Rini Marina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
DI BATAS KERINDUAN

DI BATAS KERINDUAN

DI BATAS KERINDUAN

Jalan hidup manusia tak dapat kita tebak. Segalanya telah menjadi ketentuan-Nya. Bagai air sungai yang mengalir. Menyusuri bebatuan, kadang sulit diketahui kedalamannya. Rela membawa sampah dan apapun yang ada. Hanyut dan larut terus. Tanpa pernah tahu kapan berakhir.

Tanpa disadari sampah itu hanyut dan terus hanyut. Hingga bermuara di laut. Tak peduli akan derasnya air serta terjangan ombak yang menimpa. Maka seperti itulah pasang surut kehidupan manusia. Tak memedulikan apa yang terjadi, hidup untuk masa depan. Sedangkan masa lalu sebagai pembelajaran terbaik.

Apabila diberikan kelonggaran rizki dan kenikmatan, banyak yang melalaikan. Akan tetapi disaat kesengsaraan melanda, mereka baru menyadarinya. Bahkan ada sebagian, yang semakin menjauhi-Nya. Mereka lupa bahwa hanya Dia lah Sang maha pemberi kehidupan.

Kabut berselimut rindu. Menerpa disetiap relung sanubari manusia. Lika liku kehidupan berkeluarga, setiap orang pasti berbeda. Keharmonisan dalam berumah tangga tentu dambaan semua pasangan. Layaknya bahtera rumah tangga yang dialami Hadi dan Sumi.

Pernikahan Hadi dan Sumi telah memasuki tahun ke enam. Mereka dikaruniai seorang putri. Mira nama anak semata wayang itu. Gadis mungil nan lucu itu kini berusia empat tahun. Pekerjaan Hadi sebagai sopir truk, membuatnya harus sering meninggalkan keluarga. Ia harus mengirim barang ke luar daerah. Bahkan sampai ke luar jawa.

Sedangkan Sumi hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Namun disela kesibukannya ia juga membantu perekonomian keluarga. Sumi berusaha mencari tambahan penghasilan. Ia sering diminta membantu tetangganya yang membutuhkan jasanya. Pekerjaan itu ia kerjakan dari rumah ke rumah. Tak ketinggalan pula, Mira selalu diajak ke mana-mana. Sehingga selalu dalam pengawasannya.

Sumi telah terbiasa kerja keras. Ia tidak gengsi melakukan pekerjaan yang dianggap rendahan. Semua itu diterimanya dengan penuh keihlasan. Ia tak pernah megeluh dengan kehidupan yang dijalaninya. Justru ia selalu bersyukur dan terlihat ceria. Itulah yang membuat dirinya makin tegar. Berapapun penghasilan suaminya ia terima dengan senang hati.

Maklum saja Hadi hanya ada waktu pulang seminggu sekali. Jarak dan kesibukan pekerjaan, membuat ia susah berkumpul dengan keluarga. Waktu yang hanya singkat mereka gunakan sebaik-baiknya. Sehingga Sumi memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya. Sehingga Sumi tak bekerja. Ia memilih menemani suaminya hingga kembali.

Waktu berlalu begitu cepat. Kehadiran Hadi selalu disambut hangat oleh keluarga kecilnya. Akan tetapi pada tiga bulan terakhir ini, Hadi terlihat kurang sehat. Lalu Sumi meminta suaminya periksa ke dokter. Tapi sayangnya saran itu selalu ia tolak. Tanpa mengenal lelah, Sumi tetap dampingi suaminya dengan penuh perhatian.

Menjelang fajar, Sumi melihat kondisi suaminya drop. Lalu ia membawanya ke klinik terdekat. Ia pun panik melihat keadaan suaminya yang lemas dan diam. Setelah mendapat perawatan, seorang lelaki berbaju putih menghampirinya. Lalu Ia mempersilakan duduk. Wajah dokter terlihat sangat serius. Sumi duduk dihadapan dokter dengan perasaan tak menentu.

“Lelaki yang ibu antar ini siapa bu?” Tanya dokter dengan penuh penasaran

“Dia... dia... suami saya dok. Apa yang terjadi dok?” Sumi berusaha mengetahui kondisi suaminya.

“Suami ibu pekerjaanya apa dan di mana bu?

“Kerjanya jauh dok. Dia sering kirim barang ke luar daerah, bahkan sampai ke luar Jawa. Dia hanyalah seorang sopir truk.” Penjelasan atas kepanikannya pada dokter.

Dokter pun menganggukan kepala sambil memandang ke luar ruangan. Lantas ia berkata, “Sebenarnya sakitnya suami ibu ini sudah lama. Tapi baru diketahui sekarang. Saat kekebalan tubuhnya kuat, ia seperti biasa saja. Begitu kondisinya kurang bagus, ia langsung melemah.” Jelas dokter pada Sumi.

“Lalu suami saya sakit apa ya dok.” Tanya Sumi dengan penuh kehati-hatian.

“Menurut hasil pemeriksaan, suami ibu menderita HIV/AIDS. Untuk mengetahui keakuratannya, silahkan ibu antar cek lab saja.” Saran dokter pada Sumi.

“Iya dok, terima kasih atas penjelasan dan sarannya.”

“Aku pun tak mampu berkata-kata lagi. Lidah terasa kelu dan membisu. Bagai petir menyambar di siang bolong. Rasanya tak mampu untuk berdiri dan melangkah. Tulang-tulang mendadak lemas. Kaki pun sulit untuk digerakan.

Rasanya aku tak percaya dengan apa yang telah dikatakan dokter. Hatiku selalu menolak. Benarkah suamiku mengidap virus mematikan? Kenapa dia tega mengkhianatiku?”

Ya... Allah kenapa begitu berat cobaan ini. Hamba-Mu tak kuasa untuk meninggalkannya. Tapi hati ini tak mampu menerimanya. Keringat bercucuran menahan sakit dan derita. Bagaimana mungkin aku akan meluapkan kemarahan ini. Melihat dia terbaring lemas di atas kasur klinik. Lagi pula dia satu-satunya orang yang aku kasihi. Apalagi dia ayah dari anakku tercinta.

Pikiranku tak karuan, hati gelisah penuh kebingungan. Tak terasa air mata berlinang dan tak terbendung lagi. Kecamuk kekecewaan membuat diri bimbang untuk melangkah. Goresan pena kehidupan, telah tertuliskan dalam suratan tangan manusia. Rahasia hidup manusia tak mampu menyibak dan mengelak. Inilah takdir yang harus aku jalani.

Badai kehidupan mulai melanda kehidupan kami. Hanya ihtiar dan kepasrahan yang dapat aku perbuat. Fatamorgana cinta dan kerinduan, bagai dusta berselimut kebahagiaan. Ada tapi seakan tiada. Hilang bersama alunan waktu. Tak teraih dan tak tersentuh. Terlihat namun tak bermakna. Kepalsuan telah menutupi kebenaran hatinya. Sungguh aku tak lagi dapat mempercayai suamiku.

Meski mata terpejam, namun hati tetap terjaga. Sulit rasanya untuk mempercayainya kembali. Raga tetaplah raga, yang harus merawatnya hingga akhir. Namun hati tak dapat dibohongi. Kebencian berbaur kekecewaan telah mengubur sanubariku. Apapun takdir yang telah digariskan, aku harus tetap jalani dengan ihlas.

Seminggu bukanlah waktu yang singkat menungguinya di klinik. Pengorbanan tenaga, waktu, pikiran serta biaya segalanya tak sia-sia. Ingin rasanya aku pergi dan meninggalkannya. Tapi hati ini tetap iba melihat kondisinya. Apa boleh buat, aku pun harus terjaga merawat hingga sehat.”

Detik-detik penantian keluar dari klinik telah usai. Laki-laki paruh baya memberikan secarik kertas dan diberikan pada Sumi. Langkah kaki tak bertenaga, menuju ruang administrasi. Semua urusan ia selesaikan sendiri. Ruang perawatan yang ditempati suaminya telah dirapikan. Sumi ingin segera meninggalkan tempat itu.

Di luar klinik kendaraan dengan jasa sewa menanti. Sumi telah memesan terlebih dahulu. Tak seberapa lama, ia mengajak suaminya masuk mobil dan pulang. Selama perjalanan Sumi terdiam. Wajahnya menatap keluar jendela kaca mobil. Hati dan pikirannya bergolak. Ia berusaha menahan amarah yang luar biasa.

Sesampainya di rumah, Sumi tetap memendam rasa tak menentu. Ingin rasanya meluapkan kekesalannya, lagi-lagi ia tak kuasa. Ia tetap merawat dan menjaga suaminya. Kondisi Hadi pun mulai membaik. Ia sudah kuat berjalan dan melakukan hal-hal kecil sendiri.

Perubahan fisik yang dialami Hadi nampak sekali. Hanya saja ia pintar menutupi keadaan. Kulitnya kini mulai mengering dan susah berkeringat. Berat badannya hampir setiap bulan mengalami penurunan. Hadi tak pernah menunjukkan hal itu pada istrinya. Tentu saja hal itu akan membuat istrinya makin kecewa pada dirinya.

Saat malam menjelang, batuk-batuk kecil dan kering sulit dihentikan. Sumi sangat gusar dengan keadaan suaminya. Sebab ia tidak ingin putrinya tertular penyakit bapaknya. Sebenarnya Hadi sudah mengetahui penyakit yang diderita. Tapi ia selalu menutupi dari siapapun.

Penderita penyakit itu biasa dikenal dengan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Sebutan itulah yang membuat dirinya menjadi risih. Selain itu beban mental yang tak sanggup ia tanggung, bila masyarakat mengetahuinya. Ia merasa dirinya hina karena penyakit yang dialaminya. Sebab sudah tidak asing lagi, bila penyebab utamanya karena seks bebas.

Keinginan manusia tak selalu sama dengan harapan yang didapat. Berbagai rintangan telah usik kehidupannya. Melihat perubahan sikap pada dirinya Hadi merasa sangat bersalah pada istri dan anaknya. Berkali-kali ia meminta maaf, namun Sumi terasa enggan membuka pintu maafnya. Ia benar-benar merasa telah ditipu oleh suaminya.

Terpaan badai kehidupan silih berganti. Satu per satu masalah datang mengahampirinya. Diam-diam Hadi pergi meninggalkan anak dan istrinya. Dari hari ke hari Sumi menanti kedatangan suaminya. Tapi semua itu semu. Tiada kabar dan berita apapun dari suaminya.

Penyesalan atas sikapnya membuat dia tersadar. Permohonan maaf yang tulus tak pernah ia hiraukan. Kini Sumi harus sanggup menerima kenyataan. Bahwa ia akan jalani hari-harinya tanpa suami. Serta menanggung pembiayaan putri satu-satunya.

Sumi telah menetapkan hatinya. Ia sudah siap membuka lembaran baru bersama putri tercintanya. Pantang baginya meminta belas kasihan pada orang lain. Jauh dari rasa mengeluh, ia hanya bersandar pada kebesaran-Nya. Apapun yang diberikan Allah SWT, tentu hal terbaik baginya.

Keinginan hidup lebih baik merupakan motivasi terbesar dalam dirinya. Kebahagiaan itu tak dapat dibeli atau digantikan dengan apapun. Hanya hati yang bergetar yang dapat merasakannya. Meski raga tiada daya, namun jiwa akan tetap hidup. Bersama alunan nada kehidupan hingga nanti.

Satu-satunya kekayaan yang Sumi miliki saat ini hanyalah Mira. Gadis kecil dengan tingkahnya yang lucu. Apalagi bila melihat rambutnya yang ikal, dengan badan gendut membuat gemas orang yang melihatnya.

Kehidupan Sumi bersama putrinya berjalan dengan baik. Ia berusaha untuk selalu memahami Mira. Sehingga keinginan putrinya tidak terkekang. Kedekatan Sumi dengan putrinya terlihat sangat kompak. Walaupun tak ada sosok bapak yang mendampinginya. Semua itu tak membuat Sumi menjadi lemah. Justru semangatnya makin kuat, untuk membesarkan putrinya dengan baik.

Badai di lautan menghantam perahu yang sedang berlayar. Tanpa ada nahkoda yang kuat menggantikannya. Begitulah nasib Sumi saat ini. Ia harus jalani hidupnya hanya dengan Mira. Tanpa sandaran yang kuat, maka dirinya akan jatuh dan terperosok. Hingga sulit untuk keluar dari kubangan kenistaan.

Wajah Sumi sebenarnya tak kalah cantik dengan wanita lain. Kikisan waktu telah memudarkan kecantikannya yang alami. Kulitnya yang bersih, tubuhnya semampai kini sudah mulai kering dan kusam. Rambutnya yang hitam legam dan panjang, berangsur ditumbuhi uban. Sehingga sekarang ia lebih nyaman berkerudung.

Himpitan ekonomi membuatnya makin susah. Harga susu dan kebutuhan sembilan bahan pokok selalu naik. Sedangkan pendapatan yang didapat tetap. Sumi berpikir lebih keras lagi. Ia ingin memperbaiki kondisi ekonominya. Sehingga Sumi rela

Setiap Minggu Sumi menyisihkan sedikit dari penghasilannya. Selama dua tahun ini, ia tak pernah menguranginya. Uang tersebut rencananya akan dipakai untuk usaha. Tapi hingga kini baru terbesit untuk memulainya. Ia benar-benar sudah terpepet oleh keadaan. Sehingga ia memutuskan untuk berjualan kue dan nasi bungkus.

Sebelum memulai usaha barunya. Sumi menghitung dana yang telah ia kumpulkan. Ternyata cukup dipakai untuk modal awal. Namun ia tak akan menghabiskan semua. Hanya mengambil sesuai kebutuhan yang akan digunakan. Sehingga masih mempunyai cadangan keuangan.

Niat tulus itu ia wujudkan menjadi kenyataan. Selepas salat ashar, Sumi mulai belanja. Segala keperluan ia beli untuk persiapan besuk pagi. Ia begitu bersemangat sambut kegiatan barunya.

Setelah semua bahan tersedia, Sumi mulai menyiapkan bahan yang akan dimasak. Bahan dipilih sesuai dengan kebutuhannya. Setelah itu ada bahan yang sudah dipotong-potong, digoreng, dan diuleg. Beras yang akan dimasak pun telah ia takar. Agar saat bangun dan masak tidak terburu-buru. Melihat semua persiapan telah beres, Sumi berbaring dan istirahat.

Riuh suara ayam berkokok, membuatnya terbangun. Maklum saja di rumah tak ada alarm yang dimilikinya. Hanya suara alam yang menjadi pertanda baginya. Meski demikian Sumi tak pernah mengeluh. Segala yang terjadi, merupakan suratan takdir yang harus ia jalani.

Sebelum meninggalkan kamar, menuju dapur. Sejenak ia pandangi wajah putri kecilnya. Kening Mira yang tertutup rambut ia usap dan diciumnya dengan penuh cinta. Hanya kenangan yang tersisa. Bahkan cinta itu kembali mengusik kalbu. “Bagaimana aku bisa melupakan dia? Dia orang yang pernah memberikan kasih sayang serta cinta. Meski kini aku tiada tahu keberadaannya.”

Dua jam telah berlalu, masakan telah siap dihidangkan. Bahkan nasi juga sudah siap berada di atas meja. Tiap jenis olahan ia cicipi, Sumi hanya ingin memastikan saja. Ia berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Mengenai rasa, Sumi sudah tak kebingungan. Maklum sebelum menikah ia pernah bekerja di rumah makan.

Barang olahan yang telah matang, ia taruh di teras depan rumahnya. Ia hanya berjualan untuk keperluan sarapan saja. Pembelinya sebagian besar anak-anak sekolah dan pekerja. Sumi berusaha menghemat tenaga sedapat mungkin. Sebab Mira sangat membutuhkan kasih sayangnya.

Bulan pertama hingga bulan ke enam, semua berjalan dengan baik. Warung Sumi sangat ramai, dagangannya pun cepat habis. Bahkan sangat dikenal oleh masyarakat sekitar, hingga desa sebelah. Jenis masakan yang dibuat memiliki rasa yang khas. Selain itu juga banyak pilihan, bersih, dan murah. Ditambah lagi penjualnya sangat ramah.

Kepergian suaminya sungguh menyisakan duka. Mira dan dirinya akhir-akhir ini mulai mudah sakit. Sehingga warungnya juga sering tutup. Persendian tubuh serta tulang-tulangnya terasa sakit sekali. Terkadang sulit untuk digerakan saat bangun. Lain lagi dengan keadaan Mira yang sering batuk disaat malam hari. Sumi selalu teringat vonis dokter pada suaminya. Ia hanya berharap agar tidak ketularan virus dari suaminya.

Rasa sakit yang mendera tubuhnya kian tak tertahankan. Hingga keduanya pergi ke dokter untuk periksa kesehatannya. Pemeriksaan awal, dokter tidak mengatakan sakit yang serius. Seminggu setelah habis obatnya ia harus kembali berobat. Lantas dokter menyarankan untuk cek lab di Rumah Sakit Umum kota. Hati dan pikiran Sumi menjadi panik. Ia hanya takut tertular suaminya saja.

Ke esokan paginya, mereka pergi ke RSU sambil membawa kartu asuransi. Sumi bersama Mira adalah pasien pertama yang antre. Tak seberapa lama, mereka mendapat pelayanan dengan baik. Akhirnya apa yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Dokter juga memvonis dirinya dan Mira sebagai pengidap virus yang sama dengan Hadi.

Sebelum pulang Sumi singgah terlebih dahulu di musala. Ia berusaha menguatkan hatinya. Sembari menunggu salat zuhur, yang kurang beberapa menit lagi. Kumandang azan telah diperdengarkan. Sumi langsung mengambil wudhu dan memakai mukena. Kemudian ia salat sunat dua raka’at, dilanjut salat zuhur berjama’ah.

Selepas menjalankan rukun islam yang ke dua, Sumi duduk terdiam. Ia hanya menghela nafas panjang. Tatapan kedua bola matanya kosong. Pikirannya kalut mendengar penjelasan dokter yang telah memeriksanya. Hatinya luluh lantak dan tak kuat untuk beranjak dari teras musala.

Gerak gerik Sumi telah diperhatikan oleh seorang office boy (OB). Lalu ia berdiri dihadapannya dan mencoba untuk menyapanya. Sumi pun merespon semua pertanyaan OB. Cukup lama mereka ngobrol. Kebetulan OB itu mempunyai pengalaman tentang penanganan odha. Beberapa pasien yang sudah putus asa, ia sarankan untuk memakai herbal SRIAJI. Hingga akhirnya mereka sehat dan hidup normal.

Mendengar penjelasan OB itu, akhirnya Sumi memutuskan untuk berobat dengan herbal SRIAJI. Sumi sangat percaya dengan saran Toto. Setelah percakapan berakhir, Sumi berpamitan pulang. Ia sudah tak sabar dan ingin segera menemui pembuat SRIAJI. Motivasi keinginan sembuh sangat tinggi sekali. Ia tidak ingin bila penyakit yang derita diketahui tetangga sekitar. Apalagi sampai dikucilkan dari orang-orang yang dicintainya.

Selepas pulang dari kerja, Toto langsung menuju ke rumah Sumi. Ia mempertemukannya dengan pembuat herbal SRIAJI. Hanya sekitar tiga puluh menit mereka telah sampai. Tanpa basa basi lagi, Sumi menyampaikan keluhan serta perubahan fisik yang dialaminya. Setelah semuanya gamblang, mereka undur diri.

Sesaat setelah sampai di rumah, Sumi langsung merebusnya. Bungkus SRIAJI ia buka, lalu menakar rajangan herbal dengan 4 sendok makan. Setelah dimasukkan ke dalam panci, kemudian tambahkan air sebanyak 1,5 liter. Langkah selanjutnya rebus sampai mendidih. Bila sudah hangat dapat diminum dan dihabiskan dalam 24 jam. Mira juga meminumnya, tapi tidak sebanyak ibunya.

Sebenarnya tidak sulit pantangan makannya. Hanya susu dan saus yang perlu dihindari. Baginya hal itu mudah untuk dilakukan. Dari waktu ke waktu, perkembangannya sungguh di luar biasa. Berawal dari nafsu makan yang meningkat, BAB rutin, sesekali BAK serta mudah berkeringat. Keluhan pada persendian telah hilang begitu saja.

Tak terasa Sumi telah tujuh bulan mengkonsumsi SRIAJI. Ia tidak lagi mengeluh seperti sebelumnya. Kegiatan berjualan di pagi hari juga berjalan kembali. Sebab selama sakit, ia jarang buka. Kini tenaganya telah kembali seperti sediakala. Kekebalan tubuhnya setiap bulan meningkat dan akhirnya normal.

Kesembuhan yang ia peroleh, tentu saja berkat pertolongan Allah SWT. Sebab segala yang ada di atas bumi ini hanyalah sarana. Manusia hanya dapat berikhtiar dan pasrah atas apa yang telah dilakukannya. Kesabaran dan kebaikan perilakunya merupakan jembatan hidayah untuknya. Tiada kebahagiaan yang didapat tanpa adanya kerja keras serta doa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post