Aku benar-benar merindukanmu. Rindu dendam yang membawaku pada labirin bertirai gelisah. Rindu melumpuhkan ingatanku hingga yang tersisa hanyalah mosaik-mosaik duka lara. Menyakitkan.

Aku yang tak berdaya mewujudkan keinginan kanak-kanakmu yang sederhana. Hati ini hanya merintih dibalik wajah keras yang terukir semu. Tatapan polos dibalik mata bolamu benar-benar menyisakan derita yang berkepanjangan.

Aku hanyalah wanita biasa yang berusaha menjadi ibu yang baik. Baik menurut diriku sendiri. Walau sebenarnya aku pun tak sepenuhnya paham apa arti kebaikan itu. Sungguh, cinta yang demikian besar telah membuatku melakukan apa yang ku mau. Tak peduli caraku benar atau salah.

Dalam tiap lantunan do'a yang ku bisikkan lirih dengan isak tertahan, aku hanya berharap pada Dia yang kuasa agar menjadikan sisi kelabu itu berhias wardah surgawi yang tersemat dalam bingkai kemuliaanmu hari ini, esok dan nanti.

Mata bola, rambut berponi adalah ilustrasi wajah kecilmu yang selalu mengusik lamunanku di sepanjang sisa usiaku. Andai saja Tuhan memberiku pilihan maka pilihan pertama yang ku mau adalah menyusuri lorong waktu membersamaimu. Aku ingin menggandeng lembut tangan mungilmu menapak riak air bertepi ilalang. Aku mau merengkuh tubuh mungilmu dalam pesona warna pelangi. Aku mau mencium wangi rambut ponimu. Aku pun juga ingin menyuapimu dengan makanan serupa Manna dan Salwa. Semua yang kau mau. Semua yang kau suka. Akan aku lakukan.

Namun, impian berbayang-bayang semu itu hanya mungkin hadir dalam imajinasiku. Dalam ilusi yang tiada henti. Dalam semburat warna kelabu. Dan rindu itu pun tak pernah lekang. Rindu yang berbalut lara.