MENGAWAL BAJU SERAGAM
Pagi ini sebelum memasuki kelas, gawaiku sudah berdering. Kulirik telepon dari Yangti. Kusebut dia Yangti adalah wali dari Defa, kelas 7I. Antara hendak mengangkat dan terburu-buru masuk ke kelas bergejolak dalam hatiku. Kalau aku tak menerima telepon beliau, aku terkesan tak punya perhatian terhadap wali murid, tentu saja terkesan tak mau tahu dengan permasalahan siswa.
Sambil berjalan menuju ke kelas 7I akhirnya kuterima telepon dari Yangti. "Assalamualaikum Yangti," salamku mengalawali pembicaraan. Pada intinya Yangti pagi ini tanpa kuundang hendak menemuiku dengan tujuan hendak tahu apa yang terjadi selama Defa di kelas, apakah baik-baik saja atau ada permasalahan. Beliau berjanji pagi ini pukul 08.00 hendak ngobrol sebentar denganku. Aku mengiyakan keinginan beliau.
Aku mengajar di kelas 7I, sebagai anak waliku. Kelas 7I pagi ini nampak ceria, setelah kemarin ada acara rujakan rujak buah di dalam kelas. Kaum wanita di kelas 7I yang menyiapkan semua bahan untuk rujak hingga tersaji di kelas. Senangnya aku melihat mereka kembali akrab setelah mereka sempat bersitegang akibat saling mengolok-olok dengan menyebut nama bapak mereka. Terkadang dalam hatiku terasa geli melihat mereka saling mengolok, tapi sebagai wali kelas aku harus tegas menyelesaikan masalah.
Materi membuat teks resensi buku secara berkelompok mulai mereka kerjakan dengan dimulai menulis identitas buku. Satu tahapan lancar, meski aku harus berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain. Tiba-tiba gawai berdering lagi. Rupanya Yangti menelepon menyatakan sudah sampai di sekolah. Terpaksa kelas kutinggalkan sebentar sambil kuwanti-wanti untuk menuliskan sinopsis buku yang mereka baca.
Kedatangan Yangti kusambut dengan berjabat tangan takzim. Beliau memelukku dan menciumku seperti anaknya. Mulailah terlontar dari bibir beliau bahwa semenjak orang tua Defa meninggal akibat terkena covid-19, maka beliaulah pengganti orang tuanya. Permasalahan kali ini adalah baju seragam atasan berwarna putih yang dipakai kemarin, saat pulang pada bagian punggung terkena stipo meski tak banyak namun cukup membuat beliau jengkel, karena dianggap teman-teman Defa tukang usil. Beliau minta agar tempat duduk Defa pindah paling belakang agar tak diusik oleh temannya. Aku menghela napas sebentar, meski dalam hatiku teraa lucu, karena bagiku biasa jika anak laki-laki sedikit usil tak berbahaya dan masih dalam taraf kewajaran. "Begini Yangti, nanti saya tanya Defa, nyaman duduk di bangku sebelah mana, agar kita tak terkesan memaksakan kehendak," usulku pada beliau. Akhirnya beliau menyetujui dan menitipkan cucunya agar selalu dalam pengawasan agar dalam kondisi aman. Aku mengiyakan dan memohon maaf jika pelayananku sebagai wali kelas kurang maksimal. Di akhir pertemuan, sambil meneteskan air mata, beliau mohon agar aku menyayangi Defa seperti anak sendiri karena Defa kurang kasih sayang orang tua. Kami berpelukan. Aku baru tahu jika wali kelas juga punya tugas mengawal baju seragam siswa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kisah yang luar biasa mbak.. Jadi ingat masa2 menjadi wali kelas.. Berat memang, tapi bahagia manakala anak2 yang kita didikau mendengarkan nasihat kita, setelah tamat mereka sukses, bahagianya jadi berganda.. Sukses selalu
Terima kasih atas apresiasinya Pak. Senang sekali raanya menjadi wali kelas dengan segudang cerita. Barakallahu fiik.