#tantangan menulis ke-39

#pentigraf 29

Jika saat itu Marto tidak mengganggu hubunganku dengan Ayu, mungkin Ayu sudah menjadi istriku sekarang. Bukan menjadi istri Marto, anak tuan tanah di desaku. Tapi, aku percaya setiap perbuatan akan ada balasannya. Roda nasib akan terus berputar. Seperti yang dialami Marto sekarang. Ia sedang jatuh terpuruk ekonominya. Baru saja Ia kalah telak dalam Pilkades. Hartanya habis untuk membiayai ambisi besarnya untuk meraih kemenangan dan kekuasaan dengan segala cara.

Melihat keadaan Marto dan Ayu sekarang, sesungguhnya aku merasa iba, walaupun hatiku pernah dibuatnya remuk redam. Dulu, aku berpacaran dengan Ayu hampir lima tahun. Kami saling menyayangi. Tiba-tiba ada orang ketiga masuk memanfaatkan kekayaannya. Orang tua Ayu termakan strategi Marto. Ayu dipaksa memilih Marto karena lebih kaya. Apa boleh buat aku terpaksa mundur perlahan sambil menahan perihnya hati yang tercampakkan. Perlu waktu lama aku memulihkan kepercayaan diri sebelum akhirnya aku menemukan pekerjaan yang membawaku mencapai kesuksesan dalam bisnis pertanian seperti sekarang ini.

Sehari setelah pelaksanaan pilkades, banyak koran lokal, baik cetak maupun digital mengulas kekalahan Marto yang sangat dramatis. Semua survey sebelum hari pemilihan mengunggulkan Marto jauh di atas lawannya. Pasar taruhan meyakini Marto akan menjadi pemenangnya. Tapi pada saat pemilihan, masyarakat berbalik arah. Ditengarai, di pihak lawan ada orang yang piawai mengatur strategi dan kuat membiayai pertarungan ini, yang akhirnya mampu mengubah keadaan. Orang ini bermain tidak hanya untuk mengejar kemenangan dan kekuasaan, tapi dilandasi rasa dendam masa lalu. Membaca ulasan berita itu, aku tersenyum sendiri. Wartawan yang cerdas, gumamku. Aku seruput kopi kesukaanku. " Maafkan aku Marto, permainan kita belum usai," kataku dalam hati.