Kesehatan ibu mertua semakin hari semakin melemah. Mungkin karena beliau sudah sepuh. Bahkan makanan harus memakan nasi tim lembek agar bisa menelan. Syukurlah, Ibu mertua masih bisa makan. Masih ada kekuatan dalam tubuhnya. Aku sebagai menantu berusaha memenuhi apa yang diinginkan beliau, asalkan beliau mau makan. Sebenarnya keinginan beliau tidak neko-neko karena Ibu mertua bukanlah tipe orang yang rewel tapi lebih banyak bersabar bahkan sering meminta maaf kepada kami karena sering merepotkan. Bagi kami sudah menjadi kewajiban mengurus beliau di masa tua.

Malam itu Ibu mertua memanggil Mas Amran suamiku duduk di dekat beliau. Aku tak berani mengganggu mereka. Aku lebih memilih beraktivitas di dapur untuk membereskan dapur agar besuk pagi tak kerepotan untuk memulai memasak. Sebelum tidur Mas Amran bercerita padaku bila Ibu mertua memberikan amanat agar tanah di seberang rumah diwakafkan untuk pembangunan musala. Proses pewakafan diserahkan sepenuhnya kepada Mas Amran. Aku hanya mengaminkan keinginan Ibu mertua.

Ibu mertua telah meninggalkan kami. Beliau meninggal tanpa penyakit, seperti terlelap tidur. Bahkan sebelum meninggal beliau sempat pamit kepada kami, kami hanya memohon maaf jika kami tak mampu membahagiakan beliau. Takdir adalah rahasia Ilahi. Dalam proses mengurus wakaf tanah Ibu mertua, Mas Amranpun dipanggil menghadap sang Khalik tanpa penyakit dan tanpa kata pamit. Hanya keikhlasan yang dapat kami lalukan. Amir anak sulungku yang baru lulus kuliah rela mengurus amanat neneknya yang belum sempat diselesaikan oleh Ayahnya. Wakaf tanah milik Ibu Mertua kini telah berdiri bangunan musala yang senantiasa dipakai salat berjamaah oleh warga sekitar dan digunakan mengaji anak-anak di sore hari.Semoga menjadi amal jariyah Ibu mertua.