Sarapan.....
Saya menoleh mendengar salamnya. Dia berdiri di ambang pintu sambil membawa bungkusan daun pisang. Kulitnya bersih, tinggi langsing proporsional. Seragam putih abu-abunya sudah memudar dimakan usia. Berarti ini anak kelas dua belas. Di sekolah ini sudah jamak kalau seragam sekolah sejak dibeli kelas sepuluh akan dipakai terus sampai lulus. Jadi mudah mengenali anak-anak itu kelas berapa dari seragamnya. “Ada apa nduk…kesinilah.” kata saya sambil melambaikan tangan setelah menjawab salam. Dia tersenyum segar sambil bertanya, “Ibu sudah sarapan?” “Kenapa?” jawabku. “Ini saya membawa nasi jagung untuk ibu.” Saya tertegun. Melihat matanya yang penuh harap saya jadi tergagap dan menjawab, “Oh…terimakasih ya. Pasti saya makan. Kebetulan saya belum sempat sarapan.” Bungkusan itu lalu diberikan padaku. Wajahnya nampak berbinar riang. Hati saya juga meremang hangat, menikmati ketulusannya. Lalu dia minta ijin pamit masuk kelas dan mencium tangan. Mataku mengikuti langkahnya yang berlari-lari kecil sampai hilang tertutup sudut gedung sekolah.
Bungkusan daun pisang itu saya genggam. Ada rasa gamang untuk membukanya. Ketika masih kecil, ibu saya juga sering menanak nasi jagung untuk pengganti nasi putih. Setiap ibu menyediakan nasi jagung di meja makan, saya marah. Tapi bentuk kemarahan saya tidak pernah saya nampakkan. Saya hanya menyampaikan protes dalam bentuk makan sesedikit mungkin. Padahal menu nasi jagung cukup sering terhidang. Akibatnya diantara teman-teman sebaya, saya nampak paling kurus. Teman-teman ibu yang datang berkunjung sering meledek, “Awak kok sak biting, makan yang banyak to.” Biasanya ibu cuma menjawab, “Nggak tau itu anak, makannya sulit.” Sekarang ini, entah itu trend atau memang orang mulai sadar hidup sehat, dalam acara jamuan makan sering disediakan pilihan menu nasi jagung. Dan saya selalu memilih yang lain. Kadang saya berpikir, “Apa orang-orang itu di masa kecilnya tidak pernah disediakan nasi jagung ibunya ya kok pada suka menu itu.”
Gerenyit perut menyadarkanku bahwa bungkusan yang sedari tadi masih ada dalam genggaman. Lidi kecil tulang daun kelapa yang disemat pada daun pisang itu saya cabut dan bungkus daun pisang kubuka pelan. Seonggok nasi jagung dari jenis jagung kuning nampak seperti tercetak oleh daun pisang pembungkusnya. Lauknya oseng teri dan terong gelatik yang dicampur rajangan cabe tomat bawang putih dan bawang merah. Saya teringat kembali wajah anak itu yg nampak riang saat menyerahkan bungkusan ini ke tanganku. Saya menjadi benar lapar. Tanganku yg tadi sudah kuguyur air kran mulai menjumput nasi dan lauk. Kutekan-tekan nasi pada daun pisang agar bisa menyatu dan mudah disuapkan. Ternyata rasanya tidak sehoror yang aku bayangkan. Saya mulai menikmati sesuap demi sesuap. Seolah memungut kepingan masa lalu yang hilang, tak terasa nasi itu tandas. Saya masih keheranan melihat bungkus daun pisang yang kosong itu. Ternyata enak.
“Buu….ibu kok melamun”, kata-katanya membuyarkan lamunanku akan peristiwa enam tahun yang lalu. Anak itu kembali berdiri di depanku seperti dulu. Wajahnya nampak semakin cantik dan dewasa. Seragam dinasnya yang putih putih menambah keanggunannya. “Ah…kamu dimana sekarang?” “Saya baru saja dinas di polindes desa sebelah bu. Selepas sekolah disini, saya kuliah kebidanan dan mendapat beasiswa. Saya menanyakan ibu, apakah masih mengajar disekolah ini, ternyata masih. Ini saya juga membawakan sarapan untuk ibu. Kebetulan pohon nangka di depan rumah berbuah lebat. Jadi tadi saya bangun lebih pagi untuk membuat nasi gudeg bu. Dan sekarang saya sudah bisa membeli ayam dan telur untuk lauk pelengkapnya.” Dia bercerita dengan penuh semangat. Saya hanya mengangguk-angguk seperti kehabisan kata diantara rentetan ceritanya yang tidak dapat disela. Sampai akhirnya dia mengakhiri ceritanya dengan ucapan terimakasih dan mencium tangan. Saya mengantar dia hingga pintu pagar, dan memandangi sampai hilang di ujung jalan. Di tangan saya ini tidak lagi sebungkus nasi jagung. Tetapi serantang nasi gudeg komplit dengan lauk ayam dan telur serta oseng krecek kulit sapi. Kuusapkan tangan pada air mataku yang meleleh….hmm, kebahagiaan seorang guru itu sederhana.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mrebes mili....aku bacanya... Bagus..aku suka
Terimakasih bu Rita....salam kenal
Mrebes mili....aku bacanya... Bagus..aku suka
mangtabs dan dahsyat. Bu Roihani memang oke
merambah jalur baru pak....mohon bimbingan nggih
siap bu. Mari belajar dan maju bersama