Ketika Lumpurku Bicara
Pagi yang cerah. Matahari tampak malu-malu menyembul dari balik awan. Udara sejukpun menambah indahnya pagi. Tapi indahnya pagi berubah menjadi hiruk pikuk suara anak-anak yang mengantri mandi dengan ocehan khas mereka. Diantara anak-anak itu seorang anak mengantri sambil duduk dan terkantuk-kantuk sambil memegang timba kecil dan sikat gigi. Handuk melingkar di lehernya. Tak sadar gilirannya telah di lewati anak-anak lain sehingga ia giliran terakhir.
Di dalam barak anak-anak kecil masih tidur, ibu-ibu sibuk dengan kompornya, tali rafia dimana-mana, baju digantung sesukanya. Karim si anak ngantuk baru sadar kalau teman-temannya tak ada lagi. Ia terbangun karena teriakan khas ibunya.
“Karim, tak lempar ember lo yo...! Cepetan, nanti telat lagi!” Teriak Ibu Karim.
Karim kaget dan langsung masuk bilik kamar mandi lalu menyela matanya. Ia pun tak jadi mandi karena takut terlambat ke sekolah.
“Ayo cepet le...! Nanti telat lagi!” Suara Ibu Karim terdengar keras.
“Iya mbok, iya!”
“Iyo rim, masa setiap hari selalu telat. Malas, terus kalau sudah telat membolos!” Sahut Bu Karimah tetangganya.
“Dengar le, omongan Bu Karimah itu betul. Untung gurumu sabar.” Sahut Ibu Karim.
“Iya... iya... bu!” Jawab Karim sambil memakai baju seragamnya. Lalu bersepatu dan mencium tangan ibunya, pergi tanpa suara dan tanpa sarapan.
“Anakmu kuperhatikan banyak berubah!” Kata Ibu Karimah pada ibunya Karim.
Ibu Karim tertegun mendengar ucapan Bu Karimah. Matanya menerawang jauh. Kesedihan tampak jelas di raut wajahnya yang mulai tua itu.
“Entahlah, Karimku yang dulu entah kemana, Karim si periang, lucu, dan lincah. Kini walaupun sudah duduk di kelas satu SMP, tapi semangat belajarnya tak ada.” Ibu Karim bergumam.
Bu Karimah, Bu Ida, dan Bu Netsi ikut terduduk lemas duduk di samping Bu Karim. Mereka seakan ikut menerawang masa lalu.
“Tak disangka lumpur itu mengubah hidup kita. Merenggut keceriaan anak-anak kita. Merenggut rumah dan harta kita.” Ujar Bu Karimah.
“Semua diambil oleh lumpur itu. Persaudaraan kita pun direnggutnya.” Tambah Bu Ida.
“Iya benar. Ingat kemarin Tukijo dan Kimin bertengkar gara-gara rebutan jatah air. Paijo dan Giman berkelahi gara-gara supermi.” Kata Bu Netsi.
“Kita bisa berbuat apa? Mengembalikan Karimku saja seperti dulu aku tak bisa, apa lagi yang lain!” Ibu Karim menundukkan kepala.
“Begini saja. Kita demo, kau bawa panci, wajan dan kau bawa ember!” Usul Bu Ida.
“Untuk apa? Mau masak di jalan?” Kata Bu Netsi.
“Ya untuk rame-rame lah. Dipukul dan berteriak-teriak iya kan?” Jawab Bu Ida.
“Ayo aku ikut!” Bu Netsi bersemangat.
“Ayo kita demo!” Teriak Bu Ida.
“Stop... stop...! Demo untuk apa. Aku gak senang demo-demo, hanya buang waktu.”
Semua heran mendengar perkataan ibunya Karim.
“Kini zamannya reformasi. Orang-orang kan banyak yang demo, rakyat bisa bicara. Saatnya kita ibu-ibu bicara. Ayo kita demo.” Teriak Bu Ida.
“Tidak...! Demo itu lebih banyak ruginya. Coba kalian pikir, kita ramai-ramai demo pukul panci. Pancimu bolong siapa yang ganti. Embermu pecah, mau nyuci pakai apa. Dan siapa yang kita demo. Sudah panas, sakit, suaramu hilang, panas dalam, siapa yang belikan obat, diuber-uber polisi, kena aspal jatuh, luka, hayo... siapa yang ngobati?” Jelas Ibu Karim.
Semua diam, merenung dan berfikir apa yang harus mereka lakukan agar hidup lebih baik.
“Saat ini yang terpenting adalah keluarga kita, rasa kebersamaan kita. Biarlah harta kita ditelan lumpur, tapi hati nurani kita jangan. Lihatlah anakku, anak-anak kita sudah terlalu banyak yang hilang dari mereka.” Jelas Bu Karim.
“Wah kalau begitu bagaimana kalau kita bikin acara untuk anak-anak kita, agar mereka bermain, bercanda dan kembali ceria. Usul Bu Karimah.”
“Nah itu baru ide cemerlang.” Kata Ibu Karim.
Ibu Karim dan ibu-ibu yang lain sepakat untuk lebih mementingkan keceriaan anak-anak. Mereka pun bertekad untuk tetap sabar dan berusaha menerima nasib yang menimpa mereka.
Matahari semakin tinggi. Panasnya mulai terasa, Karim pun terlambat lagi. Karim melamun di sebuah Gardu. Sendirian, bertupang dagu, sesekali-kalinya menendang kerikil di bawah kakinya. Matanya memandang hamparan lumpur yang luas. Lumpur hitam... semakin di pandang semakin hitam. Ada getar di dada Karim. Sedih, amarah dan kesal berkecamuk dalam dada.
“Engkau memang kejam... engkau merenggut apa yang aku punya.” Bisik Karim geram sambil terus memandangi lumpur dengan geram.
Tiba-tiba langit mendung, gumpalan awan hitam semakin pekat. Angin kencang bertiup tanpa arah. Lumpur bergerak-gerak seakan ingin bangun dari peraduannya, menggeliat-liat bagai ular yang terbangun dari tidurnya.
Karim ketakutan, wajahnya pucat, ingin berteriak tapi tak bisa. Sementara lumpur semakin bergerak cepat. Meliuk-liuk dan seakan bangkit dari tidurnya. Mereka bangun dan berdiri berbentuk gumpalan-gumpalan lumpur yang menyeramkan.
“Siapa kalian!” Teriak Karim ketakutan.
“Aku lumpur...! Aku lumpur...! Aku lumpur...!” Suara lumpur-lumpur itu bersahut-sahutan.
“Oh... kalian, lumpur sialan!” Karim berteriak.
“Aku menderita gara-gara kalian! Dulu aku selalu ceria, Mbok jarang marah. Guruku pun selalu baik, aku rajin, mainanku banyak. Aku bisa tidur nyenyak, mandi tak pernah rebutan. Makanpun masakan mbok selalu lezat. Kalau aja tak ada kalian, lumpur jelek ini, hidupku tak jadi begini.” Kemarahan Karim makin menjadi.
Lumpur-lumpur yang tadinya diam mulai bergerak, sambil mengeluarkan suara aneh. Seakan mereka tak terima kemarahan Karim.
“E... e... e... jangan memfitnah ya..... Kami tidak pernah membuat menderita. Tetapi kalian yang mengusik kami.” Lumpur itu berteriak.
“Maksudmu?” Karim heran.
“Ya... kalian yang mengusik kami. Kalian manusia memang serakah.” Teriak lumpur lagi.
“He... he... kalian jangan bicara sembarangan!” Karim marah bercampur heran.
“Kalian manusia memang serakah, mengebor tempat tinggal kami. Mengobrak-ngabrik kami, mengusik ketentraman kami. Kalian merampas semua minyak kami, tanpa menghiraukan kelestarian kami.” Lumpurpun tak kalah sengitnya.
“Mereka kan cuma mengebor minyak, bukan kalian.” Jawab Karim.
“Jika dibor terus-menerus, yang lain ikut rusak. Tempat kami diobrak-abrik, bor kalian tidak pernah berhenti.” Kata lumpur geram.
“Tapi yang mengebor kan bukan kami, mengapa kami yang menderita?” Teriak Karim.
“Itu bukan urusan kami, kami juga bingung mencari tempat baru. Sementara tempat kami yang lama sudah hancur. Bukan cuma kalian yang kehilangan tempat tinggal, tetapi kami juga. Kami terlunta-lunta, dialirkan kesana-kesini, dibuang ke sungai, ke laut, kami terpisah-pisah.” Teriak lumpur.
“Kalian memang serakah. Padahal kami jauh di perut bumi, tapi kalian bor juga. Kami tidak pernah mengusir kalian atau pun mengganggu kalian.” Lumpu-lumpur itu seakan tetap tak mau disalahkan.
“Cukup... cukup...! Kalian dari tadi nyerocos terus. Aku gak paham, aku hanya korban. Yang aku tahu, aku menderita gara-gara kalian dan kalian telah merampas kebahagiaanku.” Karim berteriak sambil menangis.
“Bukan kami yang merampas, tapi .....-..... minyak itu yang serakah. Mereka tak peduli kelestarian lingkungan, yang mereka pikirkan hanya keuntungan. Kamu paham?” Lumpur berusaha menjelaskan.
Karim tambah bingung. Lumpur-lumpur itu tampaknya semakin menyeramkan, mereka mengeluarkan suara-suara yang aneh disertai gerakan meliuk-liuk seakan ingin menelan Karim. Karimpun mulai terlihat takut, tapi kakinya seakan tak bisa digerakkan. Lumpur itu semakin mendekat..... dan mendekat..... Karim berusaha mengangkat kakinya untuk lari tapi tak bisa. Lumpur-lumpur terkekeh-kekeh, seakan mengejek Karim.
Karim berusaha bergerak dan lari sekuat tenaga. Tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa sakit. Karimpun berteriak. Tapi sungguh kaget, ternyata ia jatuh dari gardu. Karimpun sadar bahwa ia telah tertidur di gardu dan bermimpi tentang lumpur.
“Aneh sekali.....!” Gumam Karim.
Karim berusaha mengingat secara rinci mimpi-mimpinya tadi. Mata Karim tak pernah lepas dari lumpur yang terbentang luas. Tapi Karim memahami musibah yang dialami dirinya dan warga lainnya bukan sepenuhnya karena lumpur. Kini ia paham bahwa dibalik musibah ini ada campur tangan manusia-manusia serakah itu. semua musibah di bumi ini ternyata karena ulah manusia.
Karim bangun dari duduknya. Dengan langkah pasti Karim melangkah menuju tempat pengungsian. Ia berjanji dalam hati akan berusaha merubah hari-harinya lebih bermakna. Karimpun bertekad untuk menceritakan mimpinya pada setiap orang, agar mereka tahu kalau lumpur juga korban. Sama seperti mereka.
Lumpur lapindo boleh saja meluap dan menenggelamkan kebahagiaan kami. Tapi semangat hidup dan berjuang tak bisa di tenggelamkan.
“Aku harus bangkit...!” Bisik Karim penuh semangat. Karim sadar bahwa masa depan tidak datang dengan sendirinya, tapi harus di perjuangkan. Musibah bukanlah alasan untuk kita berhenti berjuang.Semangat.....!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Massaaaaa itu cerpen mbak.ayu putri ibu... Msh banyk stok lo
Sebuah catatan lumpur menjadi inspiratif
Kereeen