Ririk Rijanarto

Saya guru Fisika yang ingin belajar menulis juga. Bismillah.......

Selengkapnya
Navigasi Web
FADLAN

FADLAN

#tantangan menulis ke-20

#pentigraf 7

Fadlan, anak kelas 8A dikenal sebagai anak yang pendiam. Hanya untuk hal-hal penting saja dia mau bicara, sukanya menyendiri, seperti sedang menyimpan rapat rahasia kehidupannya. Tapi kalau soal pekerjaan, jangan ditanya. Fadlan sangat cekatan bekerja apa saja. Sedikit bicara, banyak bekerja. Guru-guru cukup terbantu jika dia masuk sekolah. Kebersihan kelas terjaga, setiap pergantian jam papan tulis bersih, ia selalu siap di pintu kelas menyambut guru, bersalaman, membawakan tumpukan buku tugas yang akan dikembalikan kepada siswa. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Fadlan. Cuma sayangnya , ia sering terlambat masuk sekolah, bahkan dalam satu minggu pasti ada hari dimana ia tidak masuk sekolah. Aku sebagai wali kelas dan Bu Ivon sebagai guru BK sudah beberapa kali memanggilnya untuk di beri bimbingan. Dua kali panggilan orang tua, yang datang pamannya. Biasanya Fadlan akan sungguh-sungguh meminta maaf dan menyatakan bahwa ia tidak sengaja membolos. Selebihnya ia tidak mau bercerita apapun tentang masalahnya.

Tak terasa sudah tiba waktunya rapat kenaikan kelas. Agenda rapat berjalan lancar. Namun pada saat membicarakan Fadlan, diskusi menjadi lama. Penanggung jawab urusan kurikulum menyampaikan bahwa jumlah ketidakhadiran Fadlan dalam satu semester melebihi batas untuk dapat dinyatakan naik kelas . Diskusi agak panas, saya memperjuangkan supaya Fadlan diberi toleransi, karena hasil ulangannya baik , demikian juga tentang sikap prilakunya , sopan, ramah, suka membantu dan sangat menghomati guru . "Bukankah itu semua sebenarnya tujuan kita mendidik siswa , dan itu semua ada pada diri Fadlan", aku coba beralasan agar bisa membantu Fadlan. Guru yang lain menimpali, "sebaiknya kita tunduk saja pada kriteria kenaikan kelas yang sudah disepakati. Siapapun yang tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas, tidak bisa naik. Tidak ada toleransi lagi. Itulah gunanya peraturan”, katanya. Kepala Sekolah setuju untuk menegakkan peraturan yang telah disepakati. Aku tidak bisa membelanya lagi. Aku pasrah, walaupun tetap ada rasa yang mengganjal di dalam hati. Ini adalah keputusan benar yang tidak memuaskan, pikirku. Akhirnya Fadlan benar-benar tidak bisa naik kelas.

Saat liburan sekolah, sehari setelah penerimaan rapor, aku bersama istri dan anakku mencari tempat wisata yang menarik, tapi yang tidak terlampau jauh. Kali ini pilihannya adalah tempat wisata Kawah Ijen. Pemandangan di sepanjang perjalanan sangat indah. Sejauh mata memandang tampak hamparan hijau kebun kopi. Jalanan berliku dan menanjak membuat adrenalinku terpacu. Ketika melewati pos pemeriksaan Malabar, mobil terasa oleng ke kiri. Semakin lama semakin parah, memaksaku berhenti tepat di depan kios bensin kecil dan tempat vulkanisir ban. Seorang anak lelaki menghampiriku, " assalamaualikum pak, kenapa mobilnya pak?", katanya menyapaku. Aku kaget, "kamu Fadlan, kok ada disini?". "Rumah saya memang di sini pak ", katanya tersenyum. Melihat ban mobilku kempes, dengan sigap Fadlan mengambil peralatannya. Dia bekerja sendiri, sangat cekatan, sepertinya sudah sangat terlatih. Sebenarnya ini pekerjaan orang dewasa, tapi ia mampu melakukannya. Setengah jam kemudian, ban serep sudah terpasang. Mobil siap berjalan lagi. " Ngomong-ngomong, dengan siapa kamu di sini?", tanyaku. "Saya berdua dengan ayah, pak", katanya sambil menoleh ke gubuk kecil di belakang kios. Aku merasa sangat iba ketika Fadlan memperkenalkan ayahnya yang terbaring sakit di tempat tidur beralaskan tikar. "Sakit apa ayahmu, Nak?, aku bertanya. Fadlan menceritakan bahwa setelah setahun ayahnya ditinggal ibunya bekerja sebagai TKW di Malaysia, ayah Fadlan kena serangan stroke. Sejak saat itu ayahnya tidak bisa lagi bekerja sebagai kuli kebun kopi dan terbaring lemah di tempat tidur. "Itulah pak, mengapa saya sering tidak masuk sekolah, karena harus merawat ayah, kadang-kadang ayah tidak bisa ditinggal ", Fadlan menjelaskan. Aku hampiri Fadlan, aku peluk dia di depan ayahnya yang hanya bisa memandang kami dengan berurai air mata. Istri dan anakku berdiri mematung dengan tangan bersedekap dan mata berkaca-kaca. Aku usap kepala Fadlan. Di sekolahmu kau memang tidak naik kelas, tapi di masyarakat kau adalah juaranya, gumamku dalam hati.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yg bagus, menyentuh, bikin haru. Tapi sebagai pentigraf, pada paragraf ketiga masih terlalu banyak dialog. Kata prof Tengsoe, pentigraf yg baik jangan banyak dialog. Cukup 1 kalimat labgsung dlm tiap paragraf

21 Jun
Balas

Ia pak. Terima kasih masukannya. Akan diperbaiki ke depannya

21 Jun

Semoga masa depan Fadlan cerah,,,,keren pak

20 Jun
Balas

Terima kasih bu. Salam literasi

20 Jun

Semoga sukses Fadlan, jadi anak shaleh

21 Jun
Balas

Aamiin....terima kasih bu

21 Jun



search

New Post