. Permintaannya sederhana saja. Akan tetapi membuat dirinya terenyuh dan meneteskan air mata. Kini ia hidup tanpa suami. Seorang ibu rumah tangga, tanpa mempunyai keterampilan hidup yang cukup. Hanya tenaga yang ia miliki untuk menghidupi anaknya.

Tepatnya lima tahun yang lalu, ia ditinggal suaminya. Kematian yang disebabkan sakit berkepanjangan. Ketika itu anak yang ditinggalkannya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Selain sebagai ibu rumah tangga, Yuni istri Yudi juga bekerja menjadi buruh rumah tangga. Ia bekerja pada tetangga sekitar yang membutuhkan jasanya.

Pekerjaan itu ia lakukan untuk menopang kehidupan keluarganya. Yuni hanya bekerja paruh waktu saja. Sebab ia harus mengurus anak dan suami ketika itu. Sehingga perputaran waktu baginya, sangat berharga sekali. Kasih akung tiada terbagi untu buah hatinya. Meski menjelang senja ia baru sampai rumah.

Kini keadaan telah berubah. Tak ada lagi seseorang yang dapat diajak berbagi. Apapun itu ia putuskan sendiri. Pikiran kalut terbuai oleh angan. Ketakutan selalu menghampiri kesendiriannya. Apalagi kala malam datang, kedua bola mata itu tak mampu untuk terpejam. Hening dan sunyi yang ia dapati. Keraguan menghadapi kenyataan harus ditepis dengan semangat hidup.

Seorang anak laki-laki terlelap di pangkuannya. Yuni ibu tercinta Eka, tak mampu melepaskan pandangan dari wajah putranya. Relung hati terdalam, memunculkan semangat serta kekuatan baginya. Hanya Eka putra satu-satunya yang menjadi curahan hidupnya. Rasa takut menjadi seorang single parent ia jauhkan dari pikirannya.

Terbesitlah keinginan mencari pekerjaan di luar sana. Tak sekedar menjadi buruh di tetangga sekitar saja. Perlahan ia mencoba bangkit. Yuni tak ingin keadaannya makin terpuruk. Anaknya harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Walaupun dirinya harus bekerja dan bekerja. Hanya dengan hati dan pikiran tenang ia dapat memutuskan pilihan yang terbaik.

Di tengah malam nan sunyi, yang terdengar hanyalah binatang malam. Suara yang cukup memekikan telinga membuat relung hati ingin bersujud pada-Nya. Yuni berusaha ke kamar mandi dan mengambil wudu. Hanya dengan mendekatkan diri pada-Nya yang dapat ia lakukan. Segalanya ia pasrahkan pada Allah semata. Lantas ia menjalankan beberapa rakaat salat malam. Tak lupa berdoa untuk keselamatan keluarganya.

Selepas melaksanakan salat dan doa, ia rebahkan tubuhnya di samping putranya. Eka nampak pulas sekali, sampai tak terasa ditinggal salat oleh ibunya. Yuni berusaha keras memikirkan cara untuk dapat penghasilan tetap. Jika ia mau berjualan, maka butuh dana yang cukup sebagai modal. Jelas tak mungkin sebab, ia jelas tak memilikinya.

Satu-satunya jalan ia harus bekerja. Pekerjaan yang dibutuhkan tentu yang penghasilan tetap. Ia ingat-ingat semua teman sekolahnya saat itu. Selama ini ia jarang bergaul dengan teman sekolahnya. Keadaan telah membuatnya jauh dari mereka. Selain tinggal di pelosok, ia tak mempunyai ponsel sebagai alat komunikasi saat ini.

Beberapa nama teman-temannya telah terkumpul dalam otaknya. Ia berharap semua teman dekatnya dapat membantu kesulitannya. Yuni hanya menginginkan pekerjaan saja. Ia benar-benar yakin dengan pilihannya. Semua yang dilakukan tentu demi putra tercintanya.

£££

Sambut pagi dengan penuh harapan dan kepastian. Tiada pernah usaha yang sia-sia bila hati telah yakin. Langkah kaki hilangkan keraguan dalam hati. Menatap masa depan, jalani hidup dengan selalu bersyukur. Kegagalan bukanlah akhir segala usahanya. Tapi menjadikan sebuah kekuatan untuk menggapai kesuksesan.

Luruskan niat untuk mendapatkan yang terbaik. Teriring doa dalam hati, Yuni berusaha mencari informasi pekerjaan. Beberapa teman sekolahnya ia datangi. Tapi mereka belum memberikan sebuah kepastian akan pekerjaan. Namun semua itu ia terima dengan lapang hati. Mungkin belum saatnya ia mendapat pekerjaan. Ia pun harus berusaha lebih keras lagi, pikirnya.

Tak dinyana Yuni mendapat undangan di balai desa. Ia diajak sama bu RT untuk mewakili ibu-ibu PKK. Pucuk di cinta ulam pun tiba, seperti kata pepatah. Di tempat itu, Yuni bertemu dengan teman semasa SMP. Dia adalah Sundari. Kebetulan sekali pabrik yang ditempati kerja oleh Sundari membutuhkan banyak karyawan.

Keduanya pun dengan santainya, ngobrol dan guyon. Sampai lupa kalau Yuni berangkat bareng bu RT dan bercerita sendiri dengan temannya. Obrolan yang cukup panjang itupun memberikan hikmah tersendiri. Pertemuan yang tak pernah mereka sangka dan tanpa ada perencanaan. Harapan Yuni mulai terjawab. Kini wajahnya nampak memancarkan kebahagiaan.

Selama ini Sundari bekerja di sebuah pabrik rokok di daerahnya. Posisinya juga cukup strategis. Ia tahu kebutuhan karyawan. Bahkan dibagian apa saja ia hafal. Dengan menceritakan kisahnya, Yuni akhirnya mengutarakan keinginan bekerja pada temannya.

Gayung pun bersambut. Sundari pun merasa senang, bila temannya dapat bekerja satu pabrik dirinya. Yuni sebelumnya dikenal sebagai anak yang cerdas dan multi tatenta. Meski berperawakan kurus dan tinggi, tapi otaknya sangat jenius. Tapi itu semua karena nasib yang berkata lain. Sehingga ia harus menjalani hidup seperti saat ini.

Betapa mirisnya perasaan Sundari saat bertanya nomor ponsel pada Yuni. Dengan nada terbata-bata ia menjawab, jika dirinya tak punya HP layaknya orang di sekelilingnya. Rasa iba itu telah mendera hati dan pikiran Sundari. Dalam tas yang dipakai ada tiga ponsel dengan beda merk dan tipe.

Tanpa dapat berkata-kata lagi, Sundari mengambil ponselnya yang sudah agak lama digunakan. Lalu ia mengambil kartu yang ada dalam ponsel itu. Kemudian menyerahkan pada Yuni. Berbagai alasan ia utarakan. Sebab Yuni tak serta merta mau menerima ponsel tersebut. Akhirnya Yuni bisa memahami apa yang disampaikan temannya. Ia pun terharu dengan kebaikan dan kepedulian temannya. Keduanya saling berpelukan.

Hanya deraian air mata yang mengalir di pipi Yuni. Dirinya sangat tersanjung atas kebaikan temannya. Hanya ungkapan rasa terima kasih dan permohonan maaf yang dapat ia katakan. Tapi Sundari hanya dapat menguatkan hatinya. Sundari memberikan motivasi pada Yuni, agar ia bangkit dari keterpurukannya. Sehingga menjadi orang tua yang baik dan selalu dihargai oleh anaknya.

Seiring dengan itu, kegiatan desa terus berjalan. Dua kali sambutan tak begitu mereka hiraukan. Baru pada sambutan ke tiga, mereka diam dan mengikuti acara hingga selesai. Seluruh warga yang hadir saling bersalaman untuk berpisah.

Ketika perjalan pulang, bu RT banyak bertanya pada Yuni. Dengan bangganya Yuni menceritakan pertemuannya dengan Sundari. Apalagi Sundari memberinya HP dan menawari pekerjaan yang diimpikannya. Bu RT juga terlihat senang, mendengar cerita yang disampaikan Yuni. Bu RT juga memberikan beberapa nasihat. Dia berharap agar Yuni selalu tetap rendah hati, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

£££

Siang itu mentari nampak samar tertutup awan. Perlahan angin berhembus ke arah gumpalan awan. Burung-burung berjajar di angkasa seakan menyapu cakrawala yang mulai membiru. Gelap dan terang silih berganti. Kecemasan menyelimuti wajah dan pikiran Yuni yang sedang gundah. Desiran suara angin berbaur riuh suara mesin penggiling padi keliling.

Di atas dipan berukuran sedang, ia rebahkan tubuhnya. Rasa penat dan bahagia tak dapat diungkapkannya lagi. Ia ingin waktu berputar lebih cepat lagi. Menyongsong esok penuh keberhasilan. Kedua bola matanya memandang ke atas. Dari sela-sela genting cahaya matahari menembus dalam rumah. Sebab rumahnya tak berplafon. Eka putranya sedang asyik bermain dengan teman-temannya di halaman rumah.

Harapan satu-satunya adalah bekerja. Sebab sudah tak ada pilihan lagi. Walaupun hanya seorang karyawan pabrik, ternyata bukan perkara mudah. Mendengar cerita yang pernah ia dengar dari tetangganya. Awalnya Yuni pesimis dengan usaha yang akan dicobanya. Tapi hati dan pikirannya bertekat untuk mencobanya.

Pikiran kalut, hatinya porak poranda. Dunia seakan terhenti. Kehidupan yang dijalani seperti tanpa arah. Kini Yuni hanya bersama putra semata wayangnya. Secara otomatis ia menggantikan posisi suaminya. Hal inilah yang membuat dirinya terpacu untuk bekerja lebih giat lagi. Tak hanya sekedar itu, ia juga harus mempunyai waktu dalam mendidik putranya.

Esok pun tiba, semalam Yuni sibuk menyiapkan berkas. Beberapa lembar kertas yang akan dipakai melamar pekerjaan. Mulai dari membuat surat lamaran pekerjaan, foto copy KTP, Kartu Keluarga (KK), serta ijazah yang dimilikinya. Semua telah tersusun rapi dan dimasukkan map berwarna cokelat.

Maklum saja, sebab sebelumnya ia hanyalah ibu rumah tangga biasa. Rutinitas paginya hanya memasak dan mengantar Eka ke sekolah. Selebihnya bekerja bantu-bantu tetangga di sekitar rumahnya. Angan dan harapan terukir dalam map itu. Yuni telah membuat sebuah keputusan, bahwa dirinya akan bekerja di pabrik. Eka akan dititipkan bibinya setelah pulang sekolah. Agar makan dan ngajinya terjaga dan ada yang memerhatikan.

Modal terbesarnya hanyalah sebuah kepercayaan. Yuni sangat yakin bahwa Sundari adalah teman terbaiknya. Tas berukuran cukup lebar itu hanya berisi map biru saja. Selama dalam perjalanan, mulutnya tak henti untu berkomat kamit. Berbagai doa ia ucapkan. Ia selalu berharap dapat diterima dan bekerja di tempat itu. Hanya kendaraan umum yang dapat menghantarkan dirinya di tempat tujuan.

Tak seberapa lama, sampailah di pabrik rokok terbesar di daerahnya. Aroma khas tembakau yang sedang diolah menusuk hidungnya. Ia terlihat canggung saat memasuki gerbang depan. Beberapa kali ia menarik nafas panjang. Sekedar menguatkan hatinya. Perlahan detak jantung yang berdegup kencang mulai normal kembali.

Di pos penjagaan, Yuni menyampaikan niatnya. Kemudian seorang petugas keamanan mengantarkan di sebuah ruang. Ternyata dalam ruangan itu sudah berderet pelamar. Semuanya berkeinginan bekerja seperti dirinya. Tapi sebagian besar mereka baru lulus sekolah. Lagi-lagi perasaan minder menghantui pikirannya.

Cukup lama ia menunggu giliran untuk dipanggil. Tak sepatah katapun ia berbincang dengan sesama pelamar. Dari dalam ruangan seorang petugas memanggil nomor antrean selanjutnya. Ternyata nomor yang dipeganginya yang mendapat panggilan.

Detik-detik mendebarkan, saat ia harus memasuki ruangan itu. Wajahnya tertunduk, map yang telah ia siapkan dipegangi erat. Lantas ditaruh di atas meja. Wajah Yuni tertunduk, ia seakan tak berani mengangkatnya. Apalagi melihat orang yang akan menguji dirinya.

Melihat gerak gerik temannya Sundari merasa geli. Ia ingin tahu seberapa jauh keseriusan Yuni. Ternyata ia benar-benar membutuhkan pekerjaan itu. Sehingga tawarannya diterima dengan baik dan cepat. Suara Sundari pun memecahkan suasana dalam ruangan itu.

Dalam hati Yuni hanya berkata, “suara itu kok tidak asing ya bagiku.” Ternyata benar adanya. Saat Sundari menjabat tangan sahabatnya, Yuni kaget tak karuan. Sebab orang yang akan ditemui adalah temannya sendiri. Semalam ia tak dapat tidur hanya membayangkan wajah pengujinya.

Tanpa dapat berkata-kata Sundari memeluk Yuni erat-erat. Ia lantas menjalankan tugasnya. Beberapa berkas diseleksi dengan baik. Yuni tetap berharap agar dirinya dapat diterima kerja. Akhirnya Sundari memberikan sebuah keputusan. Dua hari kemudian Yuni dapat datang ke pabrik lagi. Berbagai persyaratan telah disampaikan oleh temannya dengan bijak. Meskipun telah saling mengenal, tapi berkas dan kesehatan Yuni memenuhi persyaratan. Sehingga ia diterima kerja.

