Catatan dalam Setiap Doaku
Kala itu aku sangat bahagia dunia terasa sangat indah, tidak ada yang aku khawatirkan. Aku merasa menjadi wanita seutuhnya. Setiap kabar berhembus mengenainya kutepis dengan tegas, tak sedikitpun aku curiga apalagi mempercayainya. Hingga suatu hari aku melihat sebuah chat mesra suamiku dengannya. Yang tak lain adalah teman dekatku,yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Padahal statusnya juga sudah bersuami dan memeliki emapt orang anak. Dia pulalah yang menjadi guru ngaji sekaligus guru privat kedua anakku untuk mempelajari Bahasa Arab.
Wanita berhijab marun itu kini duduk dengan menundukkan kepalanya, kulihat tangannya bergetar dan wajahnya pucat ketika sore tadi kukonfirmasi ada hubungan apa dia dan suamiku. “Aku sangat mempercayaimu dan menyayangimu, mengapa engkau tega terhadapku”. Ucapku dengan suara bergetar dan berharap dia menyangkal semua tuduhanku. Tapi yang ada dia malah diam membisu.
Hampir sepuluh menit kami hanya diam saja, dia hanya terus menunduk sementara aku hanya bisa menatapnya, leherku tercekat tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Tiba-tiba pintu rumah terbuka diiringi ucapan salam dari suamiku. Serenatak kami berdua menjawab. Suamiku merasa aneh memandangku kemudian memandang wanita dihadapanku. Aku memilih diam sambil terus menatap lekat suamiku. Berusaha menahan gelepar jiwa dan sekuat mungkin membendung buliran bening yang mulai memenuhi netraku.
Suamiku terlihat tampak kiku dan gugup, kemudian menghampiri dan bertanya apa yang terjadi seakan menyembunyikan ke takutannya. Aku memintanya duduk kemudian menanyakan ada hubungan apa antara dia dan wanita didepanku. Terlihat jelas memang ada ikatan special anatara meraka. Aku berusaha menepis rasaku dan berlagak tak melihat ketika mereka saling menatap. Entah mengapa rasa sayangku terhadap dua makhluk ini seakan menguap. Setelah mendengar pengakuan langsung dari mereka berdua. Dengan gampangnya kata khilaf menjadi tameng mereka.
Airmataku menganak sungai dan meminta wanita yang merupakan sahabatku untuk segera pergi dan jangan peranh lagi menginjakkan kakinya dirumah ini. Untuk suamiku kuberi ia waktu selama seminggu untuk merenungi pengkhianatannya. Dan menetapkan pilihannya. Walaupun dia sudah ratusan kali berucap ingin bersamaku dan anak-anaknya.
Terdengar bodoh mungkin aku sebagai isteri sekaligus ibu tak ingin bertahan dan memperjuangkan bahtera ini. Tidak ini sudah kesekian kalinya suamiku berbuat seperti ini. dan berulang kali juga maaf itu aku berikan. Untuk kali ini biarlah kami berdua sementara berpisah untuk berpikir merenungi layakkah bahterai ini terus berlayar atau sebaiknya menepi dan masing-masing mencari bahtera yang baru lagi.
Yang pasti doaku takkan pernah berhenti untukmu suamiku. Aku selalu memohon kepada-Nya agar engkau menjadi imam yang soleh, bersama kita membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah wa barokah. Silahkan poligami, tapi terlebih dahulu ceraikan aku, jika itu maumu, dan akupun telah siap untuk angkat kaki meninggalkanmu. Karena dari awal aku tak ingin dimadu.
*Pateh Kota, 04012021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar