Pertarungan Melawan Ketertinggalan

Saya yakin imajinasi yang tergambar saat membaca judul tulisan saya ini adalah sebuah keadaan mencekam atau bisa juga horor. Memang iya. Itulah yang saya rasakan saat memutuskan melanjutkan studi magister. Meski dalam situasi dan kondisi yang kurang mendukung. Dari urusan finansial hingga usia yang tidak lagi muda. Tuwir kalau istilah keren saat ini. Hari-hari dalam pertarungan itu, saya berusaha mengubah diri menjadi seorang wonder woman. Wanita perkasa yang dengan sekuat tenaga mengatur waktu agar tidak keteteran mengurus rumah tangga, bekerja hingga jumpalitan memenuhi pengeluaran yang kian hari kian membengkak.

Terlahir dari generasi X yang hidup di era digital menuntut saya untuk lebih adaptif. Apalagi berprofesi sebagai guru yang berhadapan langsung dengan generasi Z. Meminimalkan jarak adalah langkah yang pasti dilakukan. Jarak antara saya yang tergolong Digital Immigrant dengan anak-anak jaman now yang masuk dalam golongan Digital Native. Hal itu bukan sesuatu yang mudah. Betul-betul merupakan pertarungan melawan ketertinggalan. Tapi, tidak ada hal yang tidak mungkin. Saya yakini itu. Meski untuk memenangkan pertarungan itu harus berdarah-darah.

Pada akhirnya semua usaha itu berbuah manis. Tak ada di dunia ini yang mengalahkan manisnya. Mengapa ?. Karena setelah beberapa waktu lamanya selalu diburu oleh tugas yang deadlinenya terasa singkat, ditambah pontang-panting mengatur waktu, plus menjaga stamina dengan mengkonsumsi vitamin dan obat-obatan maka manisnya kelulusan itu terasa meroket beribu-ribu persen. Dokumen bernama ijasah itu adalah saksi bisu kemenanganku melawan ketertinggalan. Congratulation untuk diriku sendiri.