Rofika

Saya Rofika, guru SD di sebuah desa kecil. Lahir dan dibesarkan juga di sebuah desa kecil, tepatnya di Desa Tamanan Kabupaten Bondowoso. Saat ini masih menempuh...

Selengkapnya
Navigasi Web
Teman Muallafku

Teman Muallafku

Mengenang Teman Muallafku …

Mbak, aku yakin kau tidak keberatan sepenggal kisah hidupmu aku tulis. Sebagai renungan dan pembelajaran untukku dan orang-orang yang membacanya. Semoga Allah, Rabb semesta alam menjadikannya amal jariyah yang pahalanya terus mengalir .

Pada tahun 2009, saya kenal dengan seseorang, sebut saja namanya Mbak Bunga. Saya mengenalnya saat ikut kajian Al-Qur'an yang dipandu oleh Ustadz Muhammad Kholil Noer. Mbak Bunga ini adalah seorang muallaf. Awalnya saya tidak tahu jika dia adalah seorang muallaf. Saya memperhatikannya karena dia banyak bertanya. Terkadang pertanyaan yang dia ajukan adalah pertanyaan yang bagi umat muslim jawabannya sudah sangat jelas dan rasanya tidak perlu dipertanyakan. Bermula dari hal itu, saya menjadi agak kepo padanya. Akhirnya dari teman kajian yang lain saya mengetahui bahwa dia seorang muallaf dan baru belajar tentang islam. Aahh, ada rasa malu terbersit dalam hati. Astaghfirullaah, ternyata saya tidak cukup bijaksana. Hal sederhana saja semisal pertanyaannya, saya hanya memandangnya dari frame saya sendiri, tidak menyadari (atau bahkan bisa dikatakan pongah) bahwa hal sederhana bisa bermakna berbeda jika melihatnya dari frame berbeda. Maafkan saya Mbak Bunga.

Saya akhirnya berusaha mendekatinya. Berakrab-akrab dengan sedikit basa basi. Meski dengan karakter sedikit pemalu, akhirnya Mbak Bunga pun menjadi akrab dengan saya. Pada perbincangan kami selanjutnya Mbak Bunga banyak menceritakan kisah hidupnya. Di mulai dari ketertarikannya pada Islam hingga rumah tangganya yang retak karena pelakor. Saya sungguh sangat bersimpati padanya setelah mendengar kisah hidupnya.

Mbak Bunga terlahir dalam keluarga Katolik. Keluarga Mbak Bunga adalah penganut Katolik yang taat, oleh karena itu semenjak kecil Mbak Bunga sudah mendapatkan pendidikan Katolik yang baik. Keluarga Mbak Bunga menyekolahkannya di sekolah khusus Katolik mulai dari TK hingga SMA. Mbak Bunga menceritakan bahwa awal mula hatinya tergelitik pada Islam saat dia berada di bangku SMA. Kebetulan sekali rumah Mbak Bunga berdekatan dengan musholla. Sehari semalam 5 kali Mbak Bunga mendengar seruan adzan dari musholla tersebut. Kesan pertama, suara adzan terdengar merdu, lama kelamaan suara adzan tersebut berubah seperti menyiramkan embun pagi di hati dan pikirannya. Sejuk dan mendamaikan. Peperangan batin dimulai. Genderang perang mulai ditabuh dan memporak porandakan ketenangan hati. Doktrin Katolik yang begitu kuat dan akar-akarnya yang kokoh tertanam selama puluhan tahun mulai goyah. Laksana tanah penopang yang terseret aliran air. Perlahan namun pasti penopang itu mulai tergerus.

Dalam kebimbangan, suara hati Mbak Bunga tetap ingin mempertahankan keyakinan yang telah dirawatnya. Mbak Bunga menjadi lebih intens mempelajari Al Kitab untuk menahan gerusan keyakinan dan membangun benteng keimanan yang tangguh. Namun, kegigihan memperdalam Al Kitab justru membuatnya semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian. Mbak Bunga menyadari bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Al Kitab yang menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Mbak Bunga berpikir bahwa barangkali saja hal itu karena keterbatasan pengetahuannya. Akhirnya Mbak Bunga menanyakannya pada Romo dan pendeta. Bukan jawaban yang didapatkan namun beragam nasehat yang dijejalkan. Bahwa dia sudah ada tanda-tanda tergolong dalam domba yang tersesat.

Pergulatan batin itu akhirnya dia pendam sendiri. Hari-hari pun berjalan seperti biasa. Mbak Bunga tetap dalam keyakinannya sebagai umat Katolik, meski demikian ketertarikan, kedekatan dan kerinduan pada Islam tidak pupus dari sanubari hatinya. Batin dan mata hatinya terengkuh dalam simpul-simpul maya yang semakin menyeretnya dalam pusaran berkekuatan maha hebat.

