Rini Marina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SEMUA TERGANTUNG PADA NIAT

SEMUA TERGANTUNG PADA NIAT

SEMUA TERGANTUNG PADA NIAT

Senja di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Semilir angin menerpa wajah penuh kegelisahan. Terlihat jelas awan menggantung di angkasa. Siluet hitam pertanda akan turunnya hujan. Kicau burung bersahutan di atas pelepah pohon pisang. Gundukan tanah liat dan sekam berada dihadapannya. Tak perlu banyak tanya lagi. Lelaki remaja bernama Ozi, paham dengan apa yang harus diperbuat. Sebab kedua bahan tersebut, sumber penghidupan bagi keluarganya.

Meski usianya masih tergolong remaja, tapi pemikirannya jauh lebih dewasa. Keadaan telah membentuk kepribadiannya. Ia benar-benar anak yang mandiri, peduli, rajin dan dapat bertahan hidup. Kondisi apapun tak membuatnya mengeluh. Kemiskinan bukan penghalang baginya untuk tetap sekolah dan belajar.

Saat berusia sepuluh tahun, Ozi dititipkan pada kakek dan neneknya. Kedua orang tuanya pergi meninggalkannya. Ozi merupakan anak korban perceraian. Sulit baginya untuk mengingat wajah bapak ibunya. Sebab tak ada gambar atau foto yang menghiasi rumahnya. Bahkan hingga kini tak diketahui keberadaannya. Mereka hilang bagai ditelan ombak.

Nenek Mirah bekerja keras demi memenuhi kehidupan cucunya. Ia hanya seorang petani. Sesekali ia menjual hasil panennya ke pasar. Sawah yang dimiliki tak begitu luas. Tapi ia selalu bersyukur atas apa yang diberikan Allah S.W.T padanya. Segala peluh dan kasih sayangnya hanya untuk Ozi. Sebab putra satu-satunya hanyalah bapaknya Ozi.

Lima tahun telah berlalu, penantian nenek Mirah pada putranya tiada berujung. Rasa kangennya kini telah sirna. Hatinya capai memikirkan bernama Jono. Sebab benar-benar ia telah tega meninggalkan anak dan dirinya. Nenek Mirah hanya dapat pasrah atas kehendak-Nya saja. Ia hanya fokus pada Ozi. Sungguh cita-citanya sangat mulia. Ia bertekad agar cucunya dapat bersekolah, dan hidup layak seperti anak lainnya.

Selepas pulang sekolah, rutinitasnya telah menanti. Ozi harus pergi ke tepian sungai. Pekerjaan yang ia lakoni, membuat dirinya jarang bermain. Tapi semua itu tak pernah ia sesali. Cuaca panas dan hujan akrab menyapa kulitnya. Saat bekerja, ia tak pernah lepas dari topi kesayangannya. Meski tak begitu bagus, namun cukup meneduhkan wajahnya.

Satu persatu peralatan yang dibutuhkan ia siapkan. Mulai dari ember, cangkul, cetakan bata merah dan peralatan lainnya. Bahan utama telah disediakan oleh kakeknya. Tak lupa ia membawa dua bungkus nasi dengan lauk seadanya. Ditambah lagi sambal yang menjadi penyemangatnya. Lantas diletakkan di bawah pohon pisang. Seperti biasa nasi itu akan dimakan usai kerja.

Tanah liat dan sekam yang cukup banyak telah menunggu kehadirannya. Kedua bahan tersebut sudah siap untuk dijadikan apa saja. Bisa dibuat genteng atau batu bata. Semua tergantung pada kebutuhan konsumen. Sebab hanya pada bulan-bulan tertentu saja genteng banyak dibutuhkan. Sehingga Ozi dan kakeknya fokus membuat bata merah.

Kakek Marno mulai mengaduk tanah liat yang telah dicampur sekam. Ozi membantu mengambil air dari sungai. Untuk sampai ke sungai, ia harus turun ke tanah cukup landai. Baru sampai di tepian sungai bengawan solo. Ia harus sangat ekstra hati-hati, agar tak terjatuh. Sebab tanahnya yang licin, membuat hilang keseimbangan kita. Ozi tak pernah memakai sandal atau sepatu saat bekerja. Sehingga telapak kakinya sangat kasar dan keras.

Satu pekerjaan telah Ozi lakukan dengan baik. Drum plastik wadah air telah terisi penuh. Rasa lelah dan haus mendera dirinya. Lantas ia duduk dan beristirahat sebantar. Tiba-tiba saja sorot matanya tertuju pada kakeknya, yang sedang mengaduk tanah bercampur sekam. Ia tiba-tiba saja beranjak dari duduknya dan menggantikan kakeknya.

“Mbah, istirahat dulu ya. Pekerjaan ini biar aku saja yang mengerjakannya.” Pinta Ozi pada kakeknya. Mendengar permintaan cucunya yang tulus, kakek Marno sebenarnya tak tega. Sebab diusianya yang masih belum cukup umur harus ikut bekerja. Apalagi pekerjaan yang dilakukannya kasar dan berat.

