Cita-cita setinggi langit cita-cita terbaik
1. Setibanya di kampung halaman yang lama tak kujumpai, dibenakku kerinduan yang begitu menggebu tampaklah bayangan kenangan kecilku terbersit dipikiran. Lahir ditahun 90’an masih dibalut dengan tradisi dan kaya akan adat budaya setempat, masa kecilku tempo dulu yang tinggal di suatu lembah diantara bukit- bukit tinggi yang terdapat banyak pepohonan, ladang yang sangat luas, perkebunan mewarnai setiap dataran bukit, dan hamparan sawah bak permadani alam, serta pemukiman penduduk menghiasi setiap wilayah kampung halamanku. Tak banyak kendaraan berlalu lalang yang ada pengembala kambing dan kerbau yang mengembalakan hewan ternaknya disekitar padang rumput hijau. Mata air begitu jernih mengaliri pemukiman penduduk, sawah dan ladang sekitar. Tak ada polusi tak ada pencemaran. Kalau kata orang tua dulu “tiis celi herang panon” (Bahasa Sunda). Bersyukur kepada Tuhan tak terhingga dilahirkan dinegeri Indonesia, daerah tropis dengan sejuta fanorama keindahan. Tak heran orang bilang tanah kita tanah syurga, batang atau tongkat sekalipun jadi tanaman. Namun tak ada yang tau setelah bergantinya zaman, hal seperti ini tak akan dirasa lagi, yang tersisa hanyalah tinggal kenangan, kelak anak cucu hanya mendengar sebagai cerita tempo dulu seperti halnya cerita Dinosaurus, jikalau orang tua dan generasi masa kini tak bisa menjaga dan melestarikan kekayaan yang dimiliki negri ini.
Menjelang sore hari setelah sholat ashar, aku dan anak-anak yang lainnya bermain bersama dihamparan tanah sawah kering yang mendadak jadi lapangan karena musim kemarau. Sawah kering itu menjadi area lapangan bermain sementara. Namun Ketika musim cocok tanam datang, area tersebut akan menjadi pesawahan lagi. Walaupun seperti itu keadaannya tak ada alasan tak ada tempat tak main. Tak heran aku dan anak-anak lainnya menjadikan kebun yang tak dirawat dan tak ditanami penduduk, kami jadikan tempat bermain. Kenapa tidak, Permainan tradisonal dikampungku sangatlah banyak dan bermacam-macam sehingga aku dan teman-temanku tak bisa melewatkan hari-hari tanpa bermain permainan itu. Dan dikala itu belum terlalu banyak dan trending permainan yang memakai alat modern. Permainannya sangat sederhana dengan tempat dan peralatan seadanya, namun kebersamaan kekompakan dan kekreatifan menjadikan sangat berkesan. Seperti permainan ular-ularan, petak umpet, loncat tinggi, galah, kasti, sepak bola, main lori, ketapel, roda-rodaan, dorokdok, dan masih banyak permainan yang lainnya. Semua permainan kita lakukan untuk mengisi waktu sambil menunggu waktu menjelang magrib. Tak hanya anak kecil saja yang ikut menghangatkan suasana diperkampunganku, anak remaja dan dewasapun ada yang ikut serta bermain bersama kami. Dibalik keasyiknya bermain dengan teman-temanku dipikiranku terbersit banyak cita-cita setingi langit yang ingin kugapai namun tak tentu arah. Lalu aku pergi ke ladang ayahku di pinggir jalan dan tampak bapakku sedang berbincang-bincang dengan seseorang yang tak kukenal. Setelah perbincangannya berakhir kuhampiri bapakku “itu siapa pak?” tanyaku, “itu pak Husen, orang kampung sebelah” jawabnya, “kelihatannya serius sekali obrolannya?” tanyaku sedikit penasaran, “ah kamu suka penasaran, jadi anak gak usah pengen tau urusan orang tua” jawab bapakku mengabaikanku yang masih penasaran. “Aku kan nanti juga jadi orang dewasa lalu jadi orang tua kenapa tidak belajar dari sekarang?” jawabku tak mau kalah. Bapakku hanya mengeleng-geleng kepala menyimak ocehan anaknya yang bawel dan keras kepala. “Iya bapak akan cerita, pak Husen ingin membeli tanah kita ini karena posisinya di pinggir jalan dan lumayan ramai dilalui orang jadi dia tertarik ingin membangun rumah dan tempat usaha” ujar bapakku, "lalu bapak menyetujuinya? tanyaku, “ya bapak sampai saat ini belum ada niat untuk menjual tanah ini, apalagi tanah ini tanah warisan bapak berharap tanah ini kelak bisa lebih bermanfaat untuk banyak orang, selama ini hanya kita saja yang memanfaatkannya, coba kamu fikirkan bagaimana caranya” ujar bapakku sambil berkemas untuk pulang. Aku termenung mendengar ucapan bapakku, memang tanah itu sangat strategis dan banyak yang mengincar ingin membelinya namun ternyata bapakku ada maksud dan tujuan lain. Tak terasa waktu sore berlalu, waktu menunjukan sebentar lagi waktu magrib, aku pulang untuk bersiap mengaji di serambi masjid di kampungku. Lantunan-lantunan pujian, sholawat, pepeling (nasehat) bergema menggunakan speker yang berada diatap masjid. Suara anak kecil yang ikut serta melantunkan terdengar dengan nada sangat lucu dengan keluguan dan kepolosan dalam membacakannya. Kepolosannya yang belum mengetahui arti dari kata-kata yang mereka bacakan yang terkadang membuat keceplosan mengucapkan kata-kata yang lain. Lantunan itu bergema dan menjadi pengingat masyarakat kampung yang masih berada di sawah, di ladang, kebun, pengembala yang sibuk dengan hewan peliharaanya dan yang masih beraktivitas lainnya agar segera bergegas pulang karena waktu malam akan segera datang.
Adzan magrib berkumandang para penduduk berduyun-duyun pergi kemesjid mereka bersiap merapatkan shaf barisan sholat berjamaah di masjid jami kampung kami. Setelah selesai sholat berjamaah, tinggalah anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji dengan dibimbing pak ustadz Daud dan pak Rahman selaku ketua DKM masjid. Tempat kami mengaji untungnya dipisah tidak disatukan, anak laki-laki di masjid dan anak perempuan di madrasah bersebelahan dengan mesjid, karena jika tidak dipisah biasanya anak laki-laki suka usil mengganggu anak perempuan dan membuat kegaduhan kemudian mendapat teguran dari pak ustadz. Kejadian tersebut pernah terjadi ketika madrasah belum selesai dibangun dan pengajian disatukan. Alhamdulilah semenjak madrasah selesai kami mengaji bisa lebih khusyu dan tidak terganggu. Pengajian berlangsung sampai waktu sholat isya, setelah sholat isya berjamaah dilaksanakan kami segera pamit pulang kepada guru ngaji kami. Kami pulang kerumah masing dengan membawa obor yang terbuat dari bambu sebagai penerang jalan.
Diwaktu malam hari jalan yang kami lalui terlihat gelap karna posisi rumah para penduduk kebanyakan bersebelahan dengan kebun dan sawah. Kami harus melewati banyak kebun dan sawah diantara rumah-rumah penduduk. Meski demikian, keadaan seperti itu tidak membuat kami merasa takut, kami pulang bersama-sama, disepanjang jalan kami bercakap-cakap dan mengulang hapalan yang diberikan guru ngaji kami dan kadang aku suka mengajak mereka berlomba paling cepat menghapal. Dengan iming-iming yang jalannya paling depan yang paling duluan cepat hapalnya, karena posisi jalan paling belakang biasanya sering ditakut-takuti he…. Kalau kata mereka hantu biasanya suka megang dan menganggu posisi yang paling belakang sehingga kami sering berebut ingin posisi paling depan setiap pulang. Dan pada satu waktu kami pulang bersama-sama, aku tidak ingat membawa obor yang biasa dibawa kepengajian, ada yang membawa senter kecil si Rohim tapi batrainya sudah mau habis dan yang lainnya biasa ikut menebeng dengan oborku. Kebetulan malam itu malam jum’at dengan keadaan seperti itu kami pulang dengan sangat terburu-buru karena ingin segera sampai dirumah, dan posisi paling belakang ada si Ajis dan si Rohim mereka berdua adalah anak yang paling penakut diantara kami semua. Dan kami melewati sawah yang baru selesai dibajak lalu kebun yang banyak pohon bambunya. Tiba-tiba ada bayangan baju putih yang bergerak-gerak dan berbunyi cit cit cit… suara itu semakin dekat semakin keras. Kami lirik sana sini tak ada warga yang melewati ataupun abang-abang ronda yang berkeliling, semilir angin yang sangat dingin membuat suasana semakin mencekam. Kamipun terdiam sejenak dari percakapan kami, berjalan dengan pelan sambil mencari tau asal suara dan apa dibalik bayangan baju putih itu. Tiba-tiba si Rohim menjaili si Ajis dengan mengusapkan bunga ilalang ketelinga si Ajis, dengan spontan si Ajis menjerit dan mengagetkan semuanya sehingga kami lari terbirit-birit dan tak diterduga kami lari hingga terperosok ke semak-semak, karena kegaduhan itu bayangan baju putih itu datang dan menghampiri kami sambil berkata “Yah Kenapa Kalian berisik sedikit lagi burung itu akan masuk kedalam perangapku, sambil menyenteri wajah kami semua. Dan aku mengenali suara itu, dan menyadari bahwa itu adalah pak Jae pemilik sawah yang kami lalui. Bayangan putih itu berasal dari pakaian yang dikenakan pak Jae, ia sedang berburu burung puyuh yang sering hinggap dipohon bambu, sambil melihat keadaan sawahnya ia memasang jebakan dan membunyikan suara cit..cit..cit.. supaya bisa mengundang perhatian burung puyuh tersebut supaya masuk pada perangkap yang sudah dipasangnya. Namun usahanya gagal karena kami yang membuat keributan dijalan. “Lain kali kalian kalau pulang bawalah penerang jalan jangan gelap-gelapan seperti ini, bahaya kalau sampai terperosok ataupun ada hewan liar yang mengancam keselamatan kalian semua, Pak Jae menasehati kami sambil tersenyum. Ia membawa obor yang besar Kemudian ia mengantar kami pulang kerumah. Disepanjang jalan pak Jae bercerita semasa ia kecil sepulang dari pengajiannya suka diajak bapaknya untuk mencari burung puyuh atau mencari belut di sawah, karena sering keluar rumah malam hari ia tidak pernah takut akan hantu “Kalau kita selalu ingat kepada Allah dan selalu berdoa insya Allah akan diselamatkan dari segala hal” ucap beliau. Dengan kompak kami menoleh kepada si Ajis “dengarkan Jis…” karena dia yang pertama menjerit dan membuat yang lainnya panik. “Lah aku beneran tidak mengada-ngada atau sengaja menjerit, toh ada yang mengusap telingaku sedang aku paling belakang kalau bukan hantu, siapa??”. Sedang yang lain berfikir si Rohim tersenyum dibelakang pak Jae, aku curiga “Ohim, jangan-jangan kamu yang menjaili si Ajis ya? tanya aku, “maaf aku kira dia tidak akan berteriak seheboh ini jadi aku usap telinganya dengan bunga ilalang, eh taunya rasa penakutnya melebihi aku” jawab si Rohim sambil menyengir. “Ya sudah lain kali jangan ada yang jail lagi, kalau diantara kalian ada yang celaka itu lebih bahaya mungkin Allah masih melindungi kalian, dan jadikan ini pelajaran jangan suka menjaili orang dikhawatirkan akan timbul bahaya” ujar pak Jae menasehati kami semua. Tak terasa satu persatu diantara kami sampai kerumah masing-masing. Kami berterima kasih kepada pak Jae karena bersedia mengantar kami pulang, “Lain kali kami bantu mencari burung puyuhnya ya pak” ujar aku sambil menyalami pak Jae.
Aku masuk rumah dan menyalami bapak dan ibuku, begitu lelahnya aku terbaring di kamarku yang beralaskan tikar mendong, seharian sepulang sekolah waktu yang ku isi hanya dengan bermain, coba kalau ada sekolah agama mungkin waktu luangku tak hanya dihabiskan untuk bermain, ada kala waktu mengaji tempat mengajinya yang jauh dan harus pulang malam dengan melewati banyak sawah kebun, dan ladang. Aku jadi teringat ucapan bapakku bagaimana cara memanfaatkan tanah itu supaya bermanfaat untuk orang banyak. Kampungku dengan kesuburannya yang dimiliki tidak sesubur pendidikan umum ataupun pendidikan agamanya, jadi pantas saja mata pencahariannya kebanyakn petani dan buruh harian, Ilmu pengetahuan belum berkembang ilmu agama hanya tokoh agama dan guru ngajiku yang tau, mereka sudah termakan usia, aku selalu berdoa semoga saja mereka selalu diberi kesehatan dan umur panjang sehingga dapat membimbing anak-anak kampung terus belajar. Lalu jika guru-guruku Allah panggil bagaimana keadaan kampungku? Siapa yang mengajari mereka? fikirku. Apakah ini yang dimaksud bapakku “Ah tapikan cita-citaku setinggi langit, level pertama aku ingin menjadi dokter karena pelajaran yang palingku gemari adalah IPA, level kedua ingin menjadi pramugari katanya pramugari itu cantik, tinggi, pokoknya dari ujung rambut sampai ujung kaki sempurna, badannya bak gitar spayol, uuhhh.. tapi cita-cita ini pernah dapat kritikan dari guru BK ku karena gigiku yang tak bershabat, hihi.. level ketiga aku ingin jadi bidan cita-cita ini dapat dukungan dari pamanku hingga ia sanggup membiayai kuliah sampai aku jadi bidan, “kamu punya otak lumayan jadi mamang berani biayai kamu sampai jadi bidan". Cita-cita level keempat karena aku sidikit tomboy dan paling hobi olah raga dan karate jadi sejenak aku berfikir cita-citaku ingin jadi polwan sja. dan level kelima… karena teringat ucapan bapakku sepertinya kalau yang kelima itu jadi guru deh, bukan hanya untuk orang lain, minimal untuk diri sendiri, adik, sanak saudara dan kelak anak-anakku, berharap bisa mengantarkannya sampai kegerbang kesuksesan…” ups.. aku berhayal tingkat tinggi apa tingkat dewa ya, fikirku sambil tertawa sendiri..
Dengan mengarungi perjalanan panjang yang penuh dengan cobaan, halangan, rintangan, kepedihan, dan suka duka mewarnai setiap romantika kehidupan, dengan petunjuk dan arahan dari seorang mursyid yang dengan penuh kasih saying dan keikhlasan membimbingku sampai dititik ini. Setelah beberapa tahun lamanya aku berada di kampungku, tepat di depan rumahku yang asalnya kebun yang berada dipinggir jalan raya tampaklah bangunan sekolah sederhana yang disetiap pagi riuh dengan suara canda tawa anak-anak Tk, siang hari anak-anak giat sekolah agama, sore hari dipenuhi anak-anak bermain sambil mengisi waktu bermainnya membaca buku-buku di taman baca, hingga larut malam anak-anak pengajian berkumpul bersama menghangatkan suasana kampung, semua tak lain hanya berharap keridhoan Allah selalu tercurah dan terlimpahkan. Tersadar dari kenangan masa kecilku bahwa cita-cita setinggi langit bukan hanya kedudukan yang tinggi dihadapan manusia, rasa ingin lebih dari orang lain, mempunyai jabatan lain dari yang lain, hal itu kadang bisa membutakan dan berpaling dari tujuan yang seharusnya, seharusnya sebagai hamba beribadah kepada Allah sesuai statusnya, malah berpaling niat mengejar dunia dan jauh dari-Nya. Kedudukan seorang anak yang hanya dapat meraih cita-cita dilevel sekian, namun kata-kata orang tua yang diiringi seuntaian doa yang selalu menyertainya lebih baik dan barokah dari kedudukan seorang anak yang berpangkat tinggi namun tak sesuai status hamba-Nya. Ada kebanggan tersendiri ketika apa yang kita punya kita dapatkan bisa bermanfaat bagi mereka, cukup hanya aku dan orang-orang sebelumku yang merasakan betapa sulit, pedih dan susahnya mendapatkan pendidikan, cukup sampai disini impian yang tak tersampaikan, cita-cita yang tinggal kenangan, sekarang harus menjadi awal dari berseminya harapan, mimpi dan cita-cita. Karena cita-cita terbaik bukan dilihat dari sukses dunia semata melainkan kebahagiaan akhirat yang menantinya bersama disyurga-Nya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Sukses selalu. Salam literasi
terima kasih pak, msh belajar.. Amin, salam literasi dan salam kenal juga.. saya folow ya pak..