Beberapa waktu kemudian Mbak Bunga berkenalan dengan seorang pria. Pria muslim. Pendar-pendar cinta mulai bersemi di hati Mbak Bunga. Gayung pun bersambut. Pria itu pun mempunyai rasa yang sama. Harapan dan cita-cita untuk membangun mahligai rumah tangga menjadikan ikatan itu tertaut erat. Ketika pria itu memperkenalkan diri pada keluarga Mbak Bunga, entah mengapa keluarganya sangat respect dan care sekali, meskipun tahu bahwa pria itu berbeda keyakinan. Barangkali Allah menggariskan demikian adalah sebagai cara pembuka jalan Mbak Bunga menggapai keislamannya. Qadarullah, hal itu pun terjadi. Pria itu mempersunting Mbak Bunga tanpa kendala. Keluarga Mbak Bunga merestuinya. Di hari pernikahannya Mbak Bunga mengikrarkan dua kalimat syahadat. Resmilah Mbak Bunga menjadi seorang muslimah, secara aqidah dan syariah. Allaahu akbar. Maha Besar Allah yang membolak balikkan hati.

Rumah tangga Mbak Bunga bahagia. Mbak Bunga pun perlahan-lahan menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah dengan dipandu suaminya. Mulai belajar menghafal bacaan-bacaan sholat, belajar mengaji, mengenakan hijab hingga belajar Islam secara utuh. Mereka pun dikaruniai seorang anak. Laki-laki.

Hingga akhirnya prahara pun datang. Suaminya berbagi cinta dengan wanita lain. Mbak Bunga terluka. Meski dia tahu bahwa dalam Islam seorang pria diperbolehkan beristri lebih dari satu, namun rasa sakit dan kecewa itu mengalahkan segalanya. Mbak Bunga menolak dimadu. Dia memilih cerai daripada hidup berbagi cinta dengan wanita lain.

Mbak Bunga meninggalkan suaminya dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana dengan keislamannya ? Apakah goyah akibat luka yang disebabkan oleh pria yang notabene adalah seorang muslim dan imamnya ? Ternyata tidak, imannya tidak bergeming, justru semakin menebal hingga mampu menjadi benteng pertahanannya menghadapi luka dan pengobar semangat untuk menjadi single parent dan tulang punggung keluarga.

Ada hal miris yang sempat diceritakan Mbak Bunga padaku. Tentang keinginan orang tuanya mengikuti jejaknya menjadi seorang muslim. Bagai mata air di tengah kegersangan. Mbak Bunga tak henti-hentinya mengucap syukur. Namun, lagi-lagi takdir Allah tak bisa ditolak. Keinginan itu hanya tetap tinggal keinginan. Ajal keburu menjemput sebelum kedua orang tuanya sempat mengucap kesaksian atas keilahian Allah dan kesaksian Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Padahal menurut cerita Mbak Bunga orang tuanya sudah hafal surat Al Ikhlas, surat Al Falaq dan surat An Naas hanya dengan berbekal mendengar anak-anak mengaji dari pengeras suara dari musholla dekat rumahnya.

Hal itu menjadi beban pikirannya. Dalam bayangannya kelak di kampung akhirat Allah akan mengumpulkan kedua orang tua dan dirinya di tempat yang sama. Namun jika berbeda keyakinan, mungkinkah ? Saat Mbak Bunga menceritakan bagian ini saya hanya bisa menjawab:

"Allah Maha Tahu Mbak, apa yang tersimpan dalam hati, insya Allah kebaikan sebesar biji zarrah pun Allah akan memperhitungkannya, Allah tidak akan pernah ingkar janji". Saya raih tangannya dan saya genggam erat-erat. Terasa tangan Mbak Bunga gemetar menahan gundah hatinya.

Derita itu pun belum berakhir. Mbak Bunga terserang kanker payudara. Sudah stadium akhir. Sudah parah, dan tidak ada satu pun kawan-kawan yang tahu kondisinya. Begitu tegarnya dia, hingga penderitaannya dia rasakan sendiri. Beberapa kali kajian dia tidak hadir. Tidak ada yang tahu alasannya tidak hadir. Saya SMS dia, menanyakan kabarnya, apakah baik-baik saja. Tidak dibalas, hanya dibaca saja. Tanpa bosan, terus saja saya SMS menanyakan kabarnya. Akhirnya balasan itu datang, saat tengah malam dan saya pun terperanjat, melongo, tak percaya pada berita yang ku baca

Mbak Fika, mohon maaf ya, jenengan SMS tidak saya balas. Saya sakit Mbak, tolong jangan beritahu siapapun. Saya kena kanker payudara, sudah stadium akhir, sudah parah, dan rasanya sudah tidak mungkin tertolong. Saya sudah tidak berdaya, tinggal menunggu maut saja Mbak. Jika sudah tiba waktunya, minta tolong sampaikan pada teman-teman kajian, saya mohon maaf. Mbak Fika, saya bahagia mempunyai teman seperti Mbak, yang mau mendengar keluh kesah saya. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk saya Mbak, semoga nanti Allah mempertemukan kita di jannah-Nya.

Saya menangis tertegun. Ketika saya hubungi ponselnya sudah tidak aktif.

Dan esok harinya, pagiii sekali, saya baca sebuah SMS yang mengabarkan bahwa Mbak Bunga telah meninggal dunia. Innaalillaahi wa innaa ilaihi roojiuun. Ternyata itu adalah pesan di detik-detik terakhir hidupnya. Selamat jalan Mbak Bunga, semoga Allah membalas duka dan deritamu dengan kebahagiaan abadi di jannah-Nya

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sementara mereka tidak diuji lagi ? (Q.S Al Ankabut : 2)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post