Ririk Rijanarto

Saya guru Fisika yang ingin belajar menulis juga. Bismillah.......

Selengkapnya
Navigasi Web
DUA PULUH ENAM TAHUN YANG LALU (BAGIAN IV )

DUA PULUH ENAM TAHUN YANG LALU (BAGIAN IV )

#tantangan ke-5

 

 

Aku berdiri di tepi sungai, tak jauh dari rumah dinas. Sungai ini tak ubahnya seperti danau yang tak tentu ujungnya. Membentang  luas dengan warna air  kemerahan serupa  teh tawar. Aku seperti sedang berada di tepi danau.

 

 Di bawah sapuan cahaya matahari pagi, air Sungai Kapuas tampak berkilau. Angin semilir menggerakkan daun- daun mangrove  di tepi sungai.  Burung sriti berloncatan kesana kemari bercengkrama dengan riangnya. Gelombang kecil di permukaan  beriringan saling berkejaran  menuju bibir sungai.

 

Ini minggu pertamaku  di perantauan. Dari jauh kulihat  ada dua kapal besar bersandar. Tampak crane sedang memindah petikemas dari satu kapal ke kapal yang lainnya. Tertulis di lambungnya,” Singapore” dan yang satu  lagi “Australia. Puluhan perahu kecil lalu lalang diantara kapal-kapal besar. Setiap kapal datang, perahu-perahu berebut menghampiri untuk menawarkan barang dagangan ke awak kapal. Layaknya semut mengerumuni tumpukan gula. Dari bawah kapal ada yang  berteriak  ,” Nasi Padang,Lima Belas Ribu, Es Tebu , Dua Ribu”. Lalu dibentangkan kertas manila putih yang tulisannya sudah agak kusam mengarah ke atas kapal yang bertuliskan “ Padang Steamed rice , Rp. 15.000, Sugar Cane Ice ,Rp. 2000” . Seorang awak kapal menengok ke bawah lalu menurunkan timba yang tergantung pada seutas  tali. Si pedagang mengambil uang di dalam timba, lalu membaca secarik kertas.  Beberapa bungkus nasi padang dan es tebu dimasukkan.Timba kemudian ditarik ke atas kapal. “Transaksi yang unik”, pikirku sambil tersenyum. Perahu kecil kemudian menjauhi kapal menuju dermaga.

 

Gunadi, muridku menyusul di belakangku. Sejak aku datang, seminggu yang lalu, ia sering menemaniku di rumah dinas. Aku bersyukur, ada teman ngobrol dan  jadi semacam guide sukarela , sehingga aku dapat  belajar beradaptasi di tempat yang baru dengan lebih cepat.

“ Gun, air sungai di sini aneh warnanya”.

“ Kenapa pula pak, warna merahke? Memang setiap orang  baru di sini , pasti menanyakan itu pak, selain rumah panggung” .

“ Aku mengangguk, kenapa itu Gun?”

“ Tanah gambut  sebabnye pak. Itu kan sisa lapukan pokok pohon, daun dan getah di hulu yang  terendam air, jadi macam air teh jadinya.”

Aku mendengarkan cerita Gunadi dengan takjub sambil menganggukkan kepala.

“Tapi itu bersih pak. Malah bagos untuk mandi kata orang sini, ada banyak macam getah larut di air, baek untuk kulit” .

 

Aku berjalan mendekati kaki Jembatan Kapuas. Kapal Tongkang yang memuat tumpukan balok kayu besar melintas di bawah jembatan yang di atasnya tampak lalu lalang sepeda motor, mobil , bus dan truk  menuju seberang kota. Pemandangan unik  yang entah berapa kali  aku temui di tempat baruku ini.

“ Gun, kapan-kapan aku ingin menyisir tepian Sungai Kapuas naik perahu sambil mancing“

“ Boleh pak, sewa perahu di sini tak mahal”.

“ Aku juga nanti ingin  berenang”,kataku .

Gunadi menatapku dan berkata,” Bapak berani ke  mandi di sungai?”

