Rita Yuliantini

Bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di MTs. Negeri 2 Lebak,Banten...

Selengkapnya
Navigasi Web
Baduy, Bukan Sekadar Batik dan Ikat Kepalanya
Sumber: Tokopedia

Baduy, Bukan Sekadar Batik dan Ikat Kepalanya

Baduy adalah satu-satunya suku pedalaman yang berada di provinsi Banten. Tepatnya berlokasi di kaki Gunung Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Baduy adalah nama sebutan pemberian para peneliti Belanda saat itu. Para peneliti Belanda tersebut sepertinya menyamakan dengan orang Badui atau Badawi di tanah Arab karena hidupnya yang berpindah-pindah. Informasi lain menyebutkan bahwa sebutan Baduy diambil dari nama gunung dan sungai yang ada di wilayah Baduy. Namun mereka sendiri sebenarnya lebih suka disebut "urang Kanekes" karena mereka tinggal di desa yang bernama Kanekes.

Baduy sendiri terdiri dari dua golongan yakni Baduy luar dan Baduy dalam. Baduy luar yang memiliki jumlah kampung lebih banyak berperan menjaga Baduy dalam yang hanya terdiri dari tiga kampung dari pengaruh dunia luar. Secara umum mereka memiliki kesamaan yakni sama-sama memiliki ketua adat (puun) yang sangat dipatuhi. Mereka tidak mengenakan alas kaki meski harus berjalan berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Mereka juga tidak diperkenankan pergi keluar kampung lebih dari tujuh hari.

Pada umumnya mereka menganut kepercayaan "Sunda Wiwitan". Mereka menyebutnya sebagai keturunan Nabi Adam. Mereka tidak mengenal Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan rasul terakhir. Jika saja di dalam Islam ada Masjid sebagai tempat suci, maka penganut Sunda Wiwitan memiliki tempat suci yang dinamakan “Sasaka Domas”. Tidak sembarang orang boleh memasuki tempat ini kecuali para pemangku adat yang diakui disana. Kendati demikian, saat ini, terutama pada golongan Baduy luar, sudah banyak yang menganut agama Islam.

Ada beberapa perbedaan antara Baduy luar dan Baduy dalam, diantaranya sebagai berikut:

1. Dari segi pakaian yang dikenakan.

Baduy luar umumnya menggunakan pakaian hitam dan ikat kepala. Ada juga kain batik berwarna biru dongker kombinasi hitam yang kadang-kadang dikenakan oleh masyarakat Baduy perempuan sebagai rok atau ikat kepala untuk masyarakat Baduy laki-laki. Sedangkan Baduy dalam mengenakan pakaian putih-putih atau putih hitam dan ikat kepala putih. Warna putih ini melambangkan kesucian. Suci dari hal-hal yang mereka anggap tabu. Sedangkan warna hitam melambangkan sifat manusia yang tidak luput dari salah dan dosa.

2. Pengaruh dunia luar

Pada golongan Baduy luar sudah terkontaminasi budaya luar. Mereka sudah tidak merasa "tabu" pada benda-benda berteknologi modern. Ketua adat Baduy luar membolehkan penggunaan benda-benda berteknologi modern dan “welcome” terhadap pengaruh dunia modern. Oleh karena itu tidak heran dalam kesehariannya, Baduy luar sudah dapat menggunakan sabun untuk mandi dan mencuci baju hingga pada penggunaan gadget saat ini. Walaupun demikian kepatuhan masyarakat baduy terhadap ketua adat (Puun) sangatlah dijunjung tinggi.

Lain halnya dengan kehidupan Baduy dalam. Baduy dalam sangat tabu untuk hal-hal yang berbau teknologi modern. Mereka tidak membolehkan penggunaan sabun untuk mandi, pasta gigi atau benda-benda yang mengandung zat kimia lainnya karena khawatir akan merusak alam. Baduy dalam juga tidak memperkenankan penggunaan barang-barang elektronik ataupun barang-barang berteknologi lainnya. Oleh karena itu tidak heran jika suku Baduy dalam melarang pengunjung mengambil foto atau video di wilayah Baduy dalam. Mereka benar-benar sangat menjaga keserasian alam.

Suku Baduy yang unik memberikan kekhasan akan identitas masyarakat Banten. Karena keunikannya inilah, banyak orang ingin mengunjunginya. Tapi untuk menjangkaunya, pengunjung harus rela berjalan kaki beberapa kilometer, sebab kendaraan bermotor tidak boleh memasuki wilayah suku Baduy. Oleh karena itu, kendaraan bermotor hanya boleh digunakan sampai terminal Ciboleger. Dari Ciboleger ke wilayah kampung baduy harus ditempuh dengan berjalan kaki. Sedangkan untuk memasuki wilayah Baduy dalam, bersiaplah untuk mandi tanpa menggunakan sabun, atau buang air besar tidak di WC yang nyaman seperti di rumah.

Kain batik khas Baduy dan ikat kepalanya terkenal hingga ke pelosok negeri. Bahkan sempat dikenakan oleh presiden Jokowi di dalam sebuah acara sidang tahunan MPR RI tahun 2021 di Gedung Nusantara.. Presiden Jokowi bangga mengenakannya. Beliau merasakan kesederhanaan, simple dan nyaman dibalik pakaian khas Baduy yang dikenakannya.

Sudah barang tentu dengan seluruh warga Banten. Mereka bangga memiliki suku Baduy. Mengenakan kain batik Baduy merupakan sikap bangga masyarakat Banten akan keberadaannya. Tidak sedikit pegawai ASN di lingkungan wilayah Banten yang mengenakan kain batik Baduy sebagai pakaian dinas pada hari-hari tertentu. Identitas Baduy begitu sangat dihargai oleh seluruh masyarakat Banten. Dan khususnya kabupaten Lebak menjadi unik karena salah satu sebab keberadaan suku Baduy.

Mengenal suku Baduy tidak terhenti sampai disitu. Sebab mengenal suku Baduy bukan hanya sekadar kain batik dan ikat kepalanya. Sebenarnya ada banyak tuntunan yang ditunjukkan oleh masyarakat suku Baduy yang patut ditiru dan diacungi jempol. Tuntunan apa yang bisa dipetik dari suku Baduy? antara lain:

1. Ketaatan terhadap pemimpin

Ketaatannya kepada pemimpin perlu menjadi tuntunan bagi yang lainnya. Masyarakat suku Baduy dikenal sangat taat dan patuh kepada pemimpin/ketua adat (puun). Pun juga kepada pemimpin pemerintahan. Hal ini terbukti dengan tradisi "Seba" yang dilakukannya setiap tahun.

Seba adalah sebuah kegiatan/upacara tradisional rutin tahunan menyerahkan hasil bumi dan hasil panen yang dilakukan oleh suku Baduy kepada pemerintah setempat yakni pemerintah kabupaten dan provinsi. Mereka berjalan kaki beriringan menuju pendopo Pemerintah Daerah (Kabupaten/provinsi).

2. Pola hidup ramah alam

Masyarakat Baduy sangat ramah dalam memperlakukan alam. Dalam bertani misalnya, mereka hanya mengandalkan peralatan bercocok tanam sederhana. Mereka juga sangat arif dalam memperlakukan hama yang mungkin akan merusak tanaman. Agar hama tidak merusak tanaman, mereka sengaja menyisihkan sedikit tanaman di pojok ladang yang dikhususkan untuk hama sehingga ladang utama tidak terganggu.

Selain itu, masyarakat suku Baduy menerapkan pola tanam pada lahan yang berpindah-pindah tempat. Mereka tidak menggarap kembali lahan yang baru saja selesai digunakan, melainkan mereka mencari lahan baru yang dianggapnya memiliki tingkat kesuburan. Pola bercocok tanam dengan berpindah-pindah tempat ini dimaksudkan agar lahan yang sudah selesai digarapnya akan subur secara alami pada waktu yang sudah dirumuskan oleh mereka untuk dilakukan penanaman kembali di lahan tersebut. Biasanya mereka memiliki rumus waktu yang tepat kapan waktu menanam kembali. Dan yang memiliki wewenang menentukan kapan menanam dan memanen adalah ketua adat (Puun).

Pada musim bercocok tanam, semua anak-laki-laki diajak oleh orang tuanya pergi ke ladang. Pada saat inilah anak laki-laki diajarkan bagaimana bercocok tanam yang baik. Bagi suku Baduy, musim bercocok tanam adalah sekolahnya anak-laki-laki dimana mereka diajarkan untuk mahir bercocok tanam yang baik beserta jampi-jampi penyertanya agar memeroleh hasih panen yang melimpah.

Termasuk sikap ramah alam, masyarakat suku Baduy membangun rumah sesuai posisi/letak ketinggian tanah. Mereka tidak mengubah sedikitpun letak ketinggian tanah yang akan mereka gunakan untuk membangun rumah.

3. Hidup sederhana

Sebagian besar masyarakat suku Baduy bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Sedangkan sebagian besar perempuannya menenun kain. Selain kain polos putih atau hitam, ada juga kain batik. Kain batik yang ditenunnya memiliki ciri khas yakni kain berwarna biru dongker kombinasi hitam dengan corak batik khas Baduy. Tidak ada warna lain yang digunakan untuk pakaian yang dikenakan oleh mereka kecuali warna tersebut.

Kesederhanaan lainnya ditunjukkan melalui tatanan rumah dengan bentuk yang sama, terbuat dari bambu dan atap daun aren (ijuk) atau daun kelapa (hateup).

4. Tatanan masyarakat yang harmonis

Masyarakat suku Baduy hidup berdampingan dengan harmonis. Tidak ada perselisihan diantara mereka. Seluruh masyarakat tunduk dan patuh kepada ketua adat (Puun). Bagi mereka nasihat Puun adalah sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Hukum adat yang diterapkan senantiasa dijunjung tinggi. Masyarakat suku Baduy begitu sangat menjaga warisan budaya leluhurnya. Meskipun kadang-kadang secara manusiawi, beberapa masyarakat (Baduy dalam) khususnya ingin mengikuti zaman yang serba modern, namun mereka tidak akan berani melakukannya tersebab ketaatan mereka pada warisan budaya leluhur yang harus senantiasa dijaganya dari waktu ke waktu.

Budaya baik yang ditunjukkan oleh masyarakat suku Baduy inilah yang semestinya menjadi tuntunan agar manusia dapat hidup serasi dan damai berdampingan dengan alam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillaah, keren tulisannya, menambah wawasan, sehat dan sukses bu Rita Yuliantini

28 May
Balas

Terima kasih Bunda Zuyyinah. Saya suka baca tulisannya bunda tapi gak bisa koment, gurusianer saya kok banyak iklannya, kalo mau masuk mesti login, agak ribet, hehe..

28 May

Ulasan yang sangat mantap, salam literasi

28 May
Balas

Alhamdulillah, terima kasih bunda. Salam sehat dan sukses selalu

28 May



search

New Post