Berkali-kali ucapan terima kasih disampaikan untuk teman terbaiknya. Sundari pun merasa senang dapat membantu meringankan beban temannya. Air mata kebahagiaan membasahi pipinya. Ia tak dapat berkata-kata lagi. Sebab harapannya telah terwujud. Hanya menunggu waktu saja semua akan menjadi berubah ke arah yang lebih baik.

Baru saja keluar dari ruangan, Yuni sudah dipanggil oleh seorang petugas. Lalu dari belakang ia mengikuti petugas itu untuk menerima seragam yang akan dikenakan saat kerja. Ia pun mendapat nomor antrean dua puluh. Dengan ramahnya, petugas itu mempersilakan Yuni untuk menunggu gilirannya. Petugas pun pergi meninggalkan dirinya.

Beberapa pelamar yang telah diterima sangat antusias untuk dapat segera bekerja. Setiap orang yang keluar dari ruang kebanyakan tersenyum. Satu tas plastik besar mereka tenteng untuk segera dibawa pulang. Melihat wajah mereka mencerminkan kebahagiaan. Yuni merasa penasaran dengan apa yang didapat dari dalam ruang itu.

Keberadaannya membuat orang di sekeliling menjadi baik. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu santun. Perilakunya juga sopan dan ramah. Kerendahan hatinya membuat orang sangat memedulikan dirinya. Baginya hanya dengan melakukan kebaikan, ia akan mendapat segalanya. Meski ia duduk terdiam penuh teka teki, namun hatinya selalu berdoa. Secercah harapan mulai terlihat. Keberhasilan seakan berada dalam genggaman.

Cukup lama ia duduk bersama teman lainnya yang menunggu giliran dipanggil. Jam dinding dalam ruangan hampir menunjukan pukul sebelas. Hatinya mulai gusar sebab saatnya Eka akan pulang sekolah. Pikirannya melesat pada putranya.

Lima belas menit kemudian ia mendapat panggilan. Nomor yang dipeganginya ia sodorkan pada petugas. Lalu Yuni memasuki ruangan yang menjadi penantiannya. Setelah masuk, ternyata ia harus mengisi sebuah lembaran kertas bermaterai. Ia harus menandatangani sebuah ikatan kerja yang telah disiapkan. Berbagai aturan telah dijelaskan oleh petugas dengan gamblang.

Yuni memahami akan posisi barunya. Selain itu juga mengerti apa yang harus ia lakukan besuk. Setelah semuanya tak ada pertanyaan, ia pun harus mengisi ukuran seragam yang akan dipakai. Yuni mulai mengisi urutan nomor, nama, ukuran baju dan tanda tangan. Sesampainya di luar ruangan ia pun tak ada bedanya dengan teman lainya. Senyumnya seakan menghilangkan guratan kesedihan yang dialaminya.

Pekerjaan yang diperoleh tentu saja jawaban atas doa-doanya. Melalui teman saat sekolah ia dimudahkan usahanya. Yuni sangat bersyukur atas nikmat yang didapatnya. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur. Ketika sampai rumah, Yuni langsung menciumi putranya. Rasa tak sabar itu tak kuasa ia tahan. Kabar berita baik itu langsung diceritakan pada putra dan familinya.

Hari-hari yang mereka jalani berjalan dengan baik. Segala pekerjaan rumah dan pabrik dapat diatasinya. Meski ada sedikit simpang siur fitnah tentang dirinya. Maklum saja Yuni terlihat berangkat pagi pulang petang. Bagi mereka yang tak biasa tentu menafsirkan yang kurang baik. Tapi semua itu tak pernah dihiraukannya.

Bertahun-tahun ia bekerja sebagai buruh pabrik. Pengalamannya tentu tak dapat dipandang sebelah mata saja. Bahkan Yuni sangat menguasai berbagai kemampuan. Mulai dari proses pembuatan hingga pada pengemasan produk. Berkali-kali ia harus pindah di bagian yang baru pertama dilakukan. Akan tetapi Yuni mampu bertahan, ia pun sangat cekatan. Semakin banyak yang didapat maka, semakin banyak upah yang diterima.

Hampir setiap Minggu, sehabis gajian Yuni berusaha menyisihkan uangnya. Ia sangat ingin sekali anaknya menjadi orang yang sukses. Suatu saat nanti tabungannya pasti terpakai. Karena tak lama lagi, Eka akan masuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tentu saja sangat membutuhkan banyak pengeluaran.

£££

Lima tahun waktu yang cukup lama. Kini Eka telah beranjak remaja. Perawakannya tinggi, berkulit bersih dan yang tak kalah pentingnya ia sangat sopan santun. Sehingga keberadaannya membuat teman sekelas sangat akrab dengannya. Meskipun ia seorang cowok tapi rajin belajar dan mengerjakan tugas-tugas. Tak heran Eka menjadi idola dalam kelasnya.

Ekonomi keluarga Yuni semakin membaik. Bila dibanding saat ditinggal suaminya dulu. Uang simpanan yang rutin ditabung, kini sudah terwujud sebuah sepeda motor. Meskipun bukan barang baru, tapi masih dapat dipakai ke sana kemari. Paling tidak dapat dipakai untuk kerja. Akan tetapi Eka harus pakai sepeda onthel, sebab ia masih di bawah umur. Lagi pula ia merasa lebih asyik dan nyaman. Setiap hari dapat bersepeda dengan teman lainnya.

Kebetulan sekali saat naik kelas depalan, Eka juga termasuk penerima dana Program Indonesia Pintar (PIP). Sekarang ia duduk di kelas sembilan. Tapi nama Eka Nugraha, masih menghiasi kolom itu. Setiap kali uang PIP cair, Eka selalu menabungkannya. Ia hanya mengambil sesuai kebutuhan sekolah saja. Eka sangat hemat dalam membelanjakan uangnya.

Liburan semester genap lalu, saldo yang dimiliki cukup banyak untuk anak seusianya. Kurang lebih sekitar dua juta lima ratus ribu rupiah. Hampir setiap menjelang tidur, Eka selalu memandangi sejumlah angka yang ada di buku tabungannya. Otaknya memikirkan sesuatu yang cukup berat. Ia ingin dapat membantu ibunya dengan jalan usaha. Tapi ia belum menemukan usaha yang tepat.

Sambut hari nan cerah, secerah hati yang sedang bungah. Kalender yang menggantung di dinding rumah juga sangat bersahabat. Karena hari itu tanggal merah. Sehingga mereka dapat liburan bersama. Pikir Yuni, paling dirinya dan Eka menghabiskan waktu liburnya hanya dengan menonton TV. Tapi Eka berpikiran lain. Ia sudah mempunyai rencana lain. Dirinya harus memanfaatkan liburan dengan sebaik mungkin. Mengisi waktu luang dengan sesuatu yang bermanfaat.

Melihat gerak gerik putranya yang tak biasa, Yuni merasa curiga. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan. Sebab selepas salat subuh hingga mentari bersinar, ia duduk di samping rumah. Dipandanginya halaman samping dan belakang rumah. Banyak ide berseliweran dalam kepala. Terutama tentang usaha yang akan dilakukan. Tiba-tiba keinginan beternak itu muncul begitu saja.

Kegundahan itu tergambar jelas. Berkali-kali Eka mondar mandir, sambil mengukur luas tanah yang ada. Ia ingin memanfaatkan tanah itu dengan beternak kambing dan ayam. Baginya hewan-hewan itu tak begitu susah untuk dikembangkan. Selain itu waktu yang dibutuhkan juga tidak begitu lama. Ia dapat menggunakan waktunya setelah sekolah untuk merawatnya.

Biasanya Eka mengisi liburan dengan berolah raga di lapangan. Akan tetapi hari itu ia benar-benar tak ada keinginan untuk berolah raga. Dua kali sang ibu memanggil-manggil dirinya. Lantas ia bergegas masuk rumah dan diajak untuk sarapan bareng. Usai makan pagi, Eka mulai membantu ibunya bersih-bersih rumah dan mencuci tas sekolahnya.

Semua isi tas itu dikeluarkan hingga bersih. Tak sengaja ia menemukan buku tabungan dan ATM dibalik saku tasnya. Perlahan buku rekening itu dibuka. Tertulis sederet angka saldo di buku rekeningnya. Hatinya semakin mantap untuk segera pergi dan melihat harga hewan ternaknya. Dengan segera ia menyelesaikan tugas rumah. Kemudian ia menyiapkan diri untuk segera berangkat. Kesendiriannya tak membuat dirinya minder.

Beberapa saat setelah itu, Eka berpamitan dengan ibunya. Dia hanya bilang akan jalan-jalan dan refreshing. Yuni selalu memberikan restu pada anaknya. Yang jelas hanya doa keselamatan dan kesuksesan yang dapat dipanjatkannya. Eka mencium tangan dan pipi ibunya. Ibu dan anak itu memang sangat akrab dan menyanyanginya.

Sebelah kanan jalan raya terpampang tulisan besar kantor bank. Eka tak mempunyai uang sedikitpun. Sebab ibunya juga tak memberi uang jajan. Bisa saja perkiraannya hanya bermain di dekat rumah. Padahal tujuan anaknya pergi ke pasar hewan. Melihat ada tempat menarik uang di ATM, Eka langsung memarkirkan sepedanya. Lalu ia menarik sejumlah lima puluh ribu saja. Uang itu hanya dipakai sebagai pegangan.

Lalu ia melanjutkan perjalanannya ke pasar hewan. Memang Eka adalah anak yang cukup cerdas dan madiri. Jadi sebelum memulai usahanya, ia mencari tahu hewan yang akan dipelihara. Ia amati kesibukan penjual dan pembeli. Semua informasi yang didapat, ia tulis dengan penuh semangat.

Rasa malu dan minder ia singkirkan jauh-jauh dari dirinya. Sehingga ia tak segan bertanya pada peternak yang sudah mahir. Berbagai pelajaran berharga telah tercatat dalam buku sakunya. Mulai dari cara beternak, pakan yang diberikan, kandang dan penanganan kesehariannya. Yang membuat dirinya makin tergiur, saat mendengar harga kambing atau ayam mahal.

Pertanyaan seputar hewan ternak, kini terjawab sudah. Hati Eka merasa lega setelah mendapat penjelasan dari Pak Seno. Penampilan juragan kambing itu memang sangat sederhana. Tapi dibalik itu semua, pak Seno merupakan peternak di kampung sebelah yang sukses. Hampir setiap bulan, dia dapat menjual hewan ternaknya sampai satu mobil pick-up. Pak Seno memberikan peluang pada Eka untuk bermain ke rumahnya. Tentu saja tawaran itu tak akan pernah, Eka sia-siakan. Bagi Eka, apa yang disampaikan pak Seno merupakan amanah yang luar biasa.

Informasi harga kambing dan ayam sudah ia kantongi. Tak mungkin bila keinginan ini ia kerjakan sendiri. Mau tak mau Eka harus melibatkan ibunya. Dia sangat yakin bahwa ibunya akan membantu sepenuhnya. Paling tidak ibunya akan berkontribusi membuatkan kandang, pikir Eka.

Tak terasa hari menjelang siang. Matahari mulai menyengat kulit. Cucuran keringat dan rasa haus tak dapat dihindari. Eka berjalan menuju tempat parkir. Ia rogoh selembar uang kertasnya dari saku celananya. Hanya itu uang uang yang dimilikinya. Lalu ia sodorkan pada petugas parkir. Kemudian ia berjalan mengambil sepeda satu-satunya yang dimiliki. Ia tuntun sepeda keakungannya hingga sampai di tepian jalan raya.

Akan tetapi sebelum ia kayuh sepedanya, tenggorokannya terasa sangat haus. Rasa haus itu membuat mulutnya seakan pahit dan kering. Keinginan meminum air atau es, mengalahkan keinginannya untuk segera sampai di rumah. Kemudian ia menepikan sepedanya dan membeli es terlebih dahulu. Tulisan Es cincau di pinggir jalan, telah menggoda hatinya. Eka langsung memesan, es dengan suara lirih. Dalam sekejap seplastik es cincau sudah ada di tangan. Karena penjual sudah membuat persiapan sebelumnya.

Menahan haus bukanlah perkara sepele. Mulut terasa kering, air liur pun tak ada yang dapat dikeluarkan. Enzim dalam lidah seakan macet tak berfungsi. Tegukan es cincau telah mengusir dahaganya. Eka nampak segar kembali. Dua lembar uang ribuan ia berikan pada penjual es. Kemudian ia berlalu dan mengambil sepedanya di bawah pohon keresen.

Ayunan kaki disetiap kayuhan sepedanya lejitkan angannya. Dalam benaknya terpatri usaha ternak yang akan dijalaninya. Eka berpikir mulai dari pembuatan kandang, pakan, hewan dan pendanaan. Tentu saja akan semakin repot, bila ia pikir sendiri. Eka teringat nasihat ibuya bahwa, ia harus menjadi anak yang mandiri. Tak hanya itu tapi juga harus berpegang teguh pada ajaran agama.

Angin sepoi berhembus dari arah berlawanan, membuat ia keluarkan tenaga ekstra. Ia seakan tersapu oleh hempasan kendaraan besar yang lewat. Lamunan sirna tanpa kata. Ia seperti terbangun dari tidurnya. Sehingga apa yang diimpikan, menjadikan sebuah kenyataan. Jalan terjal menuju tempat penyeberangan terhampar luas. Hijau ranum penghijauan disepanjang jalan kecil. Rerumputan pun ikut menghiasi suasana pinggiran sungai itu. Membuat suasana kian sunyi.

Hanya dalam lima menit saja perahu telah penuh berisi penumpang. Eka menuntun sepedanya masuk ke dalam perahu. Begitu juga dengan penumpang lainnya. Suara mesin motor perahu mulai dijalankan. Laju transportasi air itu tak sekencang perahu besar di laut. Cukup sepuluh menit saja sudah sampai di tepian.

Dua puluh menit telah berlalu. Meski perjalanan cukup melelahkan, namun memberikan banyak pelajaran berharga. Eka pun sudah berada di depan pintu rumahnya. Tak ada siapapun yang menyambut kedatangannya. Sebab ibunya juga masih bekerja dan pulang sore. Ia lantas bergegas ganti baju dan makan.

£££

Rumah sederhana berukuran 7 x 7 m2 itu dikelilingi rumput liar. Pemandangan yang masih benar-benar alami memberikan suasana hati yang tenang. Eka menatap lahan kosong dan mengamati lingkungan sekitarnya. Halaman samping dan belakang yang telah diukur, ia beri tanda. Kemudian memetakan kandang ayam dan kambing yang tentu saja terpisah. Ia duduk sambil memikirkan cara membuat kandang.

Dari arah pintu seorang perempuan mengucapkan salam. Ia tidak lain adalah ibunya yang baru datang kerja. Yuni merasakan keanehan yang kedua kalinya. Putranya lagi-lagi berada di halaman samping rumah. Yuni lantas bertanya pada putranya, tentang keberadaan dirinya yang selalu di samping rumah. Padahal sebelumnya ia jarang sekali bermain atau aktivitas di tempat itu.

Awalnya Eka canggung mengutarakan keinginannya. Namun ide berbuat untuk lebih maju tak dapat ia bendung lagi. Akhirnya ia memberanikan diri menyampaikan isi hati yang terdalam. Ternyata apa yang dipikirkan Eka salah. Justru ibunya sangat setuju mendengar niat baik putranya. Yuni sangat mendukung pemikiran putranya yang selangkah lebih maju. Bahkan ia berprinsip akan selalu memberikan yang terbaik buat Eka.

Pikiran mengembara tanpa arah. Akan tetapi ia sadar bahwa lamunan indahnya akan berakhir bahagia. Sebab cinta yang besar akan menghasilkan karya yang luar biasa. Hati yang menggebu memikirkan cara untuk menjadi kreatif. Segala harapan tertuang dalam jiwa yang terdalam. Eka tak akan menyerah dengan segala rintangan.

Goresan pena telah memberikan gambaran kepastian. Ia mencorat corat di atas kertas. Semua biaya yang akan dikeluarkan dalam pembuatan kandang kandang ayam dan kambing. Tertera anggaran pembelian bahan, makan dan uang lelah tukang. Memang, Eka tidak meminta dibuatkan kandang yang bagus, tapi setidaknya layak untuk hewan ternaknya.

Catatan informasi penting, rapi dalam sebuah buku kecilnya. Mulai harga kambing jantan, betina, serta ayam denga berbagai pilihan. Semuanya sudah terangkum dalam catatan saat mengamati beberapa waktu lalu. Eka telah membuat rincian biaya dengan detail. Eka mencoba berasumsi bahwa, uang yang dimiliki cukup dipakai membeli. Memang Eka membeli kambing disaat yang tepat. Karena musim haji sudah berlalu. Jadi harga kambing turun drastis.

Sedangkan dari balik dalam kamarnya, ibunya juga mulai menafsir biaya pembuatan kandang. Ia coba tulis bahan dan keperluan yang dibutuhkan. Uang simpanan yang dikumpulkan setiap habis gajian dihitungnya kembali. Selama bekerja, Yuni selalu menyisihkan sedikit dari penghasilannya. Walaupun upah yang didapatkan tidak banyak, tapi ia berusaha untuk dapat cukup dan menabungnya. Kesehariannya mereka hanya makan makanan seadanya saja. Mereka berusaha untuk selalu berhemat. Yuni hanya menggunakan uangnya untuk kebutuhan yang penting-penting saja.

Tanpa sepengetahuan Eka, Yuni membuka kotak kayu yang disembunyikanya. Selama ini ia menyimpan uangnya dalam kotak. Dan ditaruh dalam laci almari paling bawah. Kemudian ia cek, jumlah uang yang dimilikinya. Ia rasa cukup, jika hanya untuk biaya kandang.

Malam penuh khayalan, angan terbawa angin dan berlalu. Suasana hening dan sunyi, telah berganti menjadi pagi yang cerah berselimut kepastian. Setelah Eka berpamitan pergi ke sekolah, Yuni mendatangi tetangganya yang berprofesi sebagai tukang kayu di desanya. Lalu menyampaikan keinginan putranya. Setelah saling memahami, Yuni menyerahkan beberapa lembar uang kertas. Nardi yang sebagai tukang kayu itu menerima uang yang disodorkan Yuni.

Tanpa banyak pertimbangan lagi, Yuni meminta segera membelanjakan bahan dan keperluan pembuatan kandang. Nardi menyempatkan waktunya yang hanya sehari diminta bantuan tetangganya. Ia tak enak hati akan menolak. Sebab, tak mungkin Yuni dapat melakukan sendiri. Akhirnya Nardi membantu Yuni dengan sepenuh hati. Ia belanjakan uang itu.

Tak seberapa lama kemudian, semua bahan dan alat tersedia. Pak tukang mengerjakannya dengan cekatan. Maklum hanya kandang sederhana, jadi tidak membutuhkan waktu lama. Rupanya Eka tak dikasih tahu oleh ibunya. Semua yang ia perbuat dianggap sebagai hadiah terindah. Tekad putranya memang sangat kuat untuk berwirausaha. Jadi tak heran bila Yuni mendukung keinginan Eka.

Beberapa jam telah berlalu. Kandang ayam dan kambing, sederhana itu telah siap digunakan. Wajah Yuni terlihat senang dan ceria sekali. Berkali-kali ia ucapkan terima kasih pada tetangganya itu. Sebab sudah mau meluangkan waktunya dan bersedia membantu. Sebelum pak tukang meninggalkan kandang buatannya, Yuni menyodorkan sebuah amplop putih. Ia sudah menyiapkan jasa pembuatan kandang sebelumnya. Hanya sebatas memberikan uang lelah saja.

Semua yang dilakukannya, tak lain ingin mewujudkan impian putranya. Ia ingin segera memperlihatkan kandang barunya. Hingga tak sabar menunggu kedatangan putranya dari sekolah. Yuni mondar mandir di halaman samping dan belakang rumah. Dipandanginya kandang itu, sembari melengkapi kekurangannya. Ia baru sadar, bila di luar gelap saat malam tiba. Lagipula dingin, sehingga kandang itu membutuhkan lampu yang cukup. Baik untuk penerangan maupun penghangat.

Saat yang dinanti pun telah tiba. Dari halaman rumah terlihat seorang anak laki-laki berseragam pramuka. Yuni berharap yang datang adalah putranya. Sebab tetangga sebelah juga banyak bersekolah di tempat yang sama dengan putranya. Apalagi Reno, rumahnya berhadap-hadapan persis dengannya. Mulai dari SD sampai sekarang Reno selalu satu kelas dengan Eka. Tak heran bila Yuni memastikan akan kedatangan putranya.

