Ririk Rijanarto

Saya guru Fisika yang ingin belajar menulis juga. Bismillah.......

Selengkapnya
Navigasi Web
DUA PULUH ENAM TAHUN YANG LALU (BAGIAN I)

DUA PULUH ENAM TAHUN YANG LALU (BAGIAN I)

#tantangan ke-2

Bandar Udara Internasional Ahmad Yani Semarang pagi itu kelihatan masih lengang. Aku, Herman, Gatot, Azis , Ari dan Choirul tiba lebih pagi dari calon-calon penumpang lainnya. Tak tampak seorangpun calon penumpang selain kami di ruang tunggu. Tas ransel dan handbag besar kuletakkan di atas kursi panjang. Lalu aku mencari tempat duduk yang nyaman yang berhadapan langsung dengan landasan pesawat .

Dari balik kaca di ruang tunggu aku melihat sisa air hujan semalam masih tampak berkaca-kaca di permukaan landasan. Gerimis haluspun masih menghiasi langit di atas bandara. Geliat aktivitas penerbangan baru akan dimulai.Tampak air memercik dari roda-roda pesawat yang maju mundur mengatur posisi parkir. Ada tiga pesawat berbadan besar tampak gagah berjejer rapi tepat di lintasan terdepan. Aku menghela napas panjang. Hari ini aku benar-benar akan terbang untuk pertama kalinya selama hidup, pikirku.Di kejauhan tepat di pojok kiri landasan aku melihat ada dua pesawat kecil parkir yang nampaknya sedang diperbaiki oleh beberapa orang tenaga mekanik.

Kira-kira satu jam kami menunggu, jam keberangkatan kamipun tiba. Terdengar pengumuman di pengeras suara bahwa penumpang dengan tujuan Kota Pontianak dipersilakan menuju pesawat DAS. Aku bergegas menuju landasan. Sambil berjalan aku perhatikan ada tiga pesawat besar dan gagah di depan sana. Entah yang mana pesawat DAS ini, pikirku. Petugas mengarahkan kami menuju pojok kiri landasan melewati tiga pesawat berbadan besar yang sejak awal kami perhatikan. Oh...ternyata pesawat kami bukan salah satu di antara tiga pesawat besar tadi. Rupanya pesawat yang akan menerbangkan kami adalah pesawat kecil di pojok landasan yang tampak diperbaiki oleh beberapa orang tenaga mekanik tadi.

Inilah pertama kali aku akan naik pesawat. Diradja Air Service ( DAS). Nama pesawat ini terdengar asing di telinga kami, tidak seperti pesawat Merpati atau Garuda yang sudah sangat dikenal masyarakat dan sangat melegenda. Padahal sebelumnya aku sudah membayangkan, bahwa aku akan naik pesawat yang besar dengan fasilitas yang mewah, dengan pelayanan dari pramugara dan pramugari sama seperti yang aku lihat di televisi. Aku baru sadar bahwa aku akan terbang bersama pesawat perintis dengan kapasitas penumpang hanya 8 orang, pesawat khusus untuk perjalanan rute pendek. Besarnya tak berbeda jauh dari LIN kampus ( angkot kampus) yang biasa kutumpangi setiap hari ketika masih kuliah. Pesawat ini biasa mengitari pulau-pulau kecil, tidak ada pramugara-pramugari di dalam pesawat. Semuanya dirangkap oleh pilot dan co- pilot. Satu-satunya fasilitas pelayanan yang kami dapatkan adalah sebuah kotak kue yang berisi tiga buah kue dan air mineral di dalam nya.

Selama satu jam penerbangan, kotak kue dan minuman tetap dalam genggaman, tak sempat kami nikmati. Kami terkesima dan gugup melihat awan-awan yang berputar di sekitar pesawat. Setiap melewati gumpalan awan hitam , terasa melewati gundukan tanah. Ketika itu hujan lebat sekali. Sesekali ada kilatan petir membelah angkasa, disusul gemuruh suara guntur . Aku lihat sayap pesawat diterpa air hujan sangat kencang. Badan pesawat sampai bergetar, rasanya seperti saat naik sepeda motor di jalan berbatu.

“Ya Tuhan selamatkan kami”, aku bergumam dalam hati.

Aku tak henti-henti berdoa sembari melihat raut wajah Herman, Gatot, Azis dan Ari yang tampak pucat. Kami saling berpandangan. Choirul tampak komat-kamit membaca Surah Yasin dengan begitu khusu’ di sebelah kiriku. Rasanya aku seperti debu yang diterbangkan angin yang bisa jatuh dimanapun angin melepaskanku.

Pagi itu sekitar pukul 10.00 WITA, pesawat DAS yang aku dan teman-teman tumpangi berhasil landing dengan mulus di Bandara Supadio Pontianak, Kalimantan Barat. Setelah pesawat berhenti, kami turun bergantian melalui tangga sebelah kiri. Di kanan dan kiri bandara berderet pepohonan besar yang jarang aku temui di kampung halaman. Udara terasa sangat segar namun mata terasa tidak nyaman ketika sinar matahari ikut menyambut kedatangan kami berenam. Benar kata orang, panas matahari di daerah garis khatulistiwa sangat menyengat dan jauh lebih panas dari daerah lainnya.

Aku dan kelima temanku merupakan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari Jawa Timur yang ditugaskan untuk berdinas mengajar di Propinsi Kalimantan Barat. Maklum waktu itu belum otonomi daerah, sehingga Calon Pegawai Negeri Sipil harus bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia. Tidak ada pilihan lain, kami harus berangkat walaupun dengan beban maha berat meninggalkan kampung halaman. Meninggalkan orang tua, saudara dan sahabat-sahabat tercinta. Aku kuatkan tekad, karena aku yakin, kesempatan yang sama belum tentu datang untuk yang kedua kalinya.

#tantangan ke-2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap pak

24 May
Balas

Trims

24 May

Mantap pak

24 May
Balas

Terima kasih supportnya bu...

24 May

Lancaarrr jaya rupanya,,,

24 May
Balas

Berkat dorongan dari para senior he..he. Trims.

24 May



search

New Post