Pendekar Kehidupan

Tergema bhatin ketika menyebut satu nama pendekar. Ku menghela nafas sedalam mungkin agar dapat merasakan begitu halusnya tarikan nafas kehidupan ini. Ku hembuskan perlahan, hingga semerbak dunia ini terasa sangat mengenakkan.

Syukur, ya ! Karena rasa syukur inilah kenikmatan dunia itu terasa indah. Indah dan megah untuk dipandangi, dirasakan, dan direnungkan. Sehingga aku tahu, dunia ini bukan untukku, bukan tempatku, bukan juga rumahku. Dunia ini hanya persinggahan semata. Tempat pengumpulan pundi-pundi kebaikan, tempat penampungan aliran investasi amal.

Ya, aku bersyukur, aku bersyukur atas semua itu. Bersyukur telah menghadirkan pendekar itu sebagai bagian dari separuh nafasku. Bersyukur telah merawatku dari segumpal daging hingga aku bisa berdiri tegap saat ini. Rela melakukan apapun demi kebahagiaanku, memberikan apa yang aku minta, melarang apa yang tidak disuka. Karena semua itu telah ada pembatasan estafet kehidupan, hingga menuju final.

Terima kasih yang tak sampai ini ku lantunkan berulang kali untuk pendekar yang gagah perkasa, yang telah mengajarkanku arti kehidupan. Menyusun makna dengan rapinya, menyampaikan dengan ketegasannya, menimbang dengan landasan kebenarannya. Ia adalah pendekar kehidupanku.

Terima kasih dan syukur ini memang tak tampak adanya, hanya naluri yang bisa menerkanya. Karena tentang hati, hanya aku dan Rabb-ku yang tahu.

Pendekar itu adalah ayah dari adik-adikku. Suami dari ibuku.

Buya, begitulah sapaku padanya. Semoga sehat selalu disana, pendekarku, separuh nafasku.