Ririk Rijanarto

Saya guru Fisika yang ingin belajar menulis juga. Bismillah.......

Selengkapnya
Navigasi Web
HANDPHONE KENANGAN

HANDPHONE KENANGAN

#tantangan menulis ke-18

#pentigraf 6

Di masa pandemi Covid-19 ini, sekolahku dituntut untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang inovatif, sesuai dengan situasi yang tengah terjadi. Sistem belajar harus dapat beradaptasi dengan kondisi baru. Karena tidak dapat belajar secara tatap muka, maka aku dan siswa melaksanakan pembelajaran secara online atau daring. Tiap hari aku harus menyiapkan materi pelajaran dan soal-soal, lalu aku bagikan ke siswa melalui grup WhatsApp sekolahku, SMPN 1 Sukosari. Sehari kemudian, siswa mengirim jawaban soal secara pribadi ke kontak WhatsApp-ku. Itu sudah berlangsung tiga bulan. Aku rasa sampai saat ini, pembelajaran daring cukup efektif menjadi solusi bagi guru dan siswa menggantikan pembelajaran secara tatap muka yang tidak dapat dilakukan. Jadi , tiap hari kegiatan rutinku adalah membuka WhatsApp untuk melihat jawaban siswaku satu persatu. Aku cukup senang, banyak siswa yang sudah mengirimkan jawaban. Walaupun ada juga sebagian yang belum, sehingga nilainya masih aku kosongi.

Sore itu hujan baru saja reda. Aku duduk di kursi teras rumah sambil melihat jawaban siswa di kontak WhatsApp. Tiba-tiba ada seorang lelaki setengah baya, mengayuh sepeda menuju halaman rumah, kemudian tergesa-gesa turun dan menyandarkan sepedanya pada pohon mangga di samping rumah. Aku sambut dia dan aku persilahkan masuk ke dalam rumah. Masih dengan sedikit terengah-tengah orang itu menolak, menunjukkan kalau bajunya basah kuyub kena hujan. Aku gandeng tangannya, dan kupersilakan duduk di kursi teras. " Maaf, ada keperluan apa ya pak", aku mencoba membuka pembicaraan. Orang itu diam sesaat, menghela napas dalam-dalam, matanya menerawang, lalu berucap," perkenalkan pak, saya Pak Marji, orang tua Fitri, siswi bapak kelas 9A. Maafkan saya pak, saya belum bisa membelikan hape untuk Fitri. Tiap hari ia menangis, karena tidak bisa belajar pakai hape seperti teman-temannya. Saya belum ada rejeki pak", katanya. Aku terkesiap. Sejenak aku terdiam tidak bisa berkata-kata. Aku berpikir keras bagaimana akan menjawabnya. "Pak, kalau belum punya hape tidak apa-apa, sampaikan saja pada Fitri untuk menjawab soal yang ada di buku paket. Lalu kumpulkan ke sini pak, sama saja", kataku mencoba menenangkan. Pak Marji mengusap wajahnya dengan sapu tangan, mengangguk-anggukkan kepala. "Terima kasih pak guru, tapi apa nanti bisa naik kelas juga", Pak Marji ingin memastikan. " Pasti pak. Kalau Fitri rajin mengerjakan soal, akan naik kelas, sama seperti teman-temannya", aku menjelaskan. Pak Marji menjabat tanganku, “terima kasih pak, tapi saya akan berusaha, Fitri harus punya hape juga pak", katanya . Aku memandangnya dengan iba, tapi tampak dari sorot mata dan guratan raut mukanya, Pak Marji mempunyai keinginan yang kuat untuk berusaha. Setelah mengucapkan terima kasih, Pak Marji buru- buru pamit. Aku coba cegah karena masih ada rintik hujan. Tapi Pak Marji nekat pulang, cepat-cepat mengayuh sepedanya diiringi gerimis di sepanjang jalan.

Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang asyik membuka WhatsApp, aku melihat ada kiriman jawaban soal atas nama Fitri, kelas 9A. Aku tersenyum, akhirnya terkabul juga keinginan Fitri, pikirku. Pak Marji telah memenuhi janjinya untuk membelikan Fitri sebuah hape. Segera aku tulis sms untuk Fitri, aku kirim ucapan selamat atas hape barunya. Tak lupa aku titip salam hormat pada Bapaknya. Sesaat kemudian aku terima jawaban sms dari Fitri yang membuatku terperanjat kaget, " terima kasih salamnya Pak Guru, tapi Bapak sudah tidak ada, Bapak meninggal tiga hari yang lalu. Maafkan kesalahan Bapak ya Pak,”. tulisnya. Buru-buru aku telepon Fitri, “ Innalillahi wainnailaihi rojiun, aku turut berduka cita Fitri. Semoga almarhum Husnul khotimah, tapi sakit apa Bapak, Fitri?”. Dengan suara lirih dan bergetar, Fitri menjawab terbata-bata, ” sepulang dari membelikan Fitri sebuah hape di toko, Bapak kehujanan di jalan. Sesampainya di rumah, Bapak merasa dadanya sesak. Penyakit asma Bapak kambuh. Buru-buru kami bawa ke puskesmas. Tapi Allah berkehendak lain, Pak Guru...”, Fitri terisak-isak menahan tangis.Tanganku agak bergetar, hape tetap dalam genggaman, masih menempel di telinga. Tapi aku tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Hanya dari seberang sana samar-samar aku dengar suara orang mengaji, semakin lama suaranya terdengar semakin keras. (rik)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Duuuh yaa Allah pa sedih banget bacanya, apakah ini kisah nyata murid bapa

18 Jun
Balas

Sebagian nyata bu. Tapi lebih di dramatisir bu. Terima kasih sudah berkunjung .Salam literasi

18 Jun

Akhirnya terkabul juga keinginan ayah Fitri untuk membelikan Fitri sebuah hape,,, Alhamdulillah.,,salam buat Fitri pak

17 Jun
Balas

Terima kasih bu Antri. Doakan Fitri mau masuk SMA bu...

17 Jun



search

New Post