MENJADI YANG TERPILIH
Menjadi yang Terpilih
(Mengenang musibah yang menimpa ibu pertiwi beberapa tahun lalu)
Oleh: Roel Faizah
-------
Hentakan musik ala disko mengusik keheningan malam yang panjang. Meja-meja dipenuhi minuman yang menyeruakkan bau anyir, serta kartu-kartu yang bertebaran dimainkan tangan-tangan terampil. Tak tertinggal juga para wanita yang ikut bergelayut manja pada bahu-bahu yang haus akan nafsu. Bertumpuk di tengah-tengah meja, selebaran uang kertas berbagai macam warna yang jika diperkirakan bisa mencapai milyaran, atau bahkan triliunan. Seakan hidup mereka masih begitu panjang, tak akan pernah ada kematian yang menyapa.
.
Memang bukan sekali dua kali mereka berbuat demikian, bahkan setiap hari sepanjang malam seakan sudah menjadi ritual. Orang-orang kampung pada umumnya, saat menjelang maghrib pergi ke masjid atau musholla untuk menunaikan kewajibannya menghadap Sang Pencipta, lalu dilanjut mengalunkan ayat-ayat-Nya. Namun, tidak bagi mereka yang justru bersiap di depan meja dengan segala atribut andalannya. Dzikir di bibir hanya soal uang, minuman, dan wanita. Mereka lupa pada Siapa yang memberinya nyawa. Lupa pada siapa yang mengembuskan oksigen untuk mereka bernapas. Lupa pada siapa sang pencipta jantung yang masih berdetak.
.
Bukan hanya orang kampung setempat yang berpartisipasi, para pendatang dari ibukota juga turut meramaikan. Ikut berduyun-duyun bergabung laksana pengajian akbar yang digelar. Uang yang bertumpuk pun tak bisa dihitung jari, sehingga untuk mendapatkan tempat berkumpul selanjutnya pun dengan mudah dibayarkan. Juga layaknya pengajian akbar, mereka menggelar aktifitas setiap hari yang dikawal oleh aparat keamanan. Tentunya setelah berdigit-digit angka masuk ke rekening yang katanya pengayom masyarakat itu. Ya, para aparat keamanan, yang seharusnya memberi rasa aman warganya. Ah, bukannya mereka juga sedang mengawal agar warganya aman? Entah siapa yang seharusnya dikawal ....
.
Ketika mereka terlena memainkan kartu-kartu, tiba-tiba saja bumi bergerak. Tersebab peringatan dari mulut manusia tak lagi diindahkan, kini saatnya Sang Pemberi Nyawa, Sang Pemberi Kesempatan Bernapas yang memperingatkan. Bukan apa-apa, hanya ingin manusia yang Dia ciptakan tidak lalai. Lalai pada tugasnya di dunia. Lalai pada kewajibannya di dunia yang hanya sementara. Lalai bahwa yang ada pada diri mereka saat ini hanyalah pinjaman.
.
Ya, bumi bergerak semakin dahsyat, hingga untuk berdiri pun mereka tak mampu. Hanya bisa lari tunggang-langgang menyelamatkan masing-masing. Bukan hanya bumi yang bergerak, semakin lama banyak retakan di sana-sini, bahkan jalan raya beraspal pun ikut retak. Cairan lumpur dari dalam mencuat melalui setiap retakan yang ada, lalu menjatuhkan segala benda di atasnya ke sela-sela retakan itu. Bahkan para manusia pun ikut terjatuh di dalamnya. Dan dalam beberapa detik berikutnya, retakan itu tertutup. Seakan tak pernah ada kehidupan sebelumnya di atasnya. Ya, kampung yang tadinya ramai dengan aktifitas kawalan aparat itu kini rata. Tak tersisa sedikitpun di sana.
.
Di sisi lain, seorang lelaki tua keluar rumahnya setelah mendengar alunan adzan maghrib, berniat melaksanakan sholat di masjid terdekat. Dalam sepersekian detik bumi bergerak, dan ia hanya bisa bersimpuh di jalanan depan rumahnya seraya melantunkan doa. Dengan suara tercekat, ia lantunkan doanya. Doa bahwa jika memang ini ajalnya, ia ingin berakhir bersama rumahnya. Rupanya Sang Pemberi Nyawa berkehendak lain, rumahnya bergerak menjauh dan ia tetap bersimpuh di tempat yang sama. Menyaksikan pergeseran tanah sekitar yang tidak menyentuhnya, tetapi rumahnya telah porak poranda dan menjauh entah kemana.
.
Berbeda halnya dengan seorang lelaki lain yang tengah memeluk sang anak. Berharap sang anak selamat saat bumi bergolak begitu dahsyat. Bumi retak. Ia jatuh ke dalam retakan, tetapi tangannya masih bisa menahan di permukaan agar tidak terbenam. Cairan lumpur mulai mencuat. Sang anak masih berada di pelukannya terduduk di permukaan. Hanya saja sebagian badannya masih berada di dalam cairan tersebut. Ia merasa seakan kakinya diputar sedemikian rupa di dalam sana. Mungkin bisa dikatakan seakan cabai diblender sedemikian rupa hingga tak berbentuk. Hingga akhirnya ia merasa dapat keluar dari retakan yang berisi cairan itu bersama sang anak yang berada di gendongannya.
.
Peristiwa yang lain juga terjadi, tiba-tiba muncul dari sela-sela retakan itu seorang lelaki dengan kambing di belakangnya. Mereka selamat dari timbunan tanah, tidak lagi tertelan. Namun, nasib malang tidak dapat dihindarkan pada sapi yang hanya sedang minum di pinggiran. Ketika air yang ada di depannya habis, ia melihat air yang lebih banyak beberapa jengkal di depannya. Si sapi tidak pernah mengira bahwa itu adalah musibah untuknya. Dalam sepersekian detik, sapi itu sudah lenyap dari permukaan.
.
Ya, memang itulah yang terjadi. Di dalam tanah sedang bergejolak dan berputar dengan cairannya, hingga semua yang berada di atasnya terbolak-balik. Selanjutnya terjadi retakan dan menyebabkan semua yang ada di permukaan berbalik menjadi tenggelam, tertelan ke perut bumi. Ada juga rumah dan pepohonan yang bergeser hingga 2km jauhnya. Entah bumi yang sudah tua atau Sang Pencipta yang sedang begitu murka. Murka pada hamba-Nya yang lalai akan kewajibannya hidup di dunia.
.
Dan Dia selalu tahu siapa yang akan dipilih untuk diberi nikmat, dan siapa yang akan Dia murka ....
repost
17 Oktober 2018
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar