ADAPTASI KEBIASAAN BARU PADA NEW NORMAL
#Tantangan menulis ke-9
Sejak Covid-19 mulai mewabah di Indonesia, sejak saat itu pula, kehidupan sehari-hari kita menjadi tidak normal. Tidak ada kebebasan seperti yang biasa kita nikmati sebelumnya. Kita dipaksa familier dengan istilah-istilah asing yang sebelumnya jarang kita dengar, seperti social distancing, physical distancing, study from home, work from home, lockdown dan banyak lagi istilah yang membuat kita harus mengernyitkan dahi. Sejak pandemi Covid-19 ini merebak, pikiran dan perasaan kita menjadi serba khawatir, curiga, takut, dan tegang .
Kalau kita terpaksa harus ke luar rumah, karena ada keperluan penting misalnya, maka harus siap memakai masker. Tanpa masker, dijamin akan pulang kembali karena dihadang Polisi di tengah jalan. Demikian juga jika kita akan masuk kantor, baik instansi pemerintah maupun swasta, di depan pintu harus cuci tangan terlebih dahulu pakai sabun atau kita tadahkan tangan untuk disemprot hand sanitizer oleh petugas. Ketika di dalam ruanganpun tidak bisa sembarangan duduk di kursi tunggu, ada banyak kursi yang diberi tanda silang. Pak Satpam dengan sigap mengawasi jangan sampai ada orang yang duduk di kursi yang bertanda silang, dan satu hal lagi yang harus kita perhatikan, sebisa mungkin kita jangan sampai batuk di dalam ruangan. Jika sampai terbatuk-batuk, setiap mata akan menatap kita dengan nanar dan penuh curiga, seakan-akan kita terdakwa pembawa Covid-19.
Seandainya keadaan abnormal ini terjadi dalam hitungan hari atau minggu, mungkin tidak akan terlalu membuat pusing kepala. Situasi dapat segera teratasi dan kembali pada keadaan semula. Akan tetapi hal ini terjadi sudah hampir tiga bulan dan tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Orang cukup lama terkurung dalam rumah. Banyak kegiatan dan usaha tertunda .Tentu hal ini akan menjadi masalah besar jika terus berlanjut. Bukan hanya pandemi Covid-19 yang membuat hidup kita terancam, tapi ekonomi yang terpuruk bisa menjadi malapetaka yang jauh lebih berbahaya. Perut kosong dapat membuat siapapun bisa berbuat nekat.
Setelah sekian lama roda ekonomi mulai melambat dan masyarakat mulai gelisah, karena hidup terkurung dalam batasan-batasan, pemerintah sedikit demi sedikit mulai melonggarkan aturan, yang disebut relaksasi. Tentu ini bukan pilihan yang terbaik. Bagaikan menghadapi buah simalakama. Memang, diam di rumah adalah cara terbaik memutus rantai penyebaran Virus Corona, tetapi bertahan di rumah dalam jangka waktu yang panjang tanpa kegiatan yang menghasilkan, tentu sangat riskan secara ekonomi.
Menurut para ahli, virus Covid-19 tidak bisa sepenuhnya hilang dari lingkungan kita.Virus ini akan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Jika demikian, kita harus siap memulai babak baru kehidupan yang tidak akan sama dengan sebelum ada Covid-19. Tidak bisa back to normal, karena keberadaan virus ini akan selalu mengancam keselamatan kita. Babak baru kehidupan yang akan kita jalani ini, sekarang lagi ngetrend di sebut “New Normal” atau “Kenormalan Baru”.
Apakah pola hidup yang baru ini tidak ribet? Jelas ribet. Apakah akan nyaman? Jelas tidak nyaman. Setiap keluar rumah harus memakai masker, harus sering cuci tangan, membawa handsanitizer, menghindari kerumunan dan menjaga jarak. Tapi inilah pilihan satu-satunya yang kita punya, setidaknya sampai saat ini. Ini adalah cara penyesuaian yang bisa dilakukan manusia untuk dapat melanjutkan kehidupan ke depan, yang disebut adaptasi. Kesadaran untuk beradaptasi pada situasi dan kondisi baru inilah tantangan yang ada di depan mata. Sampai kapan? Sampai ditemukan obat penangkalnya atau vaksinnya secara permanen.
Adaptasi adalah cara penyesuaian diri makhluk hidup terhadap situasi yang dialami untuk dapat mempertahankan hidupnya. Ini adalah cara alamiah yang dikaruniakan Tuhan kepada makhluknya. Kita harus bersyukur, karena dengan cara adaptasi inilah kita akan lulus dari seleksi alam. Kita akan bisa survive dan dapat melanjutkan kehidupan ke depan.
Di jagad medsos, banyak orang mempermasalahkan istilah “Perang terhadap Corona” dengan “Berdamai dengan Corona”. Atau meributkan istilah antara “New Normal” dengan “Back to Normal”. Pro kontra tak dapat terhindarkan. Tapi yang urgent sekarang apakah meributkan istilah? Nampaknya yang terpenting adalah kita harus bersatu, menata kesadaran diri dan merapatkan barisan untuk mempersiapkan diri menyambut tatanan kehidupan baru.
Kalau istilah ”New Normal” membuat sebagian orang “alergi”, bagaimana kalau kita pakai istilah lain yang artinya kurang lebih sama, misalnya “Adaptasi Kebiasaan Baru” atau “AKB”. Mudah-mudahan istilah ini lebih mencerahkan dan tidak menjadi polemik lagi. Karena adaptasi adalah suatu keniscayaan dan anugerah yang sangat berharga yang merupakan senjata pamungkas kita melanjutkan kehidupan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wow...keren Pak
Terima kasih supportnya bu...
Cucok...AKB....Adaptasi Keadaan atau Kebiasaan Baru....
Ia bu. Semoga masyarakat sadar utk disiplin dan tertib Beradaptasi. Salam literasi bu Kade....
mantap pak
Teriima kasih bu. Salam literasi...
Keren menewen pak
Terima kasih. Salam literasi bu
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
Keren menewen pak
New normal dg laporan suhu,,,, hehehehe
Terima kasih bu. Yang penting tetap ada Normalnya bu...