“Aku waktu kecil di Jawa sering  mandi di sungai, tak masalah”.

” Hati-hati pak, kata orang sini, kalau sudah pernah mandi di Sungai Kapuas tak mau balek lagi ke kampung halaman”.

“ Ah yang benar kamu Gun”, kataku setengah tak percaya.

“ Benarlah pak, kamek tak bohong. Banyak orang Jawe yang akhirnya kerasan di sini dan tak mau balek kampung”, Gunadi meyakinkan.

 

Aku menoleh dan menatap Gunadi yang tersenyum simpul. Kalau tidak salah aku pernah beberapa kali mendengar cerita seperti itu dari teman-teman guru di  kantor . Semula aku  mengira mungkin ini semacam candaan atau semacam plonco untuk anggota komunitas baru, seperti aku yang baru datang. Biasanya aku cuma tersenyum saja mendengar cerita seperti itu. Tapi lama kelamaan ada terbersit pertanyaan juga dalam hati. Ini sekedar cerita,  mitos atau apa? Sepertinya cerita ini sangat diyakini orang-orang di sini. Tapi ,apa hubungannya mandi di Sungai  Kapuas dengan pulang kampung, pikirku. Sepertinya tidak  ada kaitan sama sekali, tidak logis. Aku tidak percaya.  Aku hanya sementara di sini dan  suatu saat aku akan pulang kampung, begitu tekadku dalam hati.

 

 Tiba-tiba ada  kegundahan yang mulai  merasuki  pikiran dan memacu degup jantungku lebih cepat . Rasa khawatir bahwa aku benar-benar tidak akan bisa pulang menghantui perasaan. Pikiranku seperti diselimuti kabut pekat. Ada ketakutan menjalani waktu ke depan.  Aku jadi teringat semua kenangan manis di kampung halaman. Ingat kedua orang tua, saudara, dan teman-teman. Ada rasa rindu yang semakin menebal.

“ Jadi pak sewa perahunya?” Gunadi mengagetkanku.

“ Oh..jadi..jadi..tapi minggu depan ya Gun”, kataku. 

“Iye pak, kamek siapkan minggu depan pak”.

 

Mungkin minggu depan aku  masih tertarik memancing di atas perahu di sepanjang tepi Sungai Kapuas,tapi untuk mandi dan berenang rasanya tidak dalam waktu dekat ini. Aku memang tidak percaya mitos, tapi cerita Gunadi  cukup mengganggu pikiranku. Tiba-tiba aku ingin segera tidur untuk dapat melupakan sejenak kegalauan pikiran yang mulai merasuki perasaan.

“Gun , bapak mau istirahat dulu ya, ngantuk”.

“ Iye pak, tidur dulu pak, biar segar.

Nanti sore kita jalan-jalan ke Tugu Khatulistiwa. Bagos pak”, kata Gunadi.

“ Ya..ya... lihat apa kata nantilah”, kataku kurang bersemangat

sambil berjalan gontai menuju  rumah.

 

 

Walaupun sudah hampir setengah jam terbaring, mata ini ternyata belum juga bisa diajak mengatup. Sekujur tubuh terasa lemah sekali. Lamunanku malah sampai ke kampung halaman lagi. Meninggalkan kampung halaman ternyata memang  tidak mudah. Kenangan yang tertinggal ternyata mengikuti  dan sulit  untuk dilupakan. Tapi kenyataannya  aku sudah di seberang lautan, entah untuk berapa tahun lamanya. Hati kecilku sedang menimbang-nimbang antara harapan dan kenyataan. Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan perjalanan hidup ini ke depan. Aku pernah mendengar pepatah, “ di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung”. Hemmm.....sepertinya makna pepatah ini yang paling mungkin akan aku jalani ke depan. Biarlah semuanya mengalir apa adanya, seperti air menuju muaranya. Huwwaiiii....,mulut sudah bisa menguap, rasanya  sekarang aku benar-benar mengantuk.

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post