Berikan Cinta Saat Mendidik
Sungguh bahagia menjadi seorang guru yang selalu tampil, senyumnya api semangat, tutur katanya penuh makna, perkataannya dijadikan pedoman anak‐anak, serta ketidakhadirannya selalu dipertanyakan, karena begitu
rindunya anak‐anak pada gurunya.
Pendidikan adalah sebuah dunia yang lahir dari semangatnya sebuah kasih sayang berasal. Pendidikan harus berlangsung dalam suasana kekeluargaan layaknya ayah dan ibu dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik sebagai anak. Pendidikan dengan hati lewat ungkapan rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan. Seperti itulah seharusnya pendidikan, agar anak didik dapat menyerap dengan baik setiap ilmu yang disampaikan.
Guru tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa. Di mana saja guru berada, baik sekolah atau di luar sekolah guru tetaplah seorang guru. Guru dapat memberikan pendidikan karakter saat di luar sekolah, saat berjumpa dengan siswa. Karena di mana saja guru berada, ia adalah teladan bagi peserta didiknya.
Layaknya orang tua yang mendidik anaknya. Guru harus ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada para peserta didiknya sepanjang waktu. Demikian pula tempat pendidikannya tidak terbatas hanya di dalam ruang kelas saja. Di mana pun seorang guru berada, dia harus sanggupmemainkan perannya sebagai seorang pendidik yang sejati. Perkataan dan perbuatanya sangat penting untuk selalu dijaga dengan baik, agar prilaku indah guru selalu tercermin dalam bersikap.
Mulai meredupnya nuansa kasih sayang dalam interaksi antara guru dengan siswa telah melahirkan sikap guru yang lebih suka menghukum daripada tersenyum. Hukuman itu memang perlu, namun tempatkan ia pada tempatnya. Bukan menghukum tanpa landasan yang jelas. Buat anak memahami alasan yang kuat mengapa ia dihukum.
Guru lebih suka menghardik daripada bersikap empatik. Peserta didik yang terlalu sering mendengar ocehan tak berguna yang keluar dari mulut gurunya, bisa dipastikan guru akan kehilangan wibawa di hadapan mereka. Guru yang baik adalah guru yang melandasi interaksinya dengan peserta didik di atas nilai‐nilai cinta dan kasih sayang. Cintalah yang akan melahirkan keharmonisan.
Di era globalisasi yang selalu mengedepankan emosi di sisi hati, di tengah mewabahnya kekeringan sosial dan krisis kesantunan moral, seperti yang dikatakan oleh pakar pendidikan Arif Rahman, di era reformasi yang serba kebablasan ini guru harus mengajar muridnya dengan hati (cinta dan kasih sayang) bukan emosi.
Jika masih mempertahankan emosi, selamat tinggal guruku. Jika kita sebagai guru tak bisa jadi tempat ternyaman bagi anak‐anak, setelah orang tuanya, selamat tinggal. Karena kita telah jadi guru yang sia‐sia. Untuk mendapatkan ilmu anak‐anak sudah mudah tinggal geogling di internet, tapi bukan itu yang mereka butukan. Mereka butuh sandaran saat belajar, karena belajar tak hanya soal akademis, namun juga perihal kehidupan.
Sikap cinta dan kasih sayang seorang guru tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap‐sikap positif lainnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, khususnya dengan para peserta didik kita. Sosok guru yang selalu menebar kasih sayang pada anak didiknya akan melahirkan sebuah kenyamanan.
Biasanya anak‐anak akan mulai mencintai guru dengan cara mengidolakannya, serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa dan disegani. Sehingga perkataannya itu sangat berpengaruh, bahkan bisa jadi lebih diingat dari perkataan orang tuanya sendiri.
Cinta adalah sikap batin yang melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakal. Jaring‐ jaring cinta yang kita bangun dan tebar dengan penuh keikhlasan kepada mereka akan tersambut positif.
Respons balik dari rasa cinta peserta didik kepada gurunya dan orang di sekitanya bisa terwujud melalui sikap‐ sikap positif yang ditampilkan. Misalnya, penghormatan, kepatuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya, bahkan menjalin hubungan baik dengan teman‐temannya. Dengan sikap‐sikap seperti ini siswa akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan.
Sehingga akan timbul gairah belajar yang bagus untuk selalu bisa berprestasi baik itu dari segi akhlak maupun dari segi akademis. Namun, kenyataan di lapangan, sering sekali terlihat ungkapan rasa cinta guru tidak mudah ditangkap oleh peserta didik. Rasa cinta tidak bisa dirasakan jika hanya berwujud ucapan dengan sederet barisan kata‐kata. Dibutuhkan kiat dan seni tersendiri agar sinyal cinta guru dapat ditransfer dengan baik dan menetap di dinding hati peserta didik.
Berikut ini adalah cara agar peserta didik dapat merasakan cinta gurunya:
Selalu Ramah
Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap dan selalu bersikap ramah terhadap siapa saja. Kelembutan akan melahirkan cinta dan perasaan cinta akan semakin merekatkan hubungan antara guru dengan siswanya. Di samping lembut bersikap, tegas itu tetap diperlukan. Bila seseorang mencintai sesuatu, pasti ia akan berperilaku ramah dan penuh kasih sayang terhadap sesuatu yang dicintainya.
Jika siswa selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan guru, siswa akan meyakini bahwa gurunya memang mencintai mereka. Hampir semua guru berkeinginan untuk mencintai dan dicintai siswanya. Namun, tidak semua guru berhasil melakukannya.
Kiat‐kiat untuk melembutkan hati guru:
“Jangan pernah ragu menyatakan “aku juga mencintaimu” terhadap siswa. Mungkin kita tidak bisa menyebutnya demikian, namun kita tentu bisa memberikan bahasa yang lebih dimengerti oleh peserta didik. Dari tingkahnya yang beraneka ragam, anak akan mengharapkan respons”
Guru tidak boleh tergesa‐gesa men‐judge anak yang bertingkah negatif. Tetapi, segeralah tangkap pesan cinta dari anak tersebut. Di sinilah muasal hati menjadi lunak dan lembut.
Ucapkan juga kehadiran kita karena dia. Jika guru menganut filsafat ini, bagaimana pun karakter siswa yang dihadapi, guru akan mampu menerima dan menghadapinya dengan bijak.
Sertakan diri sebagai sahabat si anak baik selama berada di sekolah maupun saat berada di luar sekolah. Apabila ada teman yang selalu setia bersama kita di kala susah atau senang, dialah teman sejati.
Guru jangan jadi model “polisi” yang hanya mampu soal hukum‐menghukum. Sebagai teman sejati guru harus mampu menciptakan komunikasi “pemecah es” untuk memecahkan kebekuan, sehinggga suasana lebih cair dalam berinteraksi dengan peserta didik.
Guru harus pandai mengelola emosinya sendiri secara canggih. Jangan sampai mencampuradukkan persoalan pribadi baik di rumah maupun bersama rekan seprofesi, dengan masalah sekolah.
Masalah yang tidak ada hubungannya dengan sekolah terutama dengan peserta didik silakan simpan rapi di rumah. Jika guru sudah terlanjur emosi dan ingin meluapkan emosi di hadapan siswa, hendaklah dengan cara duduk, jangan dengan berdiri apalagi dengan berpinggang.
Bila amarah belum reda, pergilah ke UKS, cobalah untuk berbaring sejenak. Bila dengan berbaring masih belum mampu mengendalikan perasaan marah, hendaklah mengambil air wudu. Api amarah akan padam mereda bila disiram dengan air.
Dalam menghadapi siswa yang suka meramaikan kelas dengan keusilannya, sebaiknya guru jangan mudah terbawa arus emosi yang bersifat negatif. Untuk menghindari hal seperti itu guru harus mampu menjadi sosok yang pemaaf. Seorang guru harus memahami bahwa anak berbuat kesalahan karena dorongan naluri kekanak‐kanakannya. Ia ingin terlihat hebat di hadapan teman‐temannya, ketimbang memikirkan dampak buruk dari perbuatanya itu.
Hadirkan anak‐anak kita dalam setiap doa‐doa kita. Seburuk apa pun prilaku mereka terhadap kita, tetap doakan anak‐anak kita yang terbaik. Yakinkan diri kita bahwa kelak di akhirat salah satu dari tangan kecil mereka akan menarik kita ke surga. Aamiin.
Guru adalah orang tua kedua bagi anak. Maka, hendaklah guru berusaha berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mendoakan anak secara rahasia merupakan keniscayaan bagi guru yang kini banyak terlupakan.
Guru selain sebagai pengajar dan pendidik serta yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi pendoa bagi anak didiknya.Guru sebagai sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Menurut Rudolf Dreikurs, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru untuk mengembangkan sekolah ramah anak.
1. Jadilah guru yang tidak lagi bertindak sebagai penguasa kelas
2. Tidak berbicara lantang di hadapan siswa
3. Kurangi sebanyak mungkin nada memerintah
4. Hindarkan sebanyak mungkin hal‐hal yang menekan siswa
5. Lebih sering memberikan motivasi
Jauhkan sikap guru yang ingin “menguasai” siswa karena sikap yang lebih baik ialah mengendalikan siswa. Hal yang terungkap bukan kata‐kata mencela, tetapi kata‐kata guru yang membangun keberanian dan kepercayan diri siswa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sip pak, pembekalan edukatif. Salam kenal
Alangkah indahnya kalau ini dapat diterapkan. Seleksi jadi guru harus diperhatikan kembali. Di sekolah negeri, jam sertifikasi sedikit banyaknya melunturkan kasih sayang 'guru'.
Benar