Riski

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BELAJAR DARI SANG KUAT YANG BERKAWAN MAKAM

“Tak perlu berkoar-koar akan menguatkan jika diri belum terlalu kuat, belajarlah!”

Kulit legamnya mengilat memantulkan sinar matahari, keringatnya merembes ke pori-pori kain yang membalut tubuh membentuk bercak-bercak basah di kusut bajunya. Ia tertegun, bersandar di antara pusara-pusara tak bernyawa sambil menghela nafas panjang. Sosok mungil duduk di atas nisan berlumut di pusat pemakaman pinggir kota metropolitan. Ia adalah murid tertangguh yang kami punya, disela-sela waktu belajar dan beribadahnya, ia mengambil alih tugas seorang ayah yang tak kunjung tahu entah ke mana. Hampir setiap hari ia mengalungkan sebuah celurit di tangannya sebagai senjata untuk menebas rerumputan di sekitar nisan mayat untuk selembar rupiah yang tak seberapa.

Pak, Beddih ka kamaah ?bede kuburan e dinnak pak? Toreh e tolongohe sare kawulah pak!” (Pak mau ke mana? Ada makam di sini? Mari saya bantu pak!), bahasa Madura halus meluncur dari mulutnya sembari menawarkan bantuan untuk membersihkan makam saudara. Kuajak dia singgah dulu di bawah pohon rindang di pojok pinggiran sepi. “Nak, sejak kapan bekerja sebagai pemotong rumput di sini? Bagaimana dengan belajar dan sekolahmu?”, tanyaku dalam bahasa Indonesia karena jujur saja aku tak seberapa pandai bahasa Madura. “Sejak ayah meninggalkan kami pak, saya bekerja setelah pulang sekolah selepas sholat zuhur, sampai menjelang magrib setiap harinya.”, terangnya padaku.

Sebut saja namanya Sang Kuat, dia adalah anak sulung dari sebuah keluarga di bawah garis kemiskinan, ia memiliki seorang adik dan ibu yang sudah sakit-sakitan, ayahnya meninggalkan mereka begitu saja tanpa kabar berita. Sang Kuat, anak yang tak pernah absen sembahyang di musala dekat rumahnya. Kondisinya membuat ia sangat peduli akan sesama dan mempunyai karakter yang kuat. Ah, mungkin ini adalah salah satu bentuk siswa idaman yang diinginkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam program terbarunya yaitu Penguatan Pendidikan Karakter. Masih jelas ditelinga, ketika Bapak Presiden kita Jokowi meresmikan Perpres Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang menginstruksikan semua guru harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran untuk membangun dan membekali siswa sebagai generasi emas Indonesia tahun 2045.

Namun, ada keganjalan yang bisa ditemukan dalam hal itu. Berkaca dari Sang Kuat, saya sebagai guru harusnya yang menimba ilmu darinya. Lalu bagaimana dengan kita, guru, sudahkah memiliki karakter setangguh sang kuat?. Mari menolak diam!.

Sekumpulan guru duduk di ruang guru, “eh bu, njenengan nanti masak apa? (nanti mau masak apa)?”, lontar guru berbadan cukup langsing itu. “jangan lodeh mbak yu!, oalah lali aku mbak yu, ayo nang pasar!” (sayur lodeh kak, lupa aku ayo pergi ke pasar), jawab guru lainnya sembari menarik lawan bicaranya menuju pasar depan sekolah. Dahiku langsung mengernyit seketika dan kutegur, “loh bu, bukannya masih ada jam pembelajaran!”, potongku di dalam pembicaraan mereka. “Sudah saya beri tugas pak, anak–anak di kelas tidak ramai kok.”, timpalnya ringan. Sungguh rasa tanggung jawab yang meluntur dengan dilandasi alasan manusiawi untuk menyiapkan kebutuhan di dalam rumah tangga masing-masing ibu guru tersebut.

Belum saja luntur rasa sedih, seorang bapak guru menepuk pundak saya. “Pak, nggada sertifikat mboten, kangge munggah tingkat niki? (Pak, punya sertifikat kosong tidak? Buat kenaikan tingkat nih!), tanyanya padaku. Sungguh kejujuran yang mulai runtuh dilandasai alasan promosi jabatan untuk kehidupan yang layak, katanya. Untuk fenomena ini, sudah tidak asing lagi bagi dunia pendidik, di mana semua akan berlomba-lomba mengumpulkan sertifikat pengembangan profesi untuk melengkapi persyaratan kenaikan tingkat bahkan dengan jalan yang tidak jujur. Ada juga tipe guru yang jujur dalam mempersiapkan kenaikan tingkatnya, ia menjadi guru pemburu diklat. Di mana ia tidak akan ragu meninggalkan anak didiknya demi mendapatkan puluhan sertifikat dan penghargaan atas karyanya sendiri. Ya, sendiri bukan karyanya mendidik anak didiknya di kelas. Mungkin salah satunya “Aku”. Sungguh malu atas semua sifat dan karakter ini.

