Rejeki memang ditangan Tuhan, tapi kalau jalan hidup itu pillihan. Pilihan yang akan membawa pada ujung bahagia atau penyesalan. Lulus dengan predikat cumlaude dari bangku kuliah memang membanggakan, tapi nasib mujur tidak selalu datang antrian menghampiri si anak muda yang merasa berkuliah di fakultas pendidikan merupakan mimpi yang kecelakaan. Aku menamatkan kuliah di tahun 2009, rekomendasi bebas biaya melanjutkan strata dua dari kampus karena mendapat predikat terbaik sirna karena terlalu lama mengambil keputusan, terlindas batas waktu tanggal pendaftaran. Ya.. keputusan untuk istiqomah dijalan ini sebagai penerus Oemar Bakri atau berpindah ke mimpi yang lain.

Diam-diam aku melamar pekerjaan disebuah bank Syariah di kota Padang. Punya KTP bukan berarti sudah bebas memilih kehidupan. Ibu merasa dikhianati ketika surat pemanggilan kerja saya perlihatkan. Pengkhianatan dari seorang anak yang terlahir dari keluarga yang dikutuk jadi guru tujuh turunan. Mulai dari kakek, anak-anaknya, cucunya termasuk kedua kakakku semua tidak jauh hidup dari papan tulis, kapur dan spidol.

Menghabiskan masa kontrak kerja satu tahun, akhirnya permintaan ibu ku turuti. Pembukaan lowongan sebagai guru abdi negara di kabupaten Tanah Datar menjadi sebuah pilihan. Rekrutmen dipenghujung tahun 2009 itu ku lalui dengan semata-mata ketaan pada orang tua yang merupakan bentuk taatku pada Tuhan. Alhamdulillah pintak buliah kandak balaku.. Kabar kelulusan sudah ku terima dari bulan Desember 2009, tapi 3 bulan berlalu tak kunjung ada pemanggilan, terpikir kalau saja aku terlupakan.

Maret tiba panggilanpun datang, kami berkumpul bersama seluruh calon abdi negara yang diterima saat itu. Beberapa point penting yang menjadi perhatian kami adalah adanya masa orientasi sebagai masa pengenalan. Singkat cerita kami melakukan orientasi selama satu bulan yang diawali dengan latihan kesamaptaan dan kedisiplihan. Kami mengikuti latihan fisik layaknya masa ospek perkuliahan.

Jumat itu hari terakhir kami mengkuti latihan fisik, kegiatan berkemah dihalaman kantor Bupati merupakan pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Maaf, bukan berkemahnya tapi akibatnya. Rasa tidak enak badan, letih, lelah tak tertahan terpaksa ku jinakkan dibawah panggilan muazin masjid kantor Bupati di Jumat itu. Pakaian basah luar dalam masih melekat dibadan karena semalam tenda kami diguyur hujan membuat ku masuk angin. Dengan mata yang berat aku duduk di saf ketiga, entah siapa para pejabat di saf pertama tak menjadi hirauan bagiku. Suara lantang khatib diatas mimbar lama kelamaan mirip suara ibu yang menina bobokkan ku. Maaf pak khatib, aku off dulu.

Dalam tidur aku merasa ada sesuatu permintaan dari sisi bawah, sebuah permintaan yang harus ditunaikan karena berada dibawah tekanan masalah diruang pembakaran, sebuah permintaan alam. Permohonan itu tak kuasa aku urung kabulkan, tekanan berkekuatan tinggi terlepas dari sisi ruang sempit sehingga mengeluarkan suara yang menggelegar, proooooooott...! Mataku terbuka, Astaghfirullah... ups, lepas.

Semua mata mengarah ke suatu titik, ya.. titik asal suara. Suara yang membuat khatib tersedak, suara yang membuat para jamaah teraniaya indera penciumannya. Jangan ditanya malunya, tak sanggup mata ini menetap banyak pasang mata sinis. Tanpa berfikir panjang aku beranjak keluar dari shaf untuk menetralkan keadaan, menetralkan perasaan dan menetralkan hadas kecil yang terlanjur terlepaskan. Hanya ada satu kata pembelaan, maaf itu salam perkenalan.