Ririk Rijanarto

Saya guru Fisika yang ingin belajar menulis juga. Bismillah.......

Selengkapnya
Navigasi Web
TIKUNGAN KE SEPULUH

TIKUNGAN KE SEPULUH

#tantangan menulis ke -21

#pentigraf 8

 

 

Melewati jalan yang sama setiap hari, selama hampir setahun , membuatku hapal betul berapa tikungan yang harus kulalui dari rumah sampai ke Puskesmas, tempatku berdinas sebagai perawat. Pada tikungan ke sepuluh menuju jalur tanjakan, biasanya Bu Painem sudah menunggu di bawah pohon asam dengan dua tas besar berisi barang dagangan. Orang tua ini nampaknya sudah sangat hapal dengan mobil tuaku. Begitu mobil muncul di tikungan, dia melambaikan tangan, tanda mau menumpang menuju perkebunan kopi, tempatnya menggelar lapak dagangan. Di perjalanan, Bu Painem sering bercerita bahwa usaha kerasnya ini untuk menutup kebutuhan sehari- hari dan biaya kuliah putri semata wayangnya, yang sudah ditinggal ayahnya sejak kelas enam SD. Putrinya sejak kecil memiliki cita-cita yang tinggi, ingin kuliah. Untungnya sejak SD sampai dengan kuliah, karena prestasinya, selalu mendapat beasiswa  dari pemerintah. Jadi sangat meringankan  beban Bu Painem.

 

Akhir-akhir ini Bu Painem sering tidak berdagang . Aku menduga mungkin dia sakit, maklum usianya sudah semakin sepuh. Tenaganya sudah banyak berkurang, hanya semangatnya saja yang tetap menggebu.  Sampai pada suatu hari  aku melihatnya lagi melambaikan tangan di tikungan. Tapi kali ini bersama seorang gadis cantik berkacamata, dengan rambut sebahu . Penampilannya modis, tampak sangat anggun.  Aku lambatkan mobil sampai berhenti, dan mereka kupersilakan masuk. Di dalam mobil  aku diam saja, tak bertanya siapa yang bersama Bu  Painem. Aku agak gugup. Tak tahu bagaimana memulainya untuk berkenalan  atau sekedar tahu siapa gadis itu. Aku dengar beberapa  kali  gadis itu bercerita dengan riangnya tentang wisudanya. Bu Painem memanggil namanya, Nania. Nama yang anggun, seanggun orangnya, gumamku dalam hati.

‌Aku sudah lama tidak pernah bertemu  dengan  Bu Painem . Tidak ada lagi orang tua yang melambaikan tangan di tikungan. Terakhir kali ‌bertemu ketika bersama gadis  berkacamata beberapa bulan yang lalu itu.  Melewati tikungan ke sepuluh, aku tancap gas agar segera sampai di  Puskesmas. Ini hari Senin,  tidak boleh terlambat, karena ada apel pagi.  Aku parkir mobil, bergegas menuju kantor. Teman- teman saling bercanda dan  menunjuk-nunjuk ke arah kantor,  aku tak paham maksudnya. Begitu masuk pintu kantor aku kaget, seorang gadis berkacamata dengan rambut sebahu tersenyum dan mengulurkan tangan, menyalamiku.  " Mas, ada salam dari ibuku,  Bu Painem. Terima kasih banyak atas semua bantuannya selama ini", katanya. Aku tertegun, agak lama memandangnya, sepertinya aku pernah berjumpa sebelumnya. Aku lirik  name tag yang tergantung di dadanya, tertulis jelas, dr. Nania.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren ceritanya.. Semoha berjodoh ya denga dr. Nania. He he.. Jadi menantu bu Painem dong.. Sukses selalu

22 Jun
Balas

Aamiin.Terima kasih bu.....salam literasi

22 Jun

Wanita cantik itu trnyata seorang dokter puskesmas tempat 'aku' bekerja,,,ending yg keren. Semangat

22 Jun
Balas

Terima kasih supportnya bu...

22 Jun



search

New Post