Rita Febrianti

Nama lengkap Rita Febrianti. Bertugas sebagai guru Bahasa Inggris di MTsN 11 Agam, kab. Agam provinsi Sumatera Barat. Ibu dari 3 orang putra. Selain mengajar Pe...

Selengkapnya
Navigasi Web

Unbreakable

#TantanganGurusiana

#Tantangan30hari

#Hari7

Setelah pertengkaran terjadi, aku tinggal dengan anak - anakku saja, sedangkan suamiku pergi ke rumah orang tuanya. Aku lelah, memang lelah menghadapi kehidupan seperti ini. Bertengkar dan saling teriak tidak bisa memecahkan masalah dalam rumah tanggaku.

Aku kasihan dengan anak - anakku. Kadang di sinilah timbul rasa bersalah pada mereka. Tidak seharusnya mereka mengetahui masalah diantara aku dan ayah mereka. Mereka masih kecil untuk mengerti. Ketakutan pada wajah mereka menyiratkan rasa kalut pada jiwa mereka yang masih lemah. Wajah - wajah polos yang di hiasi air mata ketika ada pertengkaran membuat rasa ibaku muncul.

"Maafkan Bunda nak, tidak seharusnya kalian merasakan apa yang kami rasakan" aku bergumam sendiri.

Aku takut mental anak - anakku menjadi down. Tidak sepantasnya mereka melihat dan merasakan pertengkaran ini. Ya, aku merasa teramat bersalah. Betapa bodohnya diri ini, tidak mampu menahan emosi yang berlebihan

Sudah tiga hari ini suamiku tidak pulang ke rumah. Terasa ada yang berbeda. Biasanya suamiku yang menjaga warung ketika aku mandi, mencuci, istirahat dan pergi membeli barang belanja. Kadang suamiku yang membuat masakan buat aku dan anak - anakku. Ah, rasa menyesal menghinggapi fikiranku. Dadaku sesak membayangkan ketika masih bersama dengan suamiku.

Keesokan harinya, aku masih berkutat dengan kegiatan di warungku ketika tiba - tiba Omku datang ke rumah. Ia menanyakan kasus tiga hari yang lalu.

"Rina, bagaimana kabarnya suamimu?. Apakah akan tetap seperti ini?" berondong pertanyaan ditujukan oleh Om ke padaku.

"Itulah Om. Rina gak sanggup hidup seperti ini. Rina butuh kehidupan yang tenang tanpa pertengkaran tiap hari" kataku pada si Om.

"Pertengkaran itu biasa, Na. Ibarat periuk dengan sendoknya. Tanpa pertengkaran, hidup terasa datar, Na. Tidak ada gelombang, tidak ada riak, itu pasti membosankan. Cuma, kalau menurut Om, lebih baik kamu jemput suamimu kembali. Kasihan anak - anakmu. Mereka butuh figur ayah. Tidak ada salahnya kamu meminta maaf sama suamimu. Bermaafan itu yang lebih baik" ujar Omku dengan bijak.

"Beri Rina waktu, Om. Rasanya tidak mudah melupakan ini semua. Rasa sakitnya masih terasa, Om. Biarlah Rina pertimbangkan dulu, Om" jawabku.

"Baiklah, Om tunggu khabar besok ya. Lebih cepat, lebih baik, Na. Kasihan Anak - anakmu" ujar Omku.

"Insyaallah, Om. Besok Rina kasih Khabar" kataku.

"Om permisi dulu. Assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Aku mengantarkan Omku sampai depan rumah. Aku masih bingung, apakah aku siap menerima suamiku kembali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post