Dulu, ketika masih menjadi pegawai honorer yang digaji sangat rendah, kita mengobrak abrik pemerintah untuk segera mengangkat menjadi pegawai negeri sipil. Dulu, saat kita sudah menjadi pegawai negeri sipil dengan gaji yang “pas”, kita mengusik pemerintah untuk segera membuat regulasi agar ada tambahan tunjangan untuk kita. Sekarang saat kita menjadi pegawai negeri sipil dengan gaji cukup ditambah tunjangan-tunjangan lainnya, kita sering lupa. Ya ..lupa! akan janji-janji manis yang kita dengungkan jika kita akan meninggikan kompetensi kita dalam profesi ini.

Terlihat nyata bahwa rata-rata uji kompetensi guru tahun 2015 hanya mencapai 52,5 di bawah standar minimal yang sangat kecil yaitu 55. “ah.. UKG itu ndak bisa mengukur apa-apa? UKG memakai komputer, memegang saja kita ndak bisa! UKG buat apa sih kerjakan sebisanya aja, ndak usah belajar.”, ujaran-ujaran yang sering kali kudengarkan jika ku mulai berbicara mengenai UKG yang menurutku adalah upaya pemerintah untuk meninggikan kompetensi kita sebagai guru. Setiap kucoba menjawab pertanyaa-pertanyaan mereka, yang ada ku hanya dicap sebagai guru yang arogan dan sombong. Ini terbukti berapa banyak sudah rekan sejawatku yang mengganggapku sombong. Biarlah..Pikirku!

Berseberangan dengan Sang Kuat, Aku sebagai pribadi tidaklah merasa memiliki karakter yang cukup kuat untuk dijadikan suri tauladan untuk mereka, anak-anak didikku. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah Siapa yang harus dikuatkan karakternya? Siswa atau malah guru?.

Menolak lupa amanah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 ayat 3 butir b, bahwa kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Beranjak dari amanah tersebut seharusnya, guru adalah seorang suri tauladan atas penanaman karakter yang didengungkan oleh pemerintah dalam program PPK ini.

Lantas bagaimana seharusnya, agar program ini menjadi tonggak dasar pengembangan karakter siswa dalam generasi emas 2045. Hemat saya, Penguatan Pendidikan Karakter harus diikuti dengan Penguatan Evaluasi Kepribadian Pendidik. Sistem lama, kepribadian pendidik hanya dinilai dari atasan langsung, di mana siapa yang dekat mendapat nilai yang baik. Bahkan mirisnya golongan yang tinggi haruslah mendapat nilai yang lebih tinggi daripada golongan yang di bawahnya. Miris bukan?.

Baiknya evaluasi/ penilaian kepribadian pendidik harus melibatkan banyak pihak, antara lain: atasan, teman sejawat, siswa, bahkan wali siswa. Penilaian atasan akan menjadi tolak ukur prestasi dan kepribadian pendidik dari kacamata atasan dengan melihat TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) dari pendidik itu sendiri. Sementara penilaian kepribadian oleh teman sejawat dapat dijadikan acuan seberapa besar kemampuan mingle dan seberapa pengaruh keberadaan pendidik di dalam sebuah satuan pendidik tertentu. Lebih obyektif lagi jika siswa dijadikan unsur penting dalam penilaian kepribadian pendidik, karena siswa yang menghabiskan waktu sehari-hari dengan pendidik itu sendiri. Suara siswa terkadang sangat lebih obyektif karena tulus dari dalam hati. Sebagai unsur pelengkap, Wali siswa adalah unsur yang juga harus diperhitungkan dalam menilai kepribadian pendidik. Karena wali siswa merupakan unsur stakeholder yang tidak dapat pisahkan dengan satuan pendidikan.

Tentunya shock treatment harus dimunculkan sesekali untuk memutakhirkan hasil dari penilaian kepribadian guru. Bentuknya pun dapat berupa turunnya supervisor atasan langsung ke dalam kelas, ataupun pemanggilan beberapa siswa sebagai bentuk pertanggungjawaban penilaian. Fokus ini adalah salah satu penunjang dari suksesnya pendidikan karakter bagi siswa.

Kembali dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang sudah dicanangkan, sejatinya kita harus mengangkat figur Sang Kuat-Sang Kuat diantara siswa kita sendiri sebagai role model teman sebayanya. Bagaimana Integritasnya, mandirinya, religiusnya tercermin dalam nasionalisme dan rasa gotong royong yang ia jalani dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik wajib belajar dari temannya dan gurunya sebagai bentuk penguatan pendidikan karakter di kelas. Begitu juga sebaliknya, guru wajib belajar dari teman sejawatnya dan anak didinya sebagai bentuk evaluasi karakter diri. Seperti aku yang tengah belajar dari Sang Kuat yang berkawan dengan makam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post