Rizka Anindya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Siswa SD & Cerita Tentang Bullying

Bullying atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perundungan, menurut KBBI, adalah proses, cara, perbuatan seseorang yang menggunakan kekuatannya untuk menyakiti atau mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah darinya.

Source: Vecteezy.com

Sebagai seorang guru di sekolah dasar, saya pun menjadi penasaran apakah murid-murid di tempat saya mengajar memahami apa yang dimaksud dengan bullying. Untuk itu, saya mencoba mencari tahu dengan mewawancarai sejumlah siswa yang saya kelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah siswa kelas 2 dengan rentang usia 7 dan 8 tahun. Dan kelompok kedua adalah siswa kelas 6 dengan rentang usia 11 dan 12 tahun.

Hal pertama yang saya tanyakan, apakah mereka tahu apa yang dimaksud dengan perundungan? Hampir sebagian besar siswa kelas 2 tidak mengenal istilah ini. Hasil yang serupa juga saya dapatkan dari siswa kelas 6. Uniknya, ketika istilah ini saya ubah dengan bullying, para siswa dengan lantang mengatakan mereka tahu dan mampu menjelaskan definisi kata tersebut tentunya dengan versi mereka.

Menurut mereka, bullying adalah tindakan mengganggu dan menyakiti orang lain, seperti mengejek, memukul dan menendang. Kemudian saya kembali bertanya, mengapa pelaku bullying melakukan hal-hal seperti itu? Jawaban yang cukup menarik dilontarkan oleh para siswa. Karena mereka, para pembully, merasa senang melakukan hal-hal seperti itu. Kelompok usia besar bahkan mengatakan bahwa pembully merasa lebih superior dan bangga apabila ia ditakuti teman-teman yang lain.

Lantas apa perbedaan antara bullying dengan prank? Baik siswa kelas 2 dan kelas 6 memberi jawaban yang serupa. Bullying dilakukan untuk menyakiti, sedangkan prank untuk bercanda. Pertanyaan kemudian saya kembangkan, bagaimana kalo prank itu menyakiti orang lain. Apakah itu termasuk bullying? Meski beberapa siswa sempat ragu menjawab, tetapi mereka kemudian setuju bahwa itu adalah bagian dari bullying karena telah menyakiti orang lain. Saya kembali bertanya, bagaimana jika ada seseorang yang memukul orang lain, lalu meminta maaf. Awalnya mereka menjawab tidak apa-apa dan bukan bagian dari bullying. Tetapi ketika saya memperagakan dengan pura-pura memukul salah seorang siswa kemudian saya memegang tangan siswa tersebut sembari meminta maaf dan berkata bahwa yang saya lakukan tadi tidak sengaja, dan setelah siswa itu pergi saya memperlihatkan raut muka tertawa mengejek. Melihat demonstrasi yang saya lakukan tadi, hampir semua siswa sepakat mengatakan bahwa yang apa saya lakukan adalah bullying. Menurut mereka, ekspresi tertawa mengejek saya menjadi kunci yang membedakan apakah saya memiliki niat membully atau tidak. Dengan saya tertawa, telah menunjukkan bahwa saya merasa senang ketika berhasil menyakiti orang lain.

Pertanyaan selanjutnya, apakah para siswa pernah memiliki pengalaman membully atau dibully? Jawaban siswa cukup beragam. Ada yang tidak pernah merasakan keduanya. Ada yang pernah merasa dibully. Dan ada yang pernah melakukan keduanya yaitu membully dan dibully. Saya kembali bertanya kepada siswa yang merasa pernah dibully. Bentuk pembullyan seperti apa yang mereka rasakan dan bagaimana mereka menghadapinya? Salah seorang siswa kelas 2 yang kebetulan adalah siswa pindahan mengatakan bahwa ketika ia kelas 1, ia sering diejek oleh teman-teman sekelasnya. Tentu saja ia merasa sangat sedih. Lalu saya bertanya lagi, bagaimana dengan teman-teman sekarang. Apakah ada yang suka mengejek. dengan tersenyum ia mengatakan tidak ada. Lain lagi jawaban dari siswa kelas 2 satunya. Ia dulu pernah didorong dengan teman sekelasnya ketika ia masih TK. Meski ia merasa marah, tetapi ia memilih tidak membalas perbuatan temannya.

Jawaban yang tidak kalah menarik dilontarkan oleh siswa kelas 6 dimana ketika ia masih bersekolah di kota lain, ia masuk ke dalam sebuah circle pertemanan dimana salah seorang temannya suka membully. Jadilah dulu, ia kadang ikut-ikutan membully juga. Ternyata ia sendiri pun kerap dibully oleh teman tersebut. Saya kembali bertanya, bagaimana perasaan-nya ketika ia dibully dan membully temannya yang lain? Siswa itu menjawab bahwa ia sebenarnya tidak merasa senang baik ketika ia dibully atau membully. Ia melakukannya hanya sekedar ikut-ikutan. Dan ketika ia dibully, dalam hatinya ia merasa kesal dan hanya bisa diam karena merasa takut terhadap temannya tersebut.

Apa yang dapat saya simpulkan dari obrolan ringan yang saya lakukan di saat menunggu jam pergantian mapel dan di saat istirahat makan siang, bahwa lingkungan pertemanan juga menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya bullying. Sangat wajar jika terkadang siswa saling usil ketika bercanda, atau sesekali adu mulut dan bertengkar meributkan hal-hal yang mungkin kita anggap remeh. Kita pun sebagai pendidik harus peka dalam mengamati bagaimana siswa berinteraksi dan bercanda dengan teman sebayanya. Tidak hanya kita dituntut untuk tegas memberi pemahaman tentang perbuatan yang dapat menyakiti orang lain, tapi penting juga untuk menumbuhkan perasaan empati di kalangan siswa. Seseorang yang memiliki perasaan empati akan lebih memahami perasaan orang lain dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

August, 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post