Guru Artifisial
Pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2019 yang lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan bahwa dunia pendidikan kini telah memasuki fase baru. Para guru dituntut untuk mengembangkan desain pembelajaran berbasis teknologi digital dengan nuansa khazanah Indonesia. Proses pendidikan harus membawa perbaikan kehidupan dan menjawab tantangan zaman. Kehadiran Revolusi Industri 4.0 telah banyak berpengaruh pada cara hidup, bekerja dan belajar. Banyak peranan manusia kini digantikan oleh benda-benda smart (pintar) atau alat teknologi yang dibekali dengan rumus logaritma super canggih. Fakta bahwa kini kita memasuki belantara digital yang serba mudah, cepat, dan instan. Sebagai contoh, jika kita ingin membeli makanan tak perlu lagi beranjak keluar rumah, cukup bermodal smartphone dan aplikasi Go Food makanan sudah siap di depa pintu rumah kita. Kemampuan tersebut disebut dengan kecerdasan artifisial.
Kecerdasan artifisial juga telah merambah dunia pendidikan, tahun 2014 kita dikagumkan dengan kemunculan Ruangguru,sebuah platform pembelajaran berbasis online, proses belajar-mengajar sampai konsultasi PR yang semua itu dapat dilakukan secara digital. Ruangguru sendiri kini menjadi penyedia layanan pendidikan tebesar dengan 6 juta pengguna. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran platform pembelajaran berbasis digital memudahkan anak didik untuk belajar dimana pun dan kapan pun. Hari ini anak didik terkadang lebih tahu dari gurunya, pengetahuan tersebar di berbagai penjuru dan mudah diakses tanpa bantuan guru. Dengan demikin, seoalah anak didik memiliki guru artifisial yang mengakomodasi segala informasi pengetahuan yang mereka butuhkan. Pola pendidikan konvensional, identik dengan proses transfer informasi dari guru kepada siswa tidak lagi menjadi lebih penting. Karena semuanya telah disajikan guru artifisial dengan platform pembelajaran online.
Guru Artifisial, Cukupkah Memenuhi Peran Guru?
Telah menjadi pemahaman dan kesepakatan, bahwa pendidikan bukan hanya sekedar transfer information (pengetahuan) kepada anak didik. Lebih jauh lagi, pendidikan adalah proses untuk transfer of value (pewarisan nilai dan karakter). Benda-benda smart tidak akan mampu menghadirkan sisi kemanusiaan. Teknologi dan turunannya tidak bisa menjadi sosok teladan yang membina karakter dan akhlaq.
Begitu pula dengan platform pembelajaran online (guru artifisial) dan media digital lainnya tidak mampu memenuhi kebutuhan perasaan, menunjukkan empati, memberikan apresiasi, bersimpati dan memotivasi. Kecerdasan artifisial tidak akan mampu menggantikan manusia dalam bidang multi-disipliner, kreatif, dan interaksi manusiawi. Mendidik para calon manajer, entrepreneur, pengambil keputusan besar dan pemikir kritis, tidak akan mampu dilakukan oleh guru artifisial dan kecerdasan buatan. Sosok-sosok pekerja dan pemikir kritis tentunya lahir dari pola pendidikan tidak konvensional dan habitat yang mendukung.
Kolaborasi dengan Guru Artifisial
Kehadirian platform pembelajaran digital dan media digital lainnya haruslah disambut sebagai kemajuan yang positif. Guru harus mampu memberikan sasuatu yang tidak dapat diberikan oleh teknologi. Kehadiran guru artifisial dapat menjadi partner para pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak didik. Jika guru artifisial menyajikan ragam informasi berlimpah, maka pendidik memiliki tugas untuk menghadirkan komunitas belajar yang menekankan kemampuan berpikir, kreatif, kolaborasi, dan pemecahan masalah secara nyata dalam pengalaman belajar anak didik. Agar anak didik tidak digilas oleh benda-benda smart berbasis kecerdasan artifisial di masa depannya nanti.
Lebih lanjut pendidik berkolaborasi dengan guru artifisial untuk menghadirkan pendidikan (sekolah) yang tidak membebani anak didik dengan banyaknya materi belajar. Sebagaimana asal mula sekolah di masa awal Yunani kuno. Terminologi ‘skhola’ yang berarti waktu senggang atau diskusi santai, wadah untuk mendapat pengetahuan yang berguna bagi kehidupan.Berawal dari sini, sekolah harusnya menjadi wadah yang menyenangkan dan membawa perasaan bahagia dan tidak menjadi beban bagi anak didik. Sebab hingga kini masih menjamus sebuah anggapan bahwa sekolah merupakan “penjara” yang menuntut segenap anak didik bersusah payah demi kebahagiaan yang ditunda di masa depan. Hadirnya guru artifisial dengan segala konten digital diharapkan dapat membantu pendidik mengahadirkan pembelajaran berbasis teknologi yang tetap menjaga pola-pola pembelajaran bermakna. Dan merawat fitrah serta membangkitkan segala potensi yang dianugerahkan Allah Swt.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Teeim kasih, istilah baru dan tantangan baru
Mantap pak