Kegembiraannya tak dapat ia sembunyikan. Pandangan matanya berbinar sambil melontar senyum pada putranya. Sebaliknya dengan Eka. Ia membalas senyum ibunya dengan keherananan. Tak biasanya Eka disambut dengan senyuman hangat. Sebab saat pulang sekolah ia tak pernah ketemu ibunya. Maklum hari-harinya disibukan oleh pekerjaan di pabrik.

Yuni menggandeng Eka dan mengajaknya ke halaman samping rumah. Berjajar kandang ayam yang diimpikan telah berada di depan mata. Kemudian ia berjalan ke halaman belakang. Eka serasa tak percaya, dengan apa yang dilihatnya. Sebab sebelum berangkat ke sekolah semuanya belum ada. Dalam hatinya ia sangat menganggumi ibunya. Walaupun dia hanya seorang diri dalam mengasuh dirinya, namun ia dapat mewujudkan keinginan putranya.

Ternyata ibunya serius memberikan dukungan padanya. Hanya ucapan syukur Alhamdulillah yang tak henti-hentinya ia ucapkan. Berkali-kali ucapan terima kasih juga ia sampaikan pada ibunya. Kandang dan segala kebutuhan sudah tersedia. Tinggal hewan ternak saja yang belum ada.

Semangat berwirausaha kian mantap dan kuat. Eka bersama ibunya menghitung pengeluaran yang akan dipakai membeli hewan ternak. Eka menyadari bahwa uang sumbangan dari pemerintah, akan digunakan dengan sebaik-baiknya. Harapannya dengan berternak uang itu akan menjadi berkembang.

Menunggu kedatangan hari Minggu serasa melelahkan. Sebab masih dua hari lagi. Jum’at siang Eka dijemput oleh ibunya di sekolah. Sebab sepulang sekolah, Yuni akan menemani putranya pergi ke bank. Mendampingi putranya mengambil uang tabungannya. Semua yang dilakukan diniatkan untuk ibadah.

Dari luar pintu gerbang sekolah, suara bel empat kali terdengar jelas. Satu per satu anak laki-laki ia lihat dengan saksama. Jangan sampai tak menemukan putranya. Eka bersama dengan beberapa siswa lainnya, menuntun sepeda dari tempat parkir. Sekelebat ia melihat ibunya yang sedang duduk di depan gerbang sekolah.

Tanpa sengaja ia mengagetkan ibunya. Tiba-tiba saja tangan Eka menepuk punggung ibunya. Yuni langsung berbalik arah. Wajah ceria penuh senyum telah berada dihadapannya. Melihat putranya yang iseng ia pun tersenyum. Yuni malah terlihat bahagia sekali.

Keduanya langsung naik sepeda onthel, hingga ke kantor bank yang ada di kecamatan. Lumayan jauh perjalanan yang ditempuhnya. Ya, sekitar tiga puluh kilo meter pulang pergi. Belum lagi harus menyeberani sungai, yang penuh sesak penumpang lainnya.

Sesampainya di depan kantor bank, hanya mereka yang memakai sepeda onthel. Nasabah lainnya menggunakan sepeda motor. Bahkan ada beberapa yang mengendarai mobil. Keadaan tidak membuatnya tergoda untuk memiliki sesuatu yang bukan miliknya.

Petugas keamanan membukakan pintu untuk nasabah yang lalu lalang. Ibu dan anak itu, begitu masuk hanyalah duduk terdiam. Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan. Maklum sajalah, mereka baru pertama menarik uang menggunakan buku tabungan. Mereka mengira bahwa, hanya dengan menunggu saja, akan dipanggil oleh petugas yang berjajar di belakang meja tinggi itu.

Untung saja, ada seseorang yang duduk di sampinya dan berbaik hati. Kemudian ia memberikan saran cara mengambil uang tunai di buku tabungan. Sebab mereka terlihat kebingungan sejak mulai masuk. Selama ini Eka hanya tahu cara menggunakan kartu ATM saja. Sedangkan ibunya tak mau diambilkan uang melalui mesin ATM.

Perempuan itu sangat peduli pada mereka. Lantas membimbingnya hingga paham. Selembar blanko penarikan tunai disodorkan pada Yuni. Sementara Eka membaca isi blangko tersebut. Kemudian Eka mengisi blangko tersebut dengan lengkap. Mulai dari pengisian nomor rekening, nama, jumlah uang yang diambil dan tanda tangan. Setelah pengisian selesai, mereka duduk kembali menunggu giliran dipanggil.

Kesabaran mereka pun diuji. Para nasabah duduk antre di depan petugas bank nan cantik. Sesaat setelah terdengar nomor antreannya dipanggil, Eka menyodorkan blangko pada petugas. Sebelum mendapat giliran, Yuni dan Eka memperhatikan pegawai bank melayani nasabahnya. Maka tak ada kendala dalam ambil uang di kasir. Layaknya nasabah yang lain, Eka juga menghitung uang yang dipeganginya. Sang ibu memandangi putranya dengan haru, bangga dan senang.

Keduanya saling berpandangan dan tersenyum. Sebenarnya mereka masih kerasan di ruangan itu. Ruangan penuh dengan udara yang sejuk dan dingin. Tapi bagaimana lagi, mereka harus segera keluar. Karena apa yang diinginkan sudah diterimanya. Mereka harus keluar ruangan dan pulang. Uang yang diambil Eka semuanya diserahkan pada ibunya.

Sepeda sederhana itu mereka kayuh dengan santainya. Mereka saling bercerita dan bercengkrama. Yuni memang pintar menghibur anak semata wayangnya. Di tengah perjalananya, mengajak putranya untuk berhenti dan beristirahat. Kebetulan di tempat itu, juga ada penjual bakso dan es degan. Sehingga dapat mengurangi rasa lapar dan dahaga mereka. Memang hanya makanan sekedarnya, tapi Eka dan ibunya sangat mensyukurinya.

Setelah dirasa cukup, mereka melanjutkan perjalananya kembali. Sekitar dua puluh menit kemudian sampailah mereka di rumah. Kegembiraan itu sangat terlihat di wajah mereka. Eka langsung menuju ke kandang yang masih kosong itu. Rupanya Rendi telah menunggu kedatangan Eka dari bank. Ia pun tertaring ingin membuat kandang dan berternak.

Kedua anak itu saling bertukar pendapat. Mereka membicarakan seputar cara bertenak. Namun keduanya dangkal akan pengetahuan tersebut. Hanya kadangkala saja Eka membaca buku di perpustakaan sekolah tentang berternak. Karena keduanya tak dapat mengetahui jawabannya, akhirnya satu-satunya jalan dengan membuka ponsel. Kemudian browsing dan berbagai informasi tentang beternak telah tersedia. Banyak pengetahuan dan pengalaman yang didapatinya.

Keesokan harinya, mereka masih berkutat dan membahas tentang cara berternak. Eka semakin termotivasi dengan apa yang dikhawatirkan temannya. Tapi hatinya telah mantap untuk memulai berwirausaha. Tujuan Eka sangat mulia. Selain uang itu bermanfaat, ia belajar dari pengalaman. Kemandirian, kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawan akan terbentuk dengan sendirinya.

Perputaran waktu serasa lama sekali. Jarum jam seakan tak berputar. Sehari bagaikan setahun lamanya. Eka sudah tak sabar lagi menunggu datangnya hari Minggu. Ia ingin segera membeli ayam dan kambing. Tak mungkin, bila dirinya harus izin tidak masuk sekolah. Apalagi tujuannya hanya pergi ke pasar hewan saja. Sebab ia sudah kelas sembilan. Waktu yang dimilikinya juga cukup sempit. Sehingga harus dapat menggunakan waktu sebaik mungkin.

Penantian yang tiada sia-sia. Suara azan subuh telah membangunkan dirinya. Seperti biasa Eka bersama ibunya selalu ke musala. Mereka lebih suka salat berjama’ah, sembari olah raga. Lagipula dapat komunikasi dengan para tetangga dan teman di sekitar. Kehidupan di desa memang lebih nyaman. Suasana alam yang sejuk dan segar membuat badan semakin sehat. Jauh dari kebisingan kendaraan dan polusi.

Sepulang dari musala, Yuni berbincang-bincang dengan ustazah Farida. Ia bertanya tentang pengalaman mendidik anak dengan baik. Ustazah Farida menjelaskan dari berbagai sudut pandang. Agar apa yang disampaikan dapat dipahaminya. Yuni kian mengerti dan bersabar atas cobaan yang diberikan Allah padanya. Pencerahan itu telah menyadarkan dirinya. Ia semakin akung pada putra satu-satunya itu.

Sesampainya di rumah, Eka dan ibunya langsung menuju dapur. Mereka membuat masakan untuk hari minggu. Kekompakan mereka perlu mendapat acungan dua jempol. Mereka hanya ingin, pekerjaan dapur akan segera selesai. Ia membantu ibunya yang lagi masak sayur, membuat lauk, menggoreng sambal serta menanak nasi. Komunikasi antara ibu dan anak terjalin dengan baik. Eka sangat santun pada ibunya. Ia tak pernah membantah dan bertindak yang membuat ibunya sedih.

Mentari mulai memancarkan sinarnya. Langit membiru di jagat semesta. Kicauan burung bersahutan di atas pepohonan. Harapan yang tersirat ingin segera tergapai. Minggu penuh penantian, akan memberikan kisah baru dalam kehidupan Yuni bersama anaknya. Yuni memboncengkan Eka dengan menggunakan sepeda motor yang dimiliknya. Sesampainya di tempat penyeberangan sungai, Yuni menitipkan motornya terlebih dahulu. Ia tak mau ribet dan beresiko saat berada di pasar hewan.

Bersama dengan penumpang perahu lainnya, Yuni dan Eka menunggu kendaraan umum. Apapun kondisinya mereka selalu bersyukur. Sebab kebahagiaan itu tak ternilai dan tak terukur. Belum tentu mereka yang hidup bergelimang harta, sebahagia Yuni dan Eka. Senyuman di wajah keduanya, terlihat ikhlas, ramah dan santun. Jadi tak heran bila Yuni dan Eka sangat kompak dalam segala hal. Selain itu mereka juga saling menyayangi.

Ketika berada di kendaraan Yuni asyik ngobrol dengan penumpang lainnya. Sebagian besar mereka penjual jajanan di pasar. Begitu juga dengan Eka, sesekali ia menimpali ibunya. Gelak tawa menambah ramainya kendaraan yang ditumpangi. Saking asyiknya sampai lupa kalau harus turun.

£££

Riuh suara hewan, penjual dan pembeli mewarnai pasar itu. Para penjual kambing sangat antusias dan sibuk menawarkan dagangannya. Mulai dari harga paling rendah sampai sangat mahal. Berbagai tipe kambing tersedia. Maklum saja mereka membelinya di pasar hewan di kecamatannya. Sehingga tinggal menyesuaikan uang yang dimilikinya.

Sedangkan Yuni dan Eka masih melihat-lihat kambing yang akan dibeli. Eka mencari kambing betina yang masih muda. Kalau ada yang sedang hamil. Rencananya akan membeli dua ekor. Kemudian empat ekor ayam betina dan satu ekor ayam jago.

Cukup melelahkan memang, harus memilih dan milih satu persatu. Meski demikian Eka kian mantap, bila dirinya ingin berternak. Sampai pada akhirnya, mereka menemukan kambing yang diharapkan. Setelah tawar menawar, mereka menyepakati harga yang telah menjadi ketentuan.

Rasa syukur yang tiada tara selalu ia ucapkan. Yuni tidak ikut memilih kambing. Ia justru pergi ke penjual ayam. Kemudian memilih ayam-ayam seperti yang diinginkan putranya. Lima ekor ayam telah ia dapat, bersamaan dengan kambing yang dibeli Eka. Hewan yang akan dipelihara sudah didapat.

Eka berusaha mencari kendaraan yang akan dipakai mengangkut. Ia mondar mandir dan bertanya pada orang penyedia jasa angkut barang. Beberapa kali ia menawar ongkos yang akan dibayarkannya. Akhirnya ia mendapatkan kendaraan bermotor roda tiga. Harga yang di patok juga tidak terlalu mahal. Sehingga Eka tak keberatan untuk membayarnya.

Setelah mereka sepakat, semua hewan yang dibeli dimasukkan ke atas gerobak itu. Tak ketinggalan pula Yuni dan Eka. Mereka turut naik dalam satu gerobak. Kambing dan ayam itu dipandangi dan dielus sampai rumah. Ia begitu akung dan senang dengan hewan yang telah dibelinya.

Setibanya di rumah, hewan-hewan itu dimasukkan kandang. Pakan dan minumnya sudah disiapkan sebelumnya. Ayam-ayam itu terlihat langsung dapat beradaptasi dengan tempat yang baru. Begitu juga dengan kambing, yang berada di halaman belakang rumah. Begitu lahapnya makan rumput yang berada dalam tempat pakan.

Eka dan ibunya makin semangat dalam menjalani hari-harinya. Setiap habis sekolah Eka selalu mencari rumput. Ia membuat persiapan untuk beberapa hari. Semua itu ia lakukan bila tiba-tiba saja hujan datang. Sehingga kambing yang dipeliharanya tak kelaparan.

Sedangkan ayam-ayam yang dipeliharanya, diberi pakan bekatul. Kadang-kadang juga diberi biji jagung atau konsentrat. Susahnya akses jalan, membuat ayam-ayam itu hanya diberi makanan yang ada di sekitarnya. Untuk membeli pakan konsentrat, Eka harus pergi ke kota. Di desanya tak tersedia.

Hanya dalam beberapa bulan saja kambing-kambing itu sudah melahirkan. Eka makin sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan ayam-ayamnya juga semakin bertambah. Usahanya kini mulai berkembang. Induk ayam betina yang dimiliki kini berjumlah tujuh dan jantan sejumlah lima ekor.

Kegiatan Eka selepas sekolah hanyalah berkutat pada hewan ternaknya. Sampai lupa bermain dengan tetangganya. Tak jarang Rendi dan Yogi membantu temannya yang sedang merumput. Sebab setelah itu mereka bisa mandi bareng di Sungai Bengawan Solo. Apalagi ada kegiatan yang mengasyikan. Kebiasaan mandi sambil balapan renang.

Sungai yang membentang dan luas itu, dipakai sebagai sarana untuk menyalurkan hobinya. Kebiasaan yang tak dapat mereka tinggalkan, yaitu berenang. Mereka ini anak-anak luar biasa. Kemampuan berenang yang dimilikinya tentu sangat tangguh. Sebab sejak masih anak-anak mereka sudah mandi di sungai. Tentu saja tak hanya mandi yang dilakukannya. Bisa bermain, renang dan mengikuti arus air. Padahal arus air saat banjir sangat deras. Tapi semua itu telah biasanya baginya.

Tak heran bila Eka bersama kedua temannya jago berenang. Beberapa kali mereka memenangkan perlombaan renang tingkat kabupaten. Memang sarana yang digunakan berlatih tidak memadai. Tapi tak mengurangi minat dan keinginan untuk dapat berprestasi. Mereka telah membuktikan bahwa apa yang diperoleh adalah hasil dari ketekunannya. Selain itu mereka juga taat beribadah.

Selain mereka handal berenang, mereka juga selalu menjuarai lomba atletik. Tepian sungai nan luas, mereka manfaatkan sebaik mungkin. Tak hanya sebagai tempat merumput saja. Akan tetapi juga digunakakan sebagai tempat berlatih olahraga. Ditambah dengan terpaan angin sungai kian terasa. Sehingga menjadikan pemacu semangat dalam berlatih. Meskipun mereka anak-anak desa namun kemampuan non akademiknya dapat di andalkan. Mereka adalah para jawara yang selalu siap untuk bertanding. Dalam setahun mereka mengusung cukup banyak tropi kejuaraan.

Akhir-akhir ini ketiga siswa ini, telah berkiprah pada pertandingan tingkat propinsi. Walaupun hanya mendapat juara harapan, mereka selalu kompak. Tak hanya itu semangat berlatih makin kuat. Sebab apa yang diperoleh belumlah seberapa. Jadi mereka berharap akan mendapat hasil yang terbaik.

Jejak yang mereka lakukan, kini mulai ditularkan pada adik-adiknya. Kemandiriannya memberikan inspirasi bagi adik kelasnya. Ada beberapa siswa yang selalu ikut berlatih kakak kelasnya. Mereka ingin seperti kakak kelasnya. Selalu menjuarai di arena perlombaan olahraga. Baik di daerah maupun wilayah. Mereka berlatih tak harus ada pendampingan dari pembina. Bahkan ketiga siswa itu mampu membimbing para adik kelasnya. Dua kali Niken menyabet juara bidang atletik di tingkat kabupaten.

Mereka sudah mulai paham memilih adik kelasnya untuk dibina. Bakat mereka yang terpendam benar-benar disalurkan pada kegiatan yang tepat. Meski Eka bersama teman-temannya mampu membimbing, tapi ia tetap membutuhkan seorang guru. Guru yang dapat selalu memotivasi dan membinanya.

Kondisi daerah ataupun ekonomi bukan menjadi suatu penghalang. Justru keberhasilan yang dimulai dari nol, menjadikan sebuah kebanggaan tersendiri. Sebab mereka dapat mewujudkan impian dan harapan besarnya. Bisa jadi prestasi dan talenta itu akan berubah menjadi sebuah profesi yang jarang orang miliki. Sehingga ilmu yang dimilikinya akan selalu bermanfaat.

£££

Tak salah bila ada pepatah mengatakan, “Siapa yang menanam pasti akan menuai hasil.” Jerih payah Eka bersama ibunya selama berbulan-bulan mulai terlihat. Waktu yang dinanti pun telah tiba. Ayam yang dipeliharanya mulai bertelur. Tiap satu ekor ayam betina dapat bertelur sampai lima belas butir. Ya, cukup banyak juga telur yang akan ditetaskan. Padahal keempat ayamnya bertelur.

Kesibukan Eka kian bertambah. Penantian yang tak pernah sia-sia. Telur-telur kehidupan, kini berubah menjadi ayam kecil dan sehat. Proses penetasan berjalan dengan sukses. Yuni dan Eka menyiapkan tempat setelah menetas. Ayam-ayam kecil itu ditaruh dalam wadah. Ia pisahkan antara anak ayam satu dengan lainnya. Kemudian dimasukka ke dalam kandang yang telah diberi lampu sebagai penghangat.

Hewan ternak yang dimiliki Eka kini bertambah jumlahnya. Ada puluhan jumlah ayam dan kambing bertambah dua ekor. Kesempatan menuai hasil telah berada di depan mata. Yuni dan putranya tak harus bersusah payah untuk menjual ayam dan kambingnya. Seminggu sekali pembeli ayam kampung berkeliaran. Jadi Yuni dan Eka tidak harus menjualnya di pasar hewan. Walaupun ada sedikit perbedaan masalah harga. Tentu saja tak membuatnya rugi.

Pundi-pundi keuangan yang dimiliki Eka mulai bertambah. Ia selalu berharap apa yang telah dilakukannya dapat memberikan banyak manfaat. Bila anak-anak Indonesia mau melakukan seperti Eka, tentu saja kenakalan tidak akan terjadi. Jiwa sportif dan berwirausaha terbentuk dan tertanam dengan berjalannya waktu.

Kasih akung dan cinta telah menjadikan dirinya peduli. Membukakan mata hati dan pikiran untuk selalu berbuat. Anak-anak yang dianggap tidak mampu bukan berarti mereka tidak bisa dan tertinggal. Akan tetapi mereka belum menemukan potensi yang ada dalam dirinya. Keterbatasan bukanlah hal yang layak digunakan sebagai alasan. Akan tetapi jadikan keterbatasa adalah modal untuk menggapai kesuksesan.

Prestasi tak dapat diraih dengan berpangku tangan saja. Tapi harus berpikir, bertindak dan melakukannya. Segalanya yang ada di dunia ini tak ada yang mustahil. Semua tantangan itu akan terjawab dengan sendirinya. Apabila kita mau menggali kemampuan yang kita miliki. Percayalah bahwa apa yang telah Allah berikan pada kita adalah yang terbaik bagi-Nya. Syukuri segala pemberian-Nya, tanpa ada cela sedikitpun dalam sanubari terdalam.

Segala yang kita peroleh mempunyai guna yang berbeda. Menganggap diri orang lain rendah, merupakan perbuatan yang sangat hina. Justru dengan diam dan melakukan itu adalah hal terbaik. Tanpa harus memamerkan apa yang sebaiknya kita lakukan. Tak ada hasil terbaik kecuali karya yang kita hasilkan menjadi sesuatu yang bermanfaat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post