ROHANI CAHYA

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Antara Daun Jati dan Daun Ploso

Antara Daun Jati dan Daun Ploso

Dalam suatu pelatihan, saya bertemu teman dari Jember. Ketika tahu saya dari Bojonegoro, ingatan yang paling tertanam dalam memorinya adalah saat ke Bojonegoro pernah makan nasi pecel yang di bungkus daun jati. Dia juga menampakkan rasa heran dan nggak ‘tega’ harus makan dengan bungkus daun jati. Bojonegoro adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur bagian barat utara. Sebagian areanya merupakan hutan jati. Bagi sebagian masyarakat Bojonegoro tentu tidak aneh jika makan beralas daun jati.

Ingatan saya jadi melayang ke masa kecil. Dulu saya juga kurang suka makan beralas daun jati. Daunnya yang berbulu kasar membuat saya bergidik saat menyentuhnya. Daun ini juga memberi bekas kemerahan pada nasi yang dibungkusnya. Efek merah inilah yang dimanfaatkan dalam pembuatan gudeg nangka muda. Saat merebus nangka muda, daun jati diletakkan sebagai alas dalam belanga perebus. Itu membuat gudeg nangka muda menjadi kemerahan dan tidak hitam. Saya paham respon orang yang tidak biasa seperti teman pelatihan tadi. Seriring bertambahnya usia, saya akhirnya juga bisa menikmati sedapnya makan beralas daun jati.

Di pedesaan saat masyarakat menyelenggarakan hajatan yang biasa disebut ewoh, para tamu akan diberi angsul-angsul (buah tangan), berupa sego buwuhan yang umumnya berisi tiga bungkusan yang disatukan dalam satu tas kresek. Bungkusan kesatu berisi nasi putih yang ada gurat-gurat merah dari tulang daun jati. Yang kedua berisi lauk pauk seperti mi, sayur nangka muda tanpa kuah, momoh tempe, cambah tholo, kadang juga ada oseng pepaya muda yang diiris tipis panjang, dan daging sunduk berbumbu kuning kemerahan. Bungkusan terakhir berisi kue, semacam cucur, rengginang, gula kelapa ataupun kembang goyang. Beruntung kalau masih ada tambahan roti bolu. Ketiga bungkusan itu dibungkus daun jati. Buah tangan sederhana itu sesampai di rumah akan segera ludes karena saya selalu berebut dengan adik-adik. Nasi seperti terasa lebih sedap saat dipuluk lalu ditekan-tekankan pada daun jati yang masih ada sisa bumbu lauk.

Sekarang tradisi angsul-angsul berbungkus daun jati sudah mulai berkurang. Orang lebih suka memakai wadah plastik yang lebih praktis untuk buah tangan hajatannya. Namun kenangan masa lalu seperti itu ternyata membekas pada sebagian masyarakat Bojonegoro. Banyak orang yang mencari kembali warung-warung makan yang menyediakan nasi berbungkus daun jati. Dan pelaku kuliner cukup tanggap untuk merespon fenomena ini. Bahkan beberapa tempat kuliner menawarkan menu sego buwuhan yang cukup laris dan diminati. Konsumsi rapat suatu intansi berupa sego buwuhan berbungkus daun jati bukan hal yang aneh di Bojonegoro.

Ada lagi daun yang bisa mengungkit kenangan orang Bojonegoro selain daun jati. Daun itu setangkai berisi 3 helai. Helainya mirip dengan daun jati tapi lebih halus, lebih bersih, tidak seperti daun jati yang kasar dan tunggal. Biasa tumbuh di hutan, pohonnya berkayu. Bisa tinggi namun biasanya tidak setinggi dan sebesar diameter pohon jati. Meski lebih halus dan nampak lebih bersih, daun ini tidak jamak dipakai bungkus nasi karena daunnya tidak selebar daun jati. Pemanfaatannya kadang dipadukan dengan daun pisang sehingga bisa dipakai bungkus nasi pecel. Paduan daun pisang dan daun ploso disini saling menguatkan untuk menjadi nilai tambah bagi nasi pecel. Daun pisang yang gampang robek itu dipadukan pada daun ploso sehingga bumbu pecelnya tidak tembus keluar. Dan keduanya sama-sama membikin nasi pecel terasa lebih sedap. Atau kalau tidak dipadu dengan daun lain, tiga helai daun itu disatukan dengan cara disemat biting, lidi kecil dari bambu.

Jaman dulu ketika variasi jajanan tak sebanyak sekarang, anak-anak akan menghentikan permainan saat terdengar, “Tapeee…..” ataupun, “Kentang ireeeng….” Tape di masa itu dijajakan dengan bungkus daun ploso, dan beberapa ada yang memakai bungkus daun pisang. Sedangkan kentang hitam, umbi bulat kecil sebesar kelereng berkulit hitam tapi dalamnya putih rasanya gurih, kebanyakan bungkusnya daun ploso atau daun jati. Tape dan kentang hitam biasa dijajakan siang sampai sore hari. Anak-anak bisa membeli setelah pulang sekolah. Kalau jajanan getuk, yang biasa dibungkus daun ploso juga, dijajakan pagi setelah mentari sepenggalah. Jadi anak-anak hanya bisa membeli getuk singkong di hari minggu karena selain minggu tentu masih bersekolah, kecuali ibu yang membelikan di pasar. Tape dan getuk yang dibungkus daun ploso serasa lebih sedap.

Daun ploso sekarang semakin langka. Tape dan getuk sudah jarang dijumpai yang berbungkus daun ploso. Sedang kentang hitam hampir tidak ada lagi orang menjajakan keliling, meskipun acap kali di pasar masih ada orang yang menjual. Saya tidak tahu persisnya, apakah itu karena orang tidak mau lagi menanam kentang hitam atau karena tergantikan jajanan fast food yang lebih diminati anak-anak sekarang. Untungnya masih ada saja orang memanfaatkan daun jati dan daun ploso sebagai pembungkus. Mungkin sampai kapanpun orang Bojonegoro tak bisa lepas dari daun jati.Yang jelas sekarang ini kalau saya melihat orang menjual tape maupun getuk berbungkus daun ploso,saya masih suka untuk membelinya. Begitupun kalau ada kesempatan, saya masih suka makan memakai alas daun jati. Selain terasa lebih sedap juga karena ada aroma masa lalunya….hehe….silakan dicoba.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Artikel Bu KS ini sungguh licin, renyah, dan penuh makna

27 Feb
Balas

Waaoo....kehormatan ni dikunjungi penulis terpopuler....nderek nyecep ngelmune nggih...maturnuwun

27 Feb

Memang memori masa kecil itu akan selalu ada di benak kita, dan dg kondisi yg serba modern kadang2 kita rindu akan masa lalu itu, diantaranya sego buwohan, yg sekarang jadi menu favorit saya... Trims sdh diajak kembali ke masa lalu

27 Feb
Balas

Tulisan ini memang terinspirasi awakmu dan teman2 yg selalu hangat kalau membicarakan sego buwohan berbungkus daun jati....hehe

27 Feb

Di kota sdh terbiasa acr dinas konsumsi sego buwohan tp bagi kami yg dinas di kawasan pinggiran hutan,awalnya justru aneh ketika ada rapat dgn camat konsumsinya sego buwohan..hihihi...

27 Feb
Balas

Menu harian yo

27 Feb

Bunda Rohani telah mengingatkan masa kecilku yang imut-imut dan polos. Waktu kecil aku sering makan nasi dengan pincuk daun jati. Bahkan setiap saya plandang (rewang) pada orang yang punya hajat selalu membantu keliling dari rumah ke rumah untuk meminta beberapa lembar daun jati. Setelah dapat satu keranjang, daun jati diberikan kepada yang punya hajat untuk pincuk makan setiap tamu undangan yang datang. Tentu saja rasanya khas dan lezat. Mengingat aroma daun jati memberikan rasa tersendiri pada nasi yang dimakan. Terima kasih Bunda Rohani telah merefresh memoriku 45 tahun yang lalu.

04 Mar
Balas

Owh...ternyata yang suka makan dengan daun jati gak orang Bojonegoro saja ya :D

04 Mar



search

New Post