Otot tangan dan kaki rupanya telah terlatih. Ozi tak canggung lagi menggantikan pekerjaan kakeknya. Sebab mulai kelas tujuh ia sudah melakoni pekerjaan itu. Memang dulu hanya sekedar membantu kakeknya. Akan tetapi seiring dengan perputaran waktu, ia harus mulai dapat menjalankannya. Setidaknya tidak membebani kakeknya, yang cukup renta.

Perlahan cangkul yang dipeganginya, ia manfaatkan. Beberapa kali-kali Ozi mengaduk tanah bercampur sekam. Sesekali ia menambahkan air agar tidak berat. Dari arah bawah pohon pisang, sayup terdengar suara kakeknya. Ia menanyakan perihal adukan yang diteruskan oleh cucunya. Maklum saja tenaganya pasti tidak seperti orang dewasa. Perlahan tapi pasti Ozi tetap bersemangat mengaduknya.

Panas, haus, dan lelah mendera tubuhnya. Peluh bercucuran membasahi wajah dan punggungnya. Air minum yang dibawanya pun hampir habis. Tapi kakeknya masih punya persiapan air minum dalam jeriken. Sebanyak apapun air yang diminum, Ozi tak khawatir akan habis. Kakek Marno benar-benar orang yang sangat peduli dan memahami cucunya.

Sesekali tanah yang diaduknya ia coba pegang. Kemudian dirasakan teksturnya. Ternyata tanah yang diaduk saat itu berbeda dari biasanya. Sebelum diaduk sepertinya basah, tapi setelah diolah lama lembutnya. Acap kali tangan kanan Ozi berusaha mengusap dahinya. Sebab kaos yang dikenakan basah kuyup.

Angin berhembus dari segala penjuru. Rasa lelah dan panas yang menyengat kulitnya mulai berkurang. Serasa terbawa oleh hempasan lambaian dedaunan. Lambat laun kaos yang menempel di tubuhnya mulai mengering. Celana panjang yang dikenakan juga sudah nampak kucel dan kotor sekali. Banyak noda dan tanah yang mengenai. Tapi semua itu tak membuatnya minder.

Beberapa saat kemudian, tanah yang telah siap dicetak menjadi bata ditinggalkanya. Ozi ingin segera beristirahat. Tapi ia harus mencuci tangan dan kakinya terlebih dahulu. Kemudian ia berlari menuju ke tempat kakeknya beristirahat. Tempat yang sederhana, tapi nyaman digunakan.

Sejuknya angin sungai membuat kakek Marno tertidur pulas. Meskipun hanya di bawah rindangnya pohon pisang beralaskan rerumputan. Mendapati kakek Marno yang sedang menikmati tidurnya, Ozi menyiapkan makan yang disiapkan neneknya.

Tanpa basa basi lagi, ia bongkar tas berwarna kecoklatan itu. Dua buah bungkusan daun pisang dikeluarkan. Ada juga tiga botol minuman. Sebotol air putih, teh dan kopi. Rebusan buah pisang raja dan singkong, turut menemani istirahatnya.

Perlahan Ozi membangunkan kakeknya. Lantas mengajaknya makan bersama. Segala keperluan makan telah disiapkan. Melihat semua telah tersedia, kakek Marno hanya menggelengkan kepala. Setelah kakeknya siap menyantap makan bareng, Ozi mengulurkan bungkusan nasi pada kakeknya.

Seperti biasa, kakek dan cucu itu bermain tebak-tebakan sebelum membuka bungkusanya. Sebab hampir setiap hari menu yang disajikan berbeda. Rasa pedas selalu mendominasi segala menu. Tak sedap jika tak pedas, prinsip makanan di keluarga nenek Mirah. Keduanya hafal dengan aroma masakan nenek Mirah.

Memang menu yang dihidangkan nenek Mirah, bukan sesuatu yang mahal. Walaupun ala kadarnya tapi dapat memikat bagi penikmatnya. Masakan yang dihidangkan, tentu saja menyesuaikan kondisi keuangan keluarga. Gongseng pindang, teri, tempe dan lainnya yang dapat dimasak tak pernah ketinggalan. Kekompakan dan kebersamaan, itulah kunci makanan itu menjadi lezat.

Sebelum makan, Ozi menunggu kakeknya memimpin doa. Keduanya lantas menengadahkan kedua tangan. Kakek Marno mulai membacakan doa dengan khusyuk. Dengan suara lirih yang keluar dari mulutnya, “Bismillaahir rahmaanir rahim. Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinna’adzaabannar.” Aamiin...

Usai berdoa, bungkusan itu dibuka. Ternyata bukanlah ikan pindang dan tempe lauk makan sorenya. Melainkan sambal teri dan telur dadar. Keduanya saling berpandangan dan melempar senyum. Melihat kenyataan bahwa apa yang dilihat berbeda dengan yang dibayangkan.

Meskipun makan seadanya, namun mereka begitu lahap menyatap hidangan nenek Mirah. Sebab masakannya selalu mengundang selera makan. Rasanya tak kalah nikmat dengan restoran. Rasa pedas dan asin menggetarkan lidah. Bila masakannya kurang pedas, mereka akan protes. Sebab sambalnya itu memiliki cita rasa yang khas.

Dua puluh menit telah berlalu. Kepenatannya telah terbayar dengan beristirahat sejenak. Tak hanya makan saja, namun mereka juga menunaikan salat ashar bersama. Kakek dan neneknya Ozi telah menanamkan perilaku yang baik pada cucunya. Di sela-sela waktu kerja, kakek Marno selalu memberikan tauladan pada cucunya.

Keduanya beranjak dan bangkit dari tempat istirahatnya. Kakek Marno berjalan menuju ke tempat adukan tanah. Akan tetapi Ozi menuju arah gubuk reyot tempat menyimpan peralatan. Tak lama berselang, ia menenteng dua buah cetakan batu bata yang terbuat dari kaca. Lalu ia membagikan cetakan itu pada kakeknya.

Keberadaan mereka membuat iri bagi yang melihatnya. Kakek dan cucu itu sangat kompak dan penuh kasih sayang. Kakek Marno selalu memotivasi cucunya. Tanpa mengenal lelah mereka seakan dikejar target. Setiap sore mereka mencetak batu bata hingga ratusan jumlahnya. Sehigga musim kemarau dapat termanfaatkan dengan baik.

Batu bata yang telah tercetak dibiarkan terlebih dahulu. Menunggu hingga kering. Itu pun tergantung pada cuaca. Deretan batu bata basah ia tinggalkan. Lalu berjalan menuju tumpukan batu bata yang sedang dibakar. Bara dalam sekam membuat bata menjadi berubah warna. Ozi ingin melihat hasil bakarannya beberapa hari lalu. Sebab saat itu ia hanya membuat bata seorang diri. Kakeknya ada kepentingan lain dan tidak dapat membantunya.

Ozi merasa bahwa apa yang dilihat dihadapannya adalah murni hasil jerih payahnya. Meski tidak banyak yang dicetak. Rasa penasaran itu makin kuat, mana kala abu sekam telah padam. Senyum bahagia mengambang di bibirnya. Perasaan bangga menghiasi rona wajahnya. Batu bata yang dibuat menampakan warna kemerahan. Lalu dengan sigapnya, ia periksa disetiap sudut tumpukan bata yang telah dibakar.

Ozi tak memedulikan keadaan dirinya. Meski telapak tangannya kasar penuh dengan kapalan. Ia amati dan kelilingi tumpukan bata itu. Tanah liat yang awalnya berwarna coklat kekuningan kini berubah menjadi merah. Tandanya bata yang dibuat telah berhasil. Kebanggaan atas kerja kerasnya telah membuahkan hasil. Meski ia hanya mampu membuat, lebih sedikit dari biasanya.

Hari mulai senja, mentari menghilang dari pandangan. Satu persatu peralatan yang digunakan untuk bekerja ia punguti. Kemudian disimpan ke dalam gubuk. Beberapa lembar plastik bening ia seret ke tempat bata pembuatan bata. Lalu ditutupkan di atas bata yang masih basah. Tujuannya tak lain melindungi dari embun atau bila terjadi hujan.

Kumandang azan mulai terdengar. Sayup-sayup suara itu menghilang. Meski tempat pembuatan batu bata jauh dari hunian, namun panggilan salat itu selalu dapat didengar dengan jelas. Sehingga mereka tak pernah abaikan kewajiban rukun islam kedua. Kakek Marno selalu mengajarkan kedisiplinan pada cucunya.

Hamparan tanah lapang dengan berbagai rumput di atasnya, membuat hati makin adem memandangnya. Mereka tak merasa kesepian, meski tak ada orang lain di sekitarnya. Kala cucunya terlihat diam dan menyendiri, Kakek Marno selalu menggoda cucunya. Ia berusaha menghibur dengan berbagai leluconnya. Sehingga keakraban terjalin dengan baik. Tak hanya dengan kakeknya saja. Ozi juga sangat sayang pada neneknya.

Mendengar panggilan salat, Kakek Marno dan Ozi bersiap untuk segera pulang. Semuanya pekerjaan telah dibereskan. Mereka hanya berjalan kaki saja. Sebab jarak rumah ke tepian sungai, hanya sekitar sepuluh menit saja. Jalanan menuju ke rumah terasa sangat sunyi dan sepi sekali. Hampir semua pintu rumah yang mereka lalui tertutup.

£££

Setibanya di depan pintu, kakek Marno dan Ozi mengucapkan salam. Tak seberapa lama, jawaban salam terdengar jelas dari balik pintu. Mendengar ucapan salam dari suami dan cucunya, hati nenek Mirah bahagia sekali. Tak lupa ia menyalami kakek Marno dan mencium Ozi.

Tanpa bicara apapun, Ozi langsung menuju kamar mandi. Demikian juga dengan kakeknya. Mereka membersihkan diri dari balutan tanah liat. Kebiasaan yang dilakukan kakek dan neneknya Ozi tak lain adalah salat berjamaah. Nenek Mirah telah menyiapkan, tikar dan sajadah di lantai ruangan yang cukup dipakai untuk bertiga. Seperti biasa kakek Marno selalu menjadi imam bagi mereka.

Salat maghrib pun usai dikerjakan berjamaah. Tak lupa ungkapan doa-doa mereka lantunkan dengan penuh harap. Agar Allah S.W.T selalu memberikan keselamatan hidup baginya. Kehidupan mereka jauh dari kesan mewah. Tak ada perabot mahal yang dimiliki. Segalanya nampak biasa. Di atas meja hanya ada sebuah televisi 14 inch.

Nenek Mirah bergegas menuju dapur. Ia menyiapkan makan malam. Tak banyak menu yang dimasak oleh nenek Mirah. Hanya ada nasi, ikan pindang, kerupuk, sayur bayam dan sambal saja. Sambil menunggu kedatangan neneknya, Ozi merebahkan tubuhnya di atas tikar itu. Sebab makan malam yang dilakukannya juga di ruangan yang sama.

Beberapa saat setelah kudapan siap, nenek Mirah membawanya ke ruang yang dipakai salat tadi. Ozi langsung terbangun, lalu mengambil piring dan sendok. Nenek Mirah membagi nasinya menjadi tiga bagian. Namun ia hanya mengambil separo dari suami dan cucunya. Dari dulu nafsu makan nenek Mirah hanya secukupnya saja. Apalagi kok nambah, sama seklai tak pernah ia lakukan.

Sebagai orang yang sangat dihormati, Kakek Marno lantas memimpin doa. Semua berharap bahwa, rizki yang mereka makan, memberikan keberkahan. Setelah berdoa, mereka baru memulai makan. Energi yang hilang saat bekerja mulai tergantikan. Makan malam mereka berjalan dengan nikmat yang luar biasa. Kemudian mereka saling bantu membereskan sisa makanan yang dihidangkan tadi. Sebab tempat itu akan digunaka salat isya.

Suara binatang malam terdengar nyaring menusuk telinga. Sehabis menajalankan salat isya, Ozi diingatkan oleh neneknya untuk belajar. Ia tak kuasa menolak apa yang diperintahkan nenek Mirah. Dengan segera ia menuju kamar dan membaca jadwal pelajaran yang tertempel di dinding. Buku-buku yang akan dipakai besuk, disiapkan di atas meja. Sebelum dimasukkan ke dalam tas, buku-buku itu dipelajari terlebih dahulu.

Beberapa pekerjaan rumah mulai dikerjakan. Tapi pelajaran lainnya di baca sampai satu bab saja. Nenek Mirah masuk ke dalam kamar cucunya. Ia hanya ingin memastikan cucunya belajar atau tidur. Ozi terlihat capai sekali, tenaganya terkuras untuk bekerja. Tapi apa boleh buat, keadaan yang membuatnya melakukan itu semua.

Nenek Mirah memberikan saran pada cucunya. Sambil mengelus-elus rambutnya, Ia berkata, “Mas Ozi... kalau kamu sudah lelah, istirahat saja. Tidak usah memaksakan diri. Mripatmu sudah merah gitu kok. Tandanya ngantuk itu. Nenek bantu bereskan ya. Besuk belajarnya dilanjut lagi sehabis salat subuh.”

Rasa kantuk mendera hingga tak terelakkan lagi untuk terjaga. Menikmati buaian kasih sayang dari seorang nenek tercinta. Hampir setiap malam nenek Mirah bercerita, sebagai teman tidurnya. Terkadang juga mendongeng, tentang apapun yang ia ketahui. Nenek Mirah mengemas ceritanya dengan memberikan pelajaran berharga. Ia selalu mengaitkan ceritanya dengan akhlak. Agar cucunya dapat berkata-kata dengan sopan, dan bertindak dengan santun.

Semilir angin malam menembus dinding kamar, yang terbuat dari papan kayu. Rasa dingin itu selalu menemani disetiap tidurnya. Nenek Mirah pun tertidur di kamar cucunya. Ia tak menyadari bila Ozy masih dalam dekapannya. Dari luar kamar, terdengar suara kakek Marno membangunkan istri dan cucunya. Ternyata keluarga kakek dan nenek Ozy, mempunyai kebiasaan yang luar biasa. Salah satu diantara mereka, akan saling mengingatkan untuk bangun malam. Rutinitas salat malam itu, telah tertanam pada mereka.

Raga seakan tak dapat dikendalikan. Rasa kantuk seakan menguasai Ozy dan neneknya. Namun panggilan menunaikan salat malam telah mengalahkan rasa itu. Semua penat dan malas menjadi hilang. Tak hanya urusan dunia saja yang kompak. Tapi urusan beribadah pun terjaga dengan baik. Kondisi ekonomi yang sangat sederhana tak membuatnya hilang semangat.

Di luar udara dingin sekali. Apalagi ketika air wudhu itu mengenai kulit. Tak terbayangkan lagi dinginnya, hingga merindingkan bulu kuduk. Niat yang kuat tak akan melumpuhkan keyakinan. Tak ada rasa berat untuk menjalaninya. Sebab baginya ibadah merupakan suatu kewajiban. Apapun kondisinya semuanya terasa ringan. Seperti biasa, nenek Mirah menyiapkan semuanya.

Ibadah salat malam berjalan dengan baik. Ozi yang masih mengantuk, melanjutkan tidurnya di tempat salat. Ia tiduran sambil menunggu azan subuh berkumandang. Sedangkan kakek dan neneknya Ozi, pergi ke dapur. Mereka saling bantu dan menyelesaikan pekerjaan dapur. Nenek Mirah selalu menyiapkan sarapan buat keluarganya. Ia tak ingin cucunya berangkat sekolah dalam keadaan perut kosong.

Kesederhanaan menghiasi hari-harinya. Belajar di pagi hari selepas salat subuh menjadikannya sebuah kebiasaan. Pagi itu Ozi kurang bersemangat. Namun, ia pintar menyembunyikan perasaannya. Sehingga kakek dan neneknya tak tahu apa yang sedang dipikirkan cuucnya. Rutinitas harian tetap ia jalani dengan baik. Tak ada tanda-tanda kesal dan jengkel. Ia pun belajar, mandi pagi, sarapan dan ke pergi ke sekolah.

£££

Langit cerah, sang fajar mulai menyingsing dari ufuk timur. Embun nan rapi selimuti hamparan tanah sawah yang sangat luas. Mentari menyembulkan sinarnya, lenyapkan kabut pagi. Kehangatan menyapa desa yang berada di pinggiran Bengawan Solo. Terlihat dengan jelas lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki memadati penyeberangan.

Tak dapat dimungkiri lagi jika kondisi daerah tersebut, harus menggunakan transportasi air. Jadi satu-satunya jalan hanya dengan melintasi sungai itu. Bahkan ada sebagian masyarakat yang mengandalkan Bengawan Solo, sebagai sumber pencahariannya.

Para pelayan jasa angkut perahu selalu siap setiap waktu. Dengan penuh kesabaran mereka mengantarkan penumpang sampai tujuan. Tak ketinggalan pula dengan Ozi bersama teman-temannya. Mereka ramai-ramai menuju ke atas perahu. Meskipun hanya mengendarai sepeda onthel, mereka harus tetap sekolah. Berbagai macam barang dan orang campur dalam perahu. Asal cukup maka akan diangkut semua.

Tak ada kata sulit untuk sampai ke sekolahan. Jalan tanah yang becek dan licin semuanya sudah terbiasa. Malah membuatnya asyik dan guyon dengan teman lainnya. Padahal jika tak hati-hati bisa membuatnya terjatuh dan kotor semua. Saking terbiasanya sehingga semua jadi bisa.

Memandangi indahnya pemandangan di sekitar sungai membuat mata terasa nyaman. Hawa pedesaan kian terasa menyegarkan paru-paru. Pedagang “getuk” pun ikut menjajakan dagangannya di atas perahu. Mereka sungguh menikmati hidup yang sebenarnya hidup. Kebersamaan sangat dapat dirasakan. Rupiah tak ada artinya manakala kita tak dapat gunakan dengan baik. Di manapun berada mereka tetap saja guyon dengan akrabnya.

Tak terasa tibalah di tempat penyeberangan. Satu per satu penumpang turun dari perahu. Kebanyakan dari mereka membawa kendaraan. Para pekerja dan pedagang sebagian menggunakan sepeda motor. Berbeda dengan para siswa, mereka menggunakan sepeda onthel. Mereka harus mengangkat sepedanya untuk dapat keluar dari perahu.

Untuk sampai di jalan raya, mereka harus mengayuh sepedanya terlebih dahulu. Ya, sekitar beberapa ratus meter dari tempat penyeberangan. Setelah itu baru dapat menikmati jalan raya yang cukup enak untuk dilewati. Perjalanan mereka cukup jauh dan melelahkan. Kobaran semangat meraih sukses, mengubah pikiranya menjadi kekuatan yang tak tertandingi.

Detik dan menit dalam perputaran waktu terus berlalu. Mereka tak mungkin dapat bercanda di jalan raya. Maklum saja jalan yang dilaluinya cukup ramai. Sehingga harus urut satu persatu saat bersepeda. Di depan terlihat pertigaan, mereka mulai persiapan untuk belok kanan. Mereka harus ekstra hati-hati, sebab di tempat itu sering terjadi kecelakaan.

Beriringan laksana semut berjalan, mereka tetap kayuh sepeda itu dengan penuh peluh. Tugu pertigaan yang megah, bersimbolkan dua buah belimbing nan gagah. Tak luput menyambut kedatangan mereka. Apalagi tertulis selamat datang di Agrowisata Belimbing. Hanya berjarak dua ratus meter saja, mereka sampai di sekolah.

£££

Berjajar rapi di depan pintu gerbang, bapak ibu guru menunggu kehadiran para siswa. Satu per satu dari mereka turun dari sepedanya. Formasi mereka masih dalam beriringan. Sembari menuntun sepeda, mereka bersalaman dan ucapkan salam. Respon yang sama juga dilakukan oleh para guru. Kebiasaan bersalaman saat masuk gerbang tentu sangat bagus sekali. Guru yang peka perasaannya, akan cepat mengetahui kondisi setiap siswa saat bersalaman dihadapannya.

Guratan masalah dan kegembiraan terpancar dari wajah setiap siswa. Diantara ratusan siswa terselinap wajah Ozi yang lain dari biasanya. Belas kasih serta rasa peduli membuncahkan hati dan pikiran. Aku pun tak kuasa menahan perasaan ingin segera menemuinya. Saat bersalaman tak ada keceriaan. Menatap wajah gurunya saja enggan, apalagi senyum. Sorotan kedua matanya juga nampak sayu. Keganjalan itu aku rasakan, sebagai suatu keanehan.

Bagiku Ozi adalah siswa yang ulet, pendiam, rajin dan kerja keras. Pemikiran Ozi lebih dewasa dibanding teman sebayanya. Ia suka membantu teman bahkan orang disekelilingnya. Ia sungguh anak ringan tangan dan bersemangat. Sesaat setelah memperhatikan penampilannya, aku selalu bertanya dalam hati. Rasa penasaran itu, membawaku sampai padanya.

Dia duduk termenung di kelas. Seakan tak memikirkan teman-temanya. Wajahnya dirundung rasa kesal dan capai. Tak ada semangat belajar. Kali itu ia pasrah dengan apa yang terjadi di sekolah. Saat seorang teman sebangkunya bertanya, Ozi hanya menggelengkan kepala saja. Ia benar-benar malas untuk menjawab.

Perlahan aku dekati dan duduk di sebelahnya. Beberapa pertanyaan aku sampaikan. Awalnya dia hanya menjawab singkat-singkat saja. Tak ada keinginan untuk berbicara, apalagi menjelaskan permasalahannya. Kepalanya tertunduk, ia tak mampu menatap wajah gurunya. Beban yang dipikirnya seperti berat sekali. Hingga tak mampu mengungkapkan masalah sebenarnya.

Naluri keibuan muncul begitu saja. Hatiku merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan siswaku ini. Wajahnya nampak kering dan merah. Tak ada rasa malu dan keraguan sedikitpun aku langsung pegang dahinya. Ternyata suhu tubuhnya lebih panas dari badan normal.

Aku meminta Rendi dan Anton segera mendampinginya hingga ke ruang UKS. Sebab jarak antara kelas ke ruang UKS cukup jauh. Tiga jam pelajaran telah berlalu. Dering nyaring bel istirahat terdengar. Pertanda pembelajaran telah usai. Aku tidak langsung ke ruang guru untuk beristirahat. Tapi menghampiri siswaku, Ozi yang berada di ruang UKS.

Langkah kaki penuh dengan do’a. Aku berharap dia akan baik-baik saja. Semoga kedua temannya dapat memberikan semangat dan segera lekas sembuh. Melihat keadaan Ozi dengan suhu tubuh cukup tinggi, aku lantas cek pakai termometer. Kemudian memberikan pil penurun panas. Sedangkan Anton mengambilkan sebotol air mineral. Dengan segera Ozi meminumnya.

Riuh gemuruh suara siswa serta teriakan siswa lain, membuat Anton dan Rendi ingin segera meninggalkan ruangan itu. Kemudian mereka memohon izin untuk beristirahat. Aku pun mengizinkannya. Ternyata keduanya sudah menahan lapar dari tadi. Sehingga mereka langsung berlari menuju kantin.

Melihat keadaannya yang tak biasa, aku jadi terenyuh. Aku dekati dia dan duduk berada di pinggir kasur. Ozi berbaring dalam posisi miring. Lagi-lagi aku bertanya padanya. Tapi jawabannya masih sama, singkat dan jelas. Tapi tak membuatku percaya begitu saja. Ekspresi yang aku tangkap, dia mempunyai beban psikis berat.

Aku pun tak kekurangan cara. Berbagai cerita aku berikan sebagai contoh. Aku ingin apa yang menjadi masalah hidupnya, akan ia urai hingga jelas. Ia mendengarkan dengan saksama. Bahkan mulai terpancing untuk bertanya. Itu artinya ia penasaran dengan cerita yang ku bawakan. Tapi aku tak memaksa untuk bercerita saat itu.

Wajah polos dan melas itu berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian sedikit senyum dan bangun dari tempat tidurnya. Lalu ia duduk dan mengulurkan tangan kanannya. Ternyata ia hanya ingin berjabat tangan denganku. Ia seakan meminta maaf dan telah memahami ceritaku.

Kondisi Ozi sudah mulai membaik. Keringat yang ada di punggung belakang mulai keluar. Kemudian aku hanya menyarankan untuk beristirahat. Aku pun berpamitan untuk ke ruang guru. Ozi kembali berbaring dan tertidur.

Sedangkan para siswa yang berada di luar ruang UKS, menggunakan waktu istirahatnya dengan rileks. Tak heran saat mendengar bel berbunyi hampir semua siswa keluar kelas. Kantin adalah tempat utama yang diserbu oleh seluruh siswa. Setelah mereka bersantai sejenak, akhirnya berpencar. Para siswa laki-laki masuk ke lapangan. Lainnya melakukan kegiatan yang dapat menyalurkan bakatnya. Kebiasaan bermain voli tak terelakan lagi. Bahkan tak memedulikan panasnya terik mentari. Badan penuh dengan peluh, baju menjadi basah dan bau keringat.

Lima belas menit telah berlalu. Detak jantung semakin semakin keras kala harus mendadak berhenti. Sebab bel masuk untuk memulai pembelajaran berikutnya telah berbunyi. Para siswa berlarian menuju kelas masing-masing. Mereka masuk kelas dengan napas yang masih terengah-engah. Sembari mengipas-ngipaskan bukunya untuk mengurangi keringatnya.

Tak ketinggalan pula dengan Ozi, yang sedang berbaring di ruang UKS. Ia ingin segera melakukan aktivitasnya seperti hari-hari sebelumnya. Selain itu ia juga merasa tidak enak pada semua teman-temanya. Waktu istirahat cukup membuatnya bugar. Suhu tubuhnya juga mulai stabil.

Perlahan-lahan ia turun dari dipan, menuju kaca dan merapikan rambutnya. Hatinya tergerak dan ingin ungkapkan segala keluh kesahnya. Langkah kakinya tergesa, disertai sedikit berlari.

Tujuannya tak lain mencariku. Melihatku sedang jalan sendiri dan santai, Ozi langsung menyapaku. Lalu aku mengajaknya duduk di halaman belakang dekat kolam.

Kedamaian itu terasa indah. Tapi hanya dengan hati yang bersih kita dapat merasakan. Begitu pula dengan rizki dan masalah. Dan setiap insan pasti memiliki kadar yang berbeda. Menikmati semilirnya angin sawah, menambah suasana kian asyik. Angan dalam benak dan hatinya telah membuatnya kalut. Rasa tak menentu menghanyutkan jiwanya. Hanya kesendirian dan lamunan yang ada dalam pandangannya.

Kesendirian menghadirkan ribuan keinginan dan harapan. Mulut bungkam, lidah pun terasa kelu. Tak ada kata yang dapat terucap. Hanya panggilan bu....bu... saja. Aku menunggu dan menanti apa yang akan dikatakannya. Wajah itu nampak kebingungan. Ia belum dapat mengawali ceritanya.

Beberapa pertanyaan pancingan aku sampaikan, tapi semua itu juga belum membuatnya bergeming. Aku ulangi dan mencoba lagi untuk bertanya. Berkali-kali pula, sebab semua pertanyaanku dijawabnya dengan singkat dan jelas. Namun aku harus memahami isi hatinya.

Hanya kaya “iya dan iya bu.” Itulah jawaban yang keluar dari mulutnya. Itupun wajahnya tak berani menatapku. Hanya sesekali saja ia melihatku dan sedikit senyum. Aku coba elus pundaknya. Sembari berkata-kata yang dapat membuatnya mengungkapkan perasaanya. Aku yakinkan bahwa dia tak sendiri dalam menghadapi hidup.

Aku pun memancing hatinya dengan bercerita. Ya, beberapa kisah yang dapat menginspirasi dan membuatnya bangkit. Cerita itu sengaja aku buat sendiri. Seakan dia berada dalam alur kehidupan itu. Air matanya meleleh, kedua tangannya berusaha untuk membersihkan deraian air mata.

Kisah yang aku bawakan belum selesai. Hatinya mulai bergolak, keberaniannya telah muncul. Beberapa saat kemudian, Ozi mulai terbuka. Ia menceritakan kehidupan sehari-harinya. Mulai dari kangen dengan kedua orang tuanya. Kecewa atas perbuatan bapak ibunya. Ia merasa kehadiranya di dunia hanya sebagai beban. Ia tak merasakan adanya kasih sayang dari orang tuanya.

Kekesalan hatinya telah memuncak, tapi tak terjawab. Ia tak tahu pada siapa harus mencurahkan isi hatinya. Terkadang buku diari yang menjadi pelampiasan curhatnya. Itupun tak dapat menghibur dirinya.

Semenjak kecil yang diingat hanyalah kakek dan neneknya saja. Bayangan wajah orang tua, tak ada sama sekali. Ia betul-betul tak mengenali kedua orang tuanya. Bahkan sampai sekarang ia tak pernah bertemu, meski hanya sekejap. Hanya kakek neneknya yang merawat dan mengasihinya. Sehingga hanya mereka yang dianggap keluarga satu-satunya.

Rasa rindu yang tak tertahankan. Hingga membuat pikirannya kacau dan tidak fokus. Hari-hari yang ia lalui serasa berat. Sehingga ia lebih banyak memilih menyendiri. Malas untuk berbicara denga kawan bahkan kakek neneknya. Semua perintah dan saran kakek neneknya selalu dilakukan. Tapi semua itu hanya sekedar menjalankannya. Hatinya berat dapat menerima kenyataan yang sesungguhnya.

Apalagi anak jaman sekarang, keinginannya seabrek. Sepeda motor, HP dan keperluan lainnya juga minta yang terbaik dan terbaru. Ozi hanya dapat membayangkan saja. Andai bapak ibuku ada di sampingku dan hidup bersama, pasti aku juga punya seperti mereka. Tapi apa boleh dikata, penghasilan kakek neneknya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap hari saja.

Kekecewaan, pelampiasan dan semua yang dialaminya ia sampaikan dengan sejujurnya. Walaupun berat tapi ia dapat katakan dengan lancar. Satu per satu apa yang disampaikannya aku jawab semua. Penjelasan yang aku berikan dapat diterimanya dengan baik. Aku pun mengatakan agar dia tak keberatan menyampaikan permasalahannya. Meski aku hanya sebatas ibu gururnya saja.

Sebenarnya ia tak menyesal, bila harus membantu kakeknya. Justru rasa kasihan itu telah menjadikannya peduli dengan sekelilingnya. Ozi sangat menyayangi kakek neneknya. Kekesalan hatinya menjadikannya malas belajar. Apapun materi yang disampaikan oleh gurunya, kadang tak mampu ia terima. Beban psikis telah mengganggu semangatnya.

Kedua bola matanya memancarkan semangat baru. Ia merasa bersalah pada kakek neneknya. Sebab beberapa hari in ia hanya diam dan diam. Rasa malas telah menyelimuti keresahan hatinya. Dihadapanku dia telah berjanji. Perbuatan dan sikapnya yang kurang baik akan dirubahnya. Kesalahan yang diperbuat tentu membuat kakek Marno dan nenek Mirah bersedih. Selepas pulang sekolah ia akan meminta maaf dan tak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan semangat belajarnya mulai nampak. Ia mulai menjalin komunikasi yang bagus dengan teman-teman sekelas. Selain itu ia juga tak segan untuk bertanya. Semangat untuk menjadi yang terbaik ingin ia gapai. Walaupun ia harus mengejar ketinggalan pelajaran selama ini.

Berbicara dari hati ke hati adalah bagian dari solusi komunikasi terbaik. Ketulusan hatinya telah membukakan mata hatiku. Keadaan ini tentu saja, tak pernah aku rasakan. Apapun permasalahan yang dihadapi anak-anak kita, tentu harus selalu diarahkan pada jalan yang benar. Jangan sampai generasi bangsa terjerumus pada kubangan yang salah.

Ozi hanyalah salah seorang anak korban keegoisan orang tua. Kesalahan yang telah mereka perbuat, membuat dirinya harus bekerja keras. Beban psikis itu justru harus anak yang menanggungnya. Sungguh ironis memang, kedua orang tuanya yang berbuat anaknya yang menanggung dampaknya.

Inilah pembelajaran dari memaknai hidup yang sesungguhnya. Segalanya tak akan menjadi sia-sia, bila kita mau saling berbagi. Rasa syukur merupakan jawaban atas segala pemberian-Nya.

Niatkan segala perbuatan kita hanya untuk kebaikan dan membantu sesama. Maka tak akan ada rizki yang keliru. Sebab hanya pada orang-orang yang ihlas saja hidayah itu datang. Memberi apa yang kita miliki, tidaklah menjadikan kita miskin. Berbagi pada siapapun tak akan membuat kita hina. Meski itu hanya sebatas pengalaman, pengetahuan, barang ataupun solusi dari masalah orang lain.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ganti latar mas

28 Mar
Balas

Mantap Bu... Tanda £££ apasih artimya Bu ?

27 Mar
Balas